Skip to main content

Ayah kami, Pahlawan kami.


Pagi hari suasana di rumah keluarga Pradipta berjalan seperti biasanya.

Senin pagi dimana pesanan catering siap dikirim untuk makan pagi para pegawai kantor langganan ‘Maharani Catering’ sudah mulai siap dikirim. Ibu Rani yang sudah menghandle masakan sejak pukul 2 pagi ini terlihat sibuk mengecek semua pesanan apakah sudah siap semua.

Sementara itu didalam rumah, tampak Pak Teddy tengah membereskan tas kedua jagoan kembarnya. Beliau mengecek jadwal pelajaran hari ini apakah sudah pas dengan buku-buku yang ada didalam tas tersebut, juga memasukkan bekal makanan untuk mereka. Sedangkan si kembar asyik menunggu sarapan yang tengah disiapkan oleh kakak mereka.

Freta sibuk mengolesi beberapa tangkup roti untuk sarapan adik kembarnya, sambil memakan roti yang menjadi sarapannya juga.

Tak lama sang kakak tertua menuruni tangga “Dek, ayo kita berangkat sekarang. Jam 7 kurang 15 menit kakak udah harus siap buat Apel Paskib” ajak Farel pada Freta.
“Tapi kak, sarapan buat si kembar belum selesai nih” terang Freta.
Farel pun mendekat meja makan dan menegak segelas susu miliknya. “Ayo dek” katanya lagi setelah susu yang diminumnya habis.
Tanpa bersuara Freta mengacungkan kedua tangannya yang tengah memegang roti dan pisau selai.
“Sudah, sini biar Ayah yang selesein” Pak Teddy mengambil roti yang tenggah dipegang Freta. “Adek berangkat aja, susunya jangan lupa diabisin” perintahnya.
Freta pun menurut.
“Kakak ngga sarapan dulu?” tanya Ayah pada Farel.
“Engga yah, udah ngga keburu lagi ntar” tolaknya halus.
“Ini bekalnya jangan lupa Kakak sama Adek” Pak Teddy menyerahkan bekal yang sudah disiapkan Ibu Rani untuk Farel dan Freta.
Sejurus kemudian mereka berdua berpamitan pada Pak Teddy “Yah kita berangkat dulu. Assalamualaikum” salam Freta.
“Waalaikumsalam” jawab Pak Teddy. “Jangan lupa pamitan sama Ibu”
“Iya yah” teriak Freta.
Bangunan kecil disebelah rumah yang merupakan tempat “Maharani Catering” mengembangkan usahanya sudah sedikit lengang dibanding sebelumnya. Farel dan Freta mendekati ibu Rani untuk berpamitan “Bu kita berangkat dulu” kata Farel.
“Iya nak, hati-hati dijalan, belajar yang rajin, dan jangan lupa bekalnya dimakan” pesan ibu Rani.
“Iya bu, Assalamualaikum” jawab Freta sembari salam.
“Waalaikumsalam” sahut ibu Rani.

Freta pun segera membonceng motor yang dikendarai Farel untuk menuju sekolah.

***

Sementara itu si kembar Rein dan Shan tengah melahap sarapan mereka sambil sibuk dengan mainannya masing-masing. Rein sibuk memainkan mobil-mobilan favoritnya sementara Shan si anak bungsu lebih memilih untuk bermain dengan pensil warna dengan kertas didepannya. Pak Teddy tersenyum melihat tingkah dua putranya tersebut, tak lama terdengar bunyi klakson bis didepan rumah yang tak lain adalah bis sekolah dimana Shan dan Rein menuntut ilmu.

