Sesaat kuciumi punggung tanganku sendiri, merasakan wangi parfum yang
begitu kukenal. Bukan dari indra penciumanku saja tetapi juga hatiku. Parfum
khas dari seseorang yang 30 menit lalu baru saja pergi meninggalkanku untuk
sebuah hal yang tak kumengerti di negeri seberang sana.
“Aku cuma
pergi sebentar, dan aku janji aku akan pulang dengan membawa kebahagiaan untuk
semua” itulah kata-kata terakhir yang ia ucapkan sebelum akhirnya dia menarik
kedua tanganku lalu menciuminya satu
persatu.
Dia baru
mengatakan bahwa dia akan take off hari ini 2 hari yang lalu, aku tak heran
dengan sifat penuh kejutannya ini karena selama kami berpacaran hampir 5 tahun
hari-hari kami disaat bersama pasti ia isi dengan kejutan-kejutan yang tak
pernah kuduga. Aku tidak pernah heran tapi aku kagum, dia yang dulunya kukenal
sangat pendiam ternyata merupakan orang yang memiliki ide-ide luar biasa dan
itu nyata. Dia lah si penuh kejutan yang membuatku jatuh cinta, Azka.
Pagi ini kubuka kedua mataku
dengan doa. Suara bising dari luar kamar terasa jelas kudengar. Pintu kamarku
terbuka, diiringi dengan nyanyian selamat ulang dari 2 orang malaikat kecil
yang mulai memasuki kamarku. Aku sedikit kaget meskipun pada akhirnya aku
tersenyum bahagia karena kuingat hari ini adalah hari dimana usiaku tepat 25
tahun.
“Selamat
Ulang Tahun Bunda” sahut suara nyaring dari kedua bocah tersebut sesaat setelah
lagu selesai dinyanyikan.
Kubenarkan
posisiku untuk duduk, mereka pun naik ke atas ranjangku. Kuambil kue ulang
tahun yang sedari tadi dipegang oleh kedua tangan mungil Audrina.
“Ayo bunda
tiup lilinnya sekarang” kata Andre
bersemangat, aku tersenyum kemudian menurutinya.
Kuciumi satu
persatu malaikatku itu, Andre dan Audrina mereka adalah anak angkatku dan Azka.
Yaa inilah salah satu kejutan yang Azka berikan 3 tahun lalu saat mengambil
keputusan untuk mengadopsi anak kembar ini dari rumah sakit tempatnya bekerja,
aku sempat dibuat kelimpungan karna kami berdua belum menikah belum lagi
kesiapanku. Tapi atas keyakinan yang Azka berikan akhirnya aku menerimanya,
saat ini anak-anak kami berusia 4 tahun.
“Kue ini
kado dari kami buat bunda” kata Audrina bersemangat.
“Iya sayang,
makasih yah. Bunda seneng banget karna kalian adalah dua malaikat bunda yang
bikin surprise pertama kali dihari ini” jawabku haru.
“Kalo ini
kado dari ayah” Andre memberikan sebuah kotak berukuran sedang kepadaku.
Aku menerima
kemudian membukanya, aku dibuat terheran dengan isi dari kotak ini. Di dalamnya
justru terdapat remote televisi kamarku.
Aku
memandangi kedua buah hatiku dengan tatapan bingung.
“Nyalain
tvnya bunda” pinta Andre.
Aku pun
menurut, dan tak kusangka saat tv kunyalakan disana terlihat Azka tengah
tersenyum menatapa kami lewat video call.
“Happy
Birthday Bunda Drizella” teriaknya riang diujung sana.
Aku tersenyum
senang “Terimakasih Ayah Azka, terimakasih juga buat Andre dan Audrina. Bunda
bersyukur bisa memiliki kalian”
“Ayah, kado
dari Ayah apa dong buat Bunda” celetuk Audrina polos.
“Masih
rahasia dan mungkin butuh waktu untuk ayah berikan ke bunda, tapi yakinlah kado
ini akan menjadi kado terindah untuk kita berempat” sahut Azka yakin.
“Janji ya
Ayah” kata kami kompak.
“Janji”
jawab Azka sambil mengacungkan kelingking tangan kanannya.