“Ayo jagoan-jagoan Ayah bis udah jemput, waktunya ke..” tanya Pak Teddy.
“Sekolaaaahhh” sahut Rein dan Shan kompak.
Diluar, Ibu Rani ternyata juga sudah menunggu mereka, Rein dan Shan menyalami kedua orang tuanya itu.
“Ada yang lupa nih?” kata Ayah.
“Oh iya, Assalamualaikum” jawab mereka kompak.
Kedua orang tua ini melambaikan tangan setelah bis jalan bersiap menjemput siswa-siswa yang lain.
“Ayah belum berangkat jam segini” tanya Bu Rani setelah melihat jam tangannya.
Raut Pak Teddy sedikit berubah kaget “Oh iya, udah jam segini ya. Yaudah bu Ayah juga siap-siap”

***

Dalam kemudi motornya ada sedikit perasaan bersalah bergelayut dihati Pak Teddy pada keluarganya.

“Awas Pak!!” teriak salah seorang pengendara yang tengah berhenti dilampu merah.
Pak Teddy hampir menabrak mobil didepannya yang tengah berhenti.
“Makanya Pak, lagi bawa motor jangan melamun” kata seorang pengendara lain.
“Iya maaf-maaf, saya kurang konsentrasi tadi” ucap Pak Teddy bergantian pada kedua pengendara tadi.

Kini Ayah empat anak ini sudah sampai ditempat kerjanya, tepatnya tempat kerja barunya. Disiapkannya beberapa gambar baik itu berupa karikatur seseorang, lukisan jalanan, siluet, dan beberapa gambar lain. Dari dalam tas dikeluarkannya alat-alat untuk menggambar. Dua buah kursi kecil untuk dia duduki dan pelanggannya nanti, dan terkahir sebuah jurus pamungkas “Bissmilahhirrohmanirrohim” sembari menggantung tulisan “Reltarehan Galery”. Kini beliau siap untuk mencari rejeki demi menafkahi keluarganya, keluarga yang begitu ia cintai.
Di kanan kirinya pula tengah ada pedagang-pedagang yang menjajakan usahanya. Sepanjang trotoar dijalan ini memang tempat bagi para tulang punggung keluarga mencari nafkah.
Seorang wanita dengan berkalung kamera mendekati ‘Reltarehan Galery’ ia memandangi setiap gambar yang dipampang oleh penjualnya.

“Mari mba ada yang bisa saya bantu” kata Pak Teddy ramah.
“Ini buatan bapak sendiri” tanya si wanita tersebut.
“Iya semua ini buatan saya sendiri” jawab Pak Teddy.
“Kalo saya minta ini dibuat lukisan bisa?” kata wanita tadi sambil memperlihatkan sebuah foto.
Pak Teddy memperhatikan foto tersebut dengan teliti “Iya mba, saya bisa. Mau lukisan dengan media kanvas atau kertas lalu warnanya sama dengan foto atau bagaimana” tanya Pak Teddy pada pelanggannya tersebut.
“Pake kanvas ukuran kecil aja, trus warnanya black and white” jelas wanita tersebut.
“Baik mba, tunggu kurang lebih 1 jam ya, silahkan duduk dulu” kata Pak Teddy, sejurus kemudian dia menyiapkan segala yang dia butuhkan untuk melayani pelanggan pertamanya dihari ini.

***

Bel tanda pulang Sekolah sudah berbunyi 10 menit yang lalu, kini Freta tengah menunggu kakakknya di sambil duduk disebuah halte depan sekolah.