***
Pagi ini aku
siap menjalani hari dengan bekerja, sesampainya di kantor ternyata ada surprise
dari teman-teman kerjaku. Nyanyian Selamat Ulang Tahun menyambutku sebelum aku
duduk di meja kerjaku.
Katrina
teman akrabku melemparkan senyum saat membawakan kue ulang tahun untukku “Happy
Birthday my dear Drizella, we wish you nothing but the best”
Untuk
kesekian kalinya aku bersyukur bahwa disaat aku bertambah usia, Tuhan
mengirimkan aku pada orang-orang yang begitu menyayangiku”
“Thankyou so
much dear, dan Makasih buat kalian semua” jawabku senang. Kemudian kutiup
lilinku untuk kedua kalinya dihari ini.
***
Siangnya aku
mengajak seluruh teman-teman kantor untuk makan siang bersama, menjalin lagi
keakraban disaat aku berulang tahun, kita tinggalkan sejenak rutinitas kantor
yang melelahkan.
Kami semua
duduk di meja panjang Restoran.
“Azka
gimana, dia ngasih apa” tanya Katrina yang duduk disampingku.
“Dia belum
kasih apapun, masih rahasia katanya” jawabku.
“Emang gitu
yah punya pacar yang seneng banget kasih surprise, harus ada rahasia-rahasiaan
dulu” Katrina meledekku.
“Selalu gue anggep
ini kayak latihan kesabaran buat hal-hal yang ngga bisa kita prediksi” kataku
tertawa.
***
2 hari
berlalu sejak hari Ulang Tahunku, selesai mengantar 2 buah hatiku ke sekolah
mereka. Aku langsung meluncur ke kantor.
Sebelum aku duduk aku dibuat bingung dengan keadaan mejaku pagi ini,
ada satu buket bunga Lily tergeletak manis, kuhirup aromanya beberapa lama
kemudian kuraih surat kecil yang tergantung disalah satu bagiannya.
Good Morning sweety, Have a nice Day =)
Love,
Azka.
Ternyata bunga Lily ini kiriman darinya, Azka kekasihku. Tak terasa
sudah 80 jam dia tidak berada disisiku, sedang apa dia sebenarnya.
Aku mengambil ponsel dari dalam tasku sesaat setelah kudengar ada
sebuah panggilan.
“Halo” kataku.
“Halo sayang, udah sarapan?” sapanya diseberang sana.
“Udah tadi sama anak-anak, makasih yah buat kiriman semangat pagi ini”
sahutku tersenyum.
“Dengan senang hati untuk kekasihku tercinta, aku melewatkan hari ini
dengan lagu-lagu favorit kita. Oh iya jangan lupa buat kasih yang terbaik untuk
para pembaca rubrik kamu edisi depan” ucap Azka sembari memandangi foto dirinya
dengan Drizella.
“Pasti sayang, akan ada inspirasi yang masuk karena kamu disitu”
ledekku.
“Okee, selamat bekerja yah. Jaga anak-anak dan tentunya dirimu juga”
pesan Azka bahagia.
“Iya, semangat dan amanat ini buat kamu selalu. Selamat Tidur sayang,
I Love You” kataku.
“Love you too” jawab Azka menutup pembicaraan.
Sejurus kemudian aku menyalakan komputer didepanku dan mulai terkonsen
dengan pekerjaanku. Menjadi salah satu pengisi rubrik artikel dari majalah yang
menjadi sumber penghasilanku di kantor ini. Penulis, cita-cita yang sedari
kecil melekat dari diriku dan aku sangat terobsesi akan ini. Dari cita-cita ini
pula aku bisa bertemu Azka, seorang dokter muda yang saat itu menjadi
narasumber saat aku membuat artikel kesehatan. Kami sudah saling kenal saat
masih kuliah, aku anak Bahasa dan dia anak Kedokteran, dia saat itu begitu
pendiam dan sangat akrab dengan buku-buku bacaannya membuatku berpikir akankah
bisa berteman dengannya. Melihat diriku yang cenderung aktif dengan aktivitasku
dikampus dan baru bisa duduk tenang saat didepan laptop untuk menulis.
Saat saling berpapasan tak sengaja, kami hanya saling melempar senyum.