“Fre??” Freta segera mengalihkan pandangan pada seseorang yang baru saja memanggilnya.
“Eh iya dit” kata Freta.
“Kamu lagi nunggu kak Farel yah?” tanya seseorang yang bernama Dita tersebut.
“Iya, kamu nunggu jemputan juga” Freta balik bertanya.
“Iya, aku nunggu si Adit nih biasa paling ntar lama” kata Dita sedikit cemberut.
“Haha, kalo pacar setia harus rela nungguin berapapun lamanya” Freta meledek.
“Fre.. kamu yah” Dita sedikit tersipu malu, tak lama ia pun mencubit lengan Freta.
“Auww, Dita sakit tau” Freta sedikit jengkel.
“Abis kamu pake acara ngomong begitu segala” Dita membela diri.
Mereka pun akhirnya tertawa bersama.
“Oh iya Fre, kemarin kok kata Adit dia sempet liat orang mirip Ayah kamu di Jalan Merpati” Dita berujar.
Freta sedikit memutar otaknya “Jalan Merpati yang banyak galery art itu?” tebak Freta.
“Iya, disitu. Katanya lagi beliau lagi..” belum selesai Dita bercerita sebuah klakson motor berbunyi cukup keras hingga mengagetkan mereka berdua.
“Aadiiiittt” teriak mereka serempak.
“Ups, sorry. Kaget yaa?” tanya Adit si pacar Dita ini tanpa dosa. “Dita ayo buruan, bentar lagi aku mau latihan” sergahnya lagi sebelum Dita sempat berucap.
Dengan muka sedikit jengkel Dita pun menurut “Fre maaf yaa aku duluan, takut Adit ntar telat. Ohya cerita tadi sambung besok lagi aja yaa” sesal Dita.
“Iya dit ngga papa, kamu hati hati yah” pesan Freta halus. Meskipun ada sekelumit pertanyaan yang muncul dari benaknya tentang Ayahnya tadi.

***

Di boncengan kakakknya, Dita masih terus menyimpan rasa penasaran. Farel pun heran dengan sikap Freta yang tak biasanya tenang saat diboncengnya. Dia pun berinisiatif untuk menambah kecepatan spedometer motornya itu. Druuunnngggg........

“Kak Farel!!” teriak Freta sembari memeluk erat perut kakakknya, sedang tangan kirinya membenarkan posisi roknya yang terkena angin.
“Hahaha, kaget? Makanya jangan ngelamun terus daritadi. Serius bener” ucap Farel santai.
“Apaan sii, siapa juga yang ngelamun” balas Freta tak mengakui.
“Biasanya ngoceh mulu, ini anteng aja kamu dek” kata Farel heran.

Freta hanya diam menanggapi kakaknya ini. 2 bersaudara yang amat akrab ini memang hanya memiliki jarak umur 2 tahun, mereka pun selalu satu sekolah seperti halnya di SMA kini. Farel, sang kakak aktif dalam kegiatan Paskibraka disekolah, badannya yang proporsional begitu mendukung kegiatan favoritnya itu. Sementara sang adik Freta, badannya memang hanya berukuran sedang namun gemulai tubuhnya saat menjadi seorang ballerina tidak diragukan lagi. Setiap hari mereka selalu berangkat dan pulang sekolah bersama dengan mengendarai motor hadiah sang ayah 3 tahun yang lalu.
Hampir warga 1 sekolah mengenal mereka, kakak beradik yang selalu akur dan kompak, serta berprestasi pula.

***

Malam hari adalah saat dimana keluarga ini berkumpul dalam satu meja, saling berbagi cerita, dan tentunya menikmati makan malam masakan Ibu tercinta.
Selesai makan, ibu menyiapkan makanan pencuci mulut yaitu beberapa buah yang dia hidangkan di atas meja.

“Ibu tadi siang baru dapet orderan catering besar-besaran untuk 3 perusahaan sekaligus” kata Ibu Rani sumringah.
Semua anggota keluarga tersenyum senang.
“Alhamdulillah bu, itu artinya makin banyak orang yang tau kalo masakan ibu itu enak” terang Pak Teddy memuji.
“Jelas dong, ibunya sapa dulu?” ucap Freta.
“Ibunya aku” jawab Shan semangat.
“Engga, ibunya aku” Rein tak mau kalah. Adu argumen diantara dua saudara kembar ini pun tak dapat dielakkan.
“Hey hey jagoan ngga boleh berantem dong, Ibu itu milik kita semua. Kak Farel, kak Freta, Rein, Shan, dan juga Ayah” Farel sebagai anak tertua menengahi.
“Iya, semuanya milik ibu, Anugerah dari Allah yang paling ibu sayangi. Ayo kalian maaf-maaffan, ngga boleh berantem” perintah ibu bijak.

Dua saudara kembar itu menurut, mereka tak lagi bertengkar. Rein menyodorkan kelingkingnya sebagai permintaan maaf pada Shan, Shan pun membalasnya. Mereka saling tersenyum, dan akur kembali.

“Ibu kan dapet uang banyak, Rein bisa beli robot gundam versi baru dong bu” pinta Rein.
“Shan mau juga, tapi beli sama Ayah” Shan sambil memakan irisan melon didepannya.
“Oh iya yah, aku pengen beli sepatu ballet yang baru. Sepatu yang lama udah ngga enak dipake” Freta juga mengutarakan keinginannya pada sang Ayah.
“Uhukk.. uhukk..” Farel tersedak buah yang dimakannya. Raut mukanya berubah merah, sebersit sakit pada getar hatinya tersentak.
“Ya ampun kakak, kok bisa keselek gitu” sesal Ibu “Ini minum air putih dulu” sambil menuangkan air putih kedalam gelas.
“Kenapa sii kak, kakak pengen apa hayoo” ledek Freta.
“Kamu tuh dek, orang yang baru mau dapet rejeki banyak kan Ibu kenapa mintanya ke Ayah” jawab Farel sembari menahan perasaan hatinya serta pikirannya tentang kondisi ayahnya kini.
“Oh iya juga yaa, abis aku lebih sering minta ke Ayah hehehe” sadar Freta.

Pak Teddy pun tak kalah tersentak hatinya ketika mendengar keinginan Freta, anak perempuan satu-satunya ini. Dia sungguh bingung bagaimana dia harus menuruti keinginan anaknya tersebut, kalau saja penghasilannya saat ini cukup dia tak perlu takut untuk membelikan kebutuhan putri kesayangannya itu. Tapi Pak Teddy yang sekarang bukanlah seorang Pegawai Swasta yang berpenghasilan lumayan tinggi, namun hanya seorang pemilik galery di trotoar jalan pedangang jalan yang tak menentu penghasilannya. Dan yang lebih menyesalkan adalah, tidak ada satu anggota keluarganya pun yang tahu kondisinya saat ini.

“Adek, kalo Ayah udah dapet rejeki pasti Ayah bakal ajak kamu ke tempat biasa kita beli perlengkapan ballet. Kamu sabar tunggu aja yah” Ibu memberi pengertian.
Tak ada sepatah katapun yang dapat Pak Teddy jawab. Dia tak mau jujur dengan kebohongannya tersebut.
Farel terlihat tak tega melihat sang ayah yang terlihat begitu tak berdaya disaat seperti ini, dia pun lebih memilih untuk naik dan masuk ke kamarnya “Semuanya, aku mau masuk kamar duluan yaa, ada tugas sekolah yang belum aku kerjain” katanya beralasan.

Di dalam kamar berukuran 4x3 yang begitu lengkap ornamen Superman itu Farel menangis, entah bagaimana dia begitu lemah seperti saat ini. Yang dia tahu hatinya sakit karena Pahlawan keluarganya yang begitu ia hormati saat ini sakit hatinya, pekerjaan yang dulu menopang  kesuksesannya berganti, terkikis dengan entah apa sebabnya. Ayahnya yang dia lihat tengah menjajakan jasa pada galery art di trotoar jalan, berjualan dari jam 8 pagi sampai 5 sore, dengan pelanggan yang tak seberapa, pun dengan penghasilannya. Farel sudah mengetahuinya sejak 2 minggu lalu, rasa kasihan teramat sangat begitu ia rasakan, belum lagi Ayah tak menceritakan keadaan dirinya saat ini. Farel hanya berani melihat sang ayah dari kejauhan, menegur apalagi bertanya pun ia tak berani. Sama seperti sikap Ayahnya, dia pun mengurung diri dalam rahasia keluarga tepatnya rahasia sang Ayah.