Ketika sudah sama-sama bekerja barulah kami menyadari ada bagian dari diri kami
yang belum terkuak, kami saling jatuh cinta. Aku menerima cintanya ketika kami
berada disebuah lift yang terjebak macet di Rumah Sakit tempat Azka bekerja.
Sebuah awal kisah cinta konyol dan dari sana pula aku mulai mengenali Azka
bukan sebagai temanku yang dingin, tapi kekasihku yang memiliki jutaan ide di
otaknya.
***
Membuat kue
adalah hobiku selain menulis dan memasak. Seringkali Azka dengan sengaja
memintaku membuatkan Tiramisu favoritnya, dan kali ini aku akan membuat cupcake
pesanan anak-anakku. Telah kupersiapkan semua bahan maupun alatnya.
1,5 jam
berlalu, aroma harum cupcake mulai menyerbak seisi dapur. Langkah mungil
Audrina ketika baru pulang Sekolah menyambutnya.
Dia
memandangi loyang yang baru saja kuangkat dari oven, tangan jailnya mulai
bergerak.
“Eits nanti
dulu sayang, ini masih panas” peringatku halus.
Wajahnya
berubah jengkel.
“Nanti Bunda
antar keruang tv, sekarang kamu ganti pakaian kamu dulu” perintahku sambil
mencolek hidungnya gemas.
“Siap!”
sahutnya bersemangat, sejurus kemudian dia berlari naik menuju kamarnya.
***
Kini diruang
tv terhidang cupcake serta beberapa buah tropis untuk menemani kami bertiga
menonton televisi. Sore yang begitu ceria dirumahku, biasanya saat Azka sudah
pulang kerja kami seringkali jalan-jalan sore mengitari komplek, tapi hari ini
cukup didalam rumah karena Azka masih berada jauh disana.
Memang Andre
dan Audrina tinggal dirumahku, tapi waktu mereka bersama Azka tidak pernah
kurang. Setiap pagi kami semua diantar Azka untuk ke sekolah dan ke kantorku,
bila Azka sudah pulang kerja pun kami semua berkumpul dirumahku.
Aku
terkonsen dengan majalah yang aku baca sambil sesekali mengalihkan pandangan
kearah televisi dimana acara favorit anak-anakku tengah diputar.
***
Waktu sudah
menunjukkan tengah malam, aku masih asyik didepan laptop menyelesaikan tiap
rangkaian cerita di novel ketigaku. Secangkir Vanila Latte menemani
disampingku.
1 jam
setelahnya akhirnya ending dari novel ini mulai kutata, dan butuh beberapa
revisi kecil di esok hari.
Kuarahkan
pointer pada Aplikasi Skype, ada seseorang yang kurindukan ingin kusapa.
Begitu
melihat dirinya didepan sana aku sontak tertawa. Kadang kami memang menjadi
pasangan aneh karena sama-sama konyol jika sudah mengobrol seperti ini. Tapi
ini yang aku suka.
“Haha Azkul,
lagi apa kamu” tanyaku dengan panggilan meledek.
Dengan wajah
sedikit dipolos-poloskan dia menjawab tenang “Drizull belum tidur? Gimana
novelnya?, aku lagi main The Sims 3 nih kamu malah ganggu”
“Azkul
curang ih, disitu kerjaannya nge-game. Pulang buruan sini sebelum aku diculik
Pangeran trus dibawa ke Istana” hardikku jail.
“Biarin kamu
selingkuh sama Pangeran, disini juga aku banyak cewe-cewe bule yang cantik yang
pasti mau jadi pacarku juga”
Ekspresiku
mulai berubah ketika Azka jauh lebih pintar meledekku. “Awas aja kalo kamu
berani selingkuh disana” ancamku serius.
“Yah,
Drizull sewot hahahaha” tawa Azka memecah malam.
“Ayoo buruan
pulang, kasian pasien-pasienmu tuh nungguin” ucapku.
“Pasien-pasienku
atau kamu??” ledekknya sambil mengerlingkan mata.
“Kalo aku
mah jangan ditanya, kangenku ngga keitung ke kamu” jawabku mantap.
“Yaudah
tunggu aku yah, tugas kamu disana doain aku” pinta Adrian serius.
“Pasti, oh
ya ending dari novelku sedikit berubah kul” jawabku.
“Tuh kan, labil
lagi” oceh Azka heran.
“Bukan karna
labil, tapi aku rasa benang merah dari novelku akan pas kalo endingnya yang
baru ini” yakinku.
“Oke, aku
pasti dukung kalo emang ini yang lebih baik. Sekarang kamu istirahat, udah pagi
kan disitu”
Aku melirik
jam di dasbar laptop, waktu sudah menunjukkan pukul setengah 2 pagi. Pantas
sekali kepalaku sudah mulai terasa berat “Yaudah, aku pamit tidur ya sayang.
Semoga harimu menyenangkan” salamku.
“Good Night
my sweet heart, sleep well” obrolan kami pun berakhir.
***
Aku menuruni
tangga menuju pintu depan yang sedari tadi belnya berbunyi.
Pintu
kubuka, ada seorang pria berperawakan dewasa berdiri didepanku, seseorang yang
kurasa tak asing dari penglihatanku, kuselami memoriku beberapa saat untuk
mengingat sampai akhirnya sampai pada sebuah foto kecil yang senantiasa
tersimpan didalam dompetku.
“Papa”
ucapku getir.
Beliau
tersenyum namun air matanya menggenang.
Tanpa
berpikir lagi, segera kupeluk beliau erat, begitu erat. Entah bagaimana Kuasa
Tuhan hari ini padaku, aku bisa bertemu Papaku lagi. Papa membalas pelukanku
dengan erat, diciumnya penuh hangat ubun-ubunku.
***
Kami duduk diruang
tamu.
“Apa kabar
kamu sayang?” tanya Papa halus, orang yang selama ini sangat aku nanti
kehadirannya. Sudah hampir 20 tahun aku hidup dalam sebuah lingkaran keluarga
yang tak lengkap.
“Aku baik
Pa, Papa sendiri gimana?” sahutku.
“Seperti
yang kamu lihat sekarang, Papa semakin baik karna bisa bertemu kamu lagi
sayang” ucap Papa teduh.
Berbagai
pertanyaan sebenarnya bergumul di pikiranku tapi hanya satu kalimat yang mampu
aku ucap karena mengalahkan segalanya “Aku kangen Papa” diiringi air mata yang
menetes.
Papa duduk
mendekatiku dan memelukku kembali, mengelus-elus rambutku dengan lembut.
“Maafin Papa
sayang, maafin Papa karena kamu jadi korban keegoisan Papa dan Mama. Karena
kami yang sama-sama tak bisa memilih jalan lain selain perpisahan” terlihat
sekali gurat sedih dipelupuk matanya.
Aku terus
menangis, sosok Pahlawan yang dulu kubanggakan telah kembali untuk melindungiku
“Selama ini Papa kemana”
“Setelah
Pengadilan mengabulkan gugatan cerai Mama kamu, Papa seperti orang yang lahir
kembali sebagai Pria yang sendiri, tapi disisi lain Papa adalah ayah yang gagal
karena tidak bisa menyayangi kamu secara utuh seperti sebelumnya” kata Papa getir.
“Saat itu umurmu baru 5 tahun dan terlalu kecil untuk bisa mengerti apa itu
perpisahan, Mamamu tetap pada pendiriannya untuk kembali ke Jakarta menemui
orang tuanya. 2 Tahun Papa bertahan hidup sendiri di Bandung sampai akhirnya
Papa memilih untuk kembali ke kota kelahiran Papa di Rotterdam dan memulai
hidup baru disana, membangun usaha, menata hati, dan beradaptasi ke lingkungan
yang sudah lama Papa tinggalkan”
Aku melepas
pelukan Papa “Papa menikah lagi?” tanyaku.