Adik perempuannya tadi meminta dibelikan sepatu balet baru, jelas Ayah tak mungkin bisa membelikannya secepat dulu, butuh waktu sampai jumlah uang yang sanggup untuk membeli sepatu tersebut terkumpul. Dengan sedikit takut dan gusar, dia mengambil buku tabungan yang tersimpan dilaci meja belajarnya. Diamatinya rupiah yang tersisa di saldo.

“Yah-Bu, aku mau pergi kerumah temen bentar. Ada urusan” kata Farel pamit.
Ayah yang sedang mengajari Rein dan Shan membuat PRnya di ruang tv menjawab “Iya nak, hati-hati. Pulangnya jangan terlalu malam, besok sekolah”
“Kalo urusannya udah selesai bergegas pulang yaa” ibu tak lupa berpesan.

Anak sulung ini kemudian menyalami kedua orang tuanya dan megucap salam.

***

04.00 WIB
Mata Freta masih setengah terbuka, kantuknya begitu kuat. Namun harus ia lawan ketika kumandang Adzan bertalun, diiringi ketukan pintu dari luar kamarnya oleh sang Ayah yang mengajaknya Shalat Subuh berjamaah.

Keluarga Pradipta pun Shalat Subuh berjamaah di Mushola rumah mereka.
Pak Teddy sebagai Imam, Imam keluarga yang begitu dihormati pula oleh keluarganya.
Selesai Shalat Subuh, Freta kembali masuk kedalam kamarnya. Pandangan matanya tertuju pada meja belajarnya dimana saat ini terdapat sebuah kotak yang berukuran sedang. Asing baginya karena dari semalam, benda ini belum ada.
Dilihatnya lekat, diatasnya terdapat  tulisan “Given to Alfreta Pradipta Putri”  dengan pita mungil tersemat disisi kirinya.
Freta lekas membuka kotak tersebut, dan wajahnya berbinar saat melihat isinya. Sebuah sepatu ballet berwarna peach yang begitu lucu dan elegan. “Ini pasti dari Ayah” pikirnya senang.

***

Di meja makan sudah ada Ayah, Farel, dan si kembar yang tengah menikmati nasi goreng untuk sarapan mereka.

Freta menuruni tangga dengan semangat, hatinya semakin riang ketika melihat sang Ayah, dia mendekat dan merangkul leher Ayahnya lembut “Ayah makasih yaa, ayah baik banget, aku sayang Ayah” ucap Freta lembut, kemudian dikecupnya pipi sang Ayah.

Pak Teddy terlihat bingung dengan perlakuan putrinya, terimakasih untuk apakah, lalu apa yang membuat putrinya ini begitu gembira. Pak Teddy hanya bisa menjawab “Iya sayang, Ayah juga sayang banget sama kamu nak”

Farel yang melihatnya senang, meskipun sang adik belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.

***

Farel membawa motornya ke pinggir jalan lalu menghentikannya. Freta heran dengan apa yang dilakukan kakaknya ini, kurang beberapa puluh meter dari sekolah mereka, Farel justru berhenti.

Freta turun dari boncengannya “Kenapa kak, motornya ada masalah?” tanya Freta penasaran.
“Bukan motornya, tapi keluarga kita” jawab Farel sambil mencari tempat untuk duduk.
Kening Freta berkerut “Maksud kakak” tanyanya bingung.
Farel menghela napas untuk beberapa detik “Gini dek, sebenernya sepatu ballet yang baru kamu dapet tadi pagi itu dari kakak” jujurnya.
“Hah!! dari kak Farel??” Freta kaget tak percaya.
Farel pun menceritakan semua yang telah terjadi, dari mulai kondisi sang Ayah saat ini, sampai bagaimana akhirnya dia membelikan sepatu ballet baru untuk Freta. Sembari bercerita, Farel pun tak dapat membendung air matanya begitu pula Freta yang tak percaya dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Ayahnya kini, ayah yang begitu ia sayangi.