Papa
tersenyum beberapa saat kemudian menggelengkan kepalanya “Papa mungkin menata
hati tapi tidak untuk membuka hati kepada wanita lain, karena buat Papa. Eyang
kamu, Mama kamu, dan kamu adalah 3 wanita yang paling dan akan selalu Papa
cintai”
Aku
terkaget, hatiku bergetar mendengar kalimat terakhir yang Papa ucapkan. Aku
kembali memeluk Papa, lebih erat dari sebelumnya. “Kalo kayak gitu kenapa Papa
ngga kembali lagi sama Mama, kita bersatu lagi”
“Papa tak
pernah bisa melawan sifat keras kepala Mamamu, dia sudah terlalu angkuh dengan
pendiriannya. Tapi meskipun seperti itu Papa tetap sayang sama Mama kamu, dan
belum ada yang mampu menggantikannya” kata Papa yakin “20 tahun Papa tak bisa
memelukmu seperti saat ini dan selama itu pula Papa selalu berdoa agar kita
bisa dipertemukan lagi. Papa sering menanyakan kabarmu lewat Mama, satu dua
kesempatan dia menjawab tapi itu hanya sebatas tentang kamu bukan ke masalah
kami”
“Lalu kenapa
Papa bertahan dengan situasi seperti itu, kenapa Papa ngga kesini?” rengekku.
“Itu akan
menjadi hal mudah apabila Papa mengetahui dimana sekarang kamu tinggal.
Berkali-kali Papa mencari informasi tapi hasilnya selalu nihil. Mamamu terlalu
pintar melenyapkan jejak” Papa mengatur napas agar air matanya tak terus menetes.
Beliau mencoba tegar dengan kenyataan.
“Melihatmu
seperti saat ini Papa begitu bangga, kamu semakin cantik” puji Papa padaku.
“Dan sepertinya pendirian Mama agar bisa mengasuh kamu sendiri juga telah
berhasil, kamu mampu hidup mandiri sampai bisa berada dirumah yang begitu indah
ini”
“Papa benar
memang Mama berhasil mengantar aku kepada kehidupanku yang sekarang. Tapi apa Papa
tahu, setiap langkah kehidupan yang aku jejaki aku cuma bisa melihat Mama yang
tersenyum bangga, mendukung dengan berbagai wejangannya, dan menopang aku saat
aku terpuruk. Itu semua tanpa Papa, dan aku begitu sedih. Papa ngga ada disaat aku
menjalani semua itu” kataku getir.
“Sekali lagi
maafkan Papa sayang, Papa tahu dosa Papa terlalu besar karena tidak bisa berada
disamping kamu dengan semestinya”
“Engga Papa,
ini bukan salah Papa, sama sekali bukan salah Papa. Aku yakin ini rencana
Tuhan, ngga ada rencana Tuhan yang buruk. Semua akan indah pada waktunya, dan
aku percaya ini adalah waktu yang Dia maksud” kataku menyemangati Papa dan
terseyum, Papa membalasnya dengan senyuman yang sangat amat teduh.
“Oh iya,
bagaimana ceritanya sampai akhirnya Papa bisa tahu aku tinggal disini” tanyaku
penasaran.
“Beberapa
hari yang lalu, saat Papa baru pulang kerja ada seseorang yang menegur Papa di
lobby apartemen. Dia berkata dia mengenal Papa meskipun hanya sebatas foto,
lalu kami mengobrol sambil makan malam dengan menggunakan Bahasa Indonesia
sampai akhirnya obrolan kami masuk pada lingkup keluarga” Papa bercerita dengan
serius “Dia bertanya pada Papa, apakah Papa mengenal Drizella Armeylia Sandy yang
berulang tahun hari ini. Saat itu bayangan kamu pun muncul karena Papa teringat
putri kecil yang Papa tinggalkan 20 tahun yang lalu, dari sana Papa menemukan
titik terang tentang kamu, semua tentang kamu darinya” siapa orang yang menemui
Papa sepertinya sudah bisa kubayangkan siapa, namun aku masih belum mau
berspekulasi terlalu jauh takut salah.
“Setelah
yakin dan mantap, kemarin malam Papa dan dia datang ke Indonesia. Dia begitu
luar biasa Drizella, Tuhan mengirmkan dia untuk mempertemukan kita lagi” sejurus
kemudian pandangan Papa mengarah ke pintu.
Aku yang
sedari tadi memperhatikan cerita Papa sambil memandanginya langsung mengalihkan
pandangan kearah kemana Papa melihat saat ini.
Seorang pria
bertubuh tinggi, berambut cepak, mengenakan t-shirt bergambar Doraemon tengah tersenyum
melihat aku dan Papa. Dia yang nyata, dan sekali lagi penuh kejutan “Azka, ini
kerjaan kamu” tanyaku haru.
Dia kemudian
mendekati kami, dipandanginya Papa seperti tengah meminta bantuan. Papa
membalasnya dengan sebuah senyum dan tepukan penyemangat pada pundak Azka.
Azka
berlutut didepanku.
***
Hari ini aku
begitu bahagia, berjalan dengan sepatu heels kaca impian masa kecilku. Diapit
oleh Mama dan sahabatku Katrina, mereka menuntunku menuju sebuah meja dimana
Papa, Pak Penghulu, 2 orang saksi dan tentu saja Azka tengah menungguku. Aku
duduk diantara 6 buah kursi yang saling berhadapan.
Azka
tersenyum sumringah melihatku, dan kemudian dia berkata “Maaf semuanya, ada
beberapa hal yang ingin saya sampaikan dengan Drizella. Untuk itu saya meminta
waktu”
Aku sedikit
kaget dengan ulahnya ini, perasaan buruk segera kutepis tatkala semua
mengangguk menyetujui permintaan Azka.
Azka
memegang kedua tanganku “Drizella, aku tak henti-hentinya bersyukur pada Tuhan
karena telah membuat cerita dan skenario untuk kita, tanggal 27 dimana untuk
pertama kalinya aku berani mengungkapkan perasaan cintaku dengan seseorang yang
telah lama aku pendam, menjalani detik demi detik sampai tak terasa sudah
berjalan 5 tahun. Memiliki kamu sebagai wanitaku, menyayangimu sebagai hakku,
menjagamu sebagai kewajibanku. Aku sempat dianggap gila saat pertama kali
memintamu menjadi pacarku, tapi dari sana aku belajar bahwa memang berani
mencintaimu lalu memilikimu butuh banyak perjuangan, tanggal 27 di bulan ini 5
tahun lalu adalah saat dimana kamu akhirnya menerimaku dikehidupan kamu sebagai
seorang pacar. Disetiap bulan saat kita melaluinya bersama tanpa kamu sadari
pasti selalu ada 27 kejutan yang aku berikan, kejutan yang sejujurnya paling
nekat aku lakukan adalah dengan mengadopsi anak tapi ternyata kamu
menyutujuinya” kami pun kompak mengalihkan pandangan kepada kedua anak adopsi
kami Andre dan Audrina yang saat ini begitu ganteng dan cantik memakai pakaian
pesta.
Azka
memandangku kembali kemudian melanjutkan ucapannya, tangannya masih kuat
menggenggamku “Saat aku sudah berani memacarimu saat itu pula impianku adalah
menjadikanmu istriku, sejak memilikimu aku memang selalu merasa bahagia tapi
disisi lain aku merasa takut, takut akan kehilanganmu karena itulah aku selalu
berusaha memberi hal-hal yang menurutku sedikit aneh tapi bagimu adalah
kejutan. Selain itu butuh perjuangan sampai restu terakhir dari Papamu bisa aku
dapatkan. Dan hari ini adalah tepat 5 tahun dimana kita mengulang tanggal 27
itu, hari ini pula akan aku ikrarkan janji terakhir dari 27 janjiku pada Tuhan
bahwa aku akan selalu mencintaimu bahkan saat kamu berhenti mencintaiku. Cinta
terakhirku adalah kamu sampai kelak rohku tak ada didunia lagi”
Aku
meneteskan air mata mendengar ucapan demi ucapan Azka yang memang semakin
meyakinkanku untuk menjadikannya pelabuhan jiwa terakhirku.
“Terimakasih
Azka untuk semua hal yang begitu luar biasa kamu berikan padaku, kado terindah darimu diusiaku saat ini adalah bertemu Papa lagi dan
menjadikanmu Imamku memilikimu
bukan pilihanku tapi Takdir Tuhan. Aku tak berjanji untuk selalu menjadi yang
terbaik untukmu tapi aku berjanji untuk setia ada disampingmu dan anak-anak
kita kelak sampai akhir hayatku”
Ucapan
syukur aku panjatkan tiada terkira saat semua orang yang tengah menyaksikan
kami berkata “Sah”.
_a.d.a_
Comments
Post a Comment