Sepanjang aktifitasnya di sekolah dan kursus balet pikiran Freta tak sepenuhnya konsentrasi, justru melalang pada sang Ayah. Keinginannya satu ingin segera bertemu ayah, dan selesai kursus ia pun menuju Jalan Merpati, dimana Ayahnya berada saat ini.

Ditatapnya satu persatu penjual sembari melewati trotoar, suasana seni begitu kental disini. Cukup panjang jalan yang ia lewati sampai akhirnya terhenti pada salah satu pedagang yang tengah mengemasi dagangannya, pedagang yang akan segera pulang untuk menemui keluarganya dirumah, pedagang yang sangat ia kenal.

“Ayah” ucap Freta getir.
Suara yang tak asing lagi ditelinga Pak Teddy menggetarkan hatinya.

Mereka berdua pun saling menatap, raut wajah takut begitu terlihat dari Pak Teddy sementara air mata Freta mengucur. Dipeluknya Freta erat oleh sang Ayah, rasa penyesalan yang begitu mendalam tertaut berat dihati Ayah 4 orang anak ini.

“Ayah kenapa ngga cerita?” tanya Freta sedikit tertangis.
Pak Teddy yang duduk disebelah Freta merangkulnya, beliau mencoba tegar tak mau membuat putrinya semakin sedih.
“Masalah keuangan dikantor yang begitu pelik membuat para karyawan menuntut keadilan, uang perusahaan yang harusnya dialokasikan untuk beberapa kegiatan manajemen hilang entah kemana. Bahkan proyek besar yang siap dikerjakan gagal dan menimbulkan kerugian yang tak sedikit. manajer keuangan yang mengkomando Ayah ternyata mengambil uang untuk keperluan pribadinya dan beliau pergi entah kemana, akhirnya Perusahaan memecat semua staf keuangan termasuk Ayah. Padahal tak ada satupun staf yang mengetahui kecurangan tersebut. Kami semua bertindak jujur sesuai aturan perusahaan” cerita Pak Teddy sedih.
Freta sudah tak mengeluarkan air dari matanya, dia memperhatikan dengan cermat cerita dari Pak Teddy “Jadi, Ayah dan semua teman-teman staf difitnah?”
“Iya bisa dibilang begitu, dan karna ini pula Ayah malu, malu pada semua karyawan, bahkan pada keluarga Ayah sendiri. Ayah bingung harus bagaimana sampai akhirnya Ayah menemukan pekerjaan ini, dan semua ini terlalui dalam sebuah kebohongan” sesal Pak Teddy.
“Lalu, kalaupun Kak Farel dan aku udah tau. Ayah tetap menyembunyikan ini semua?” balas Freta.
“Apa yang Ayah lakukan memang bukan perilaku yang baik, dan sangat tidak baik untuk dicontoh orang lain apalagi anak-anak Ayah. Freta, dalam hidup sesungguhnya yang paling Ayah takutkan adalah menjadi Ayah yang gagal, apalagi didepan ibu dengan kesuksesannya saat ini. Ayah memang bangga dengan ibumu nak, tapi dalam hati kecil Ayah begitu malu bagaimana seorang suami tak bisa sesukses istrinya” Pak Teddy menahan air matanya. “Dalam dunia kerja, Ayah sudah gagal. Menjatuhkan nama baik keluarga sendiri, belum lagi dengan pekerjaan ayah sekarang. Tak bisa memanjakan keluarga seperti dulu, butuh banyak waktu bahkan untuk membeli hal kecil sekalipun”
Freta menggelengkan kepalanya, menggenggam erat tangan Ayahnya “Ayah ngga boleh ngomong seperti itu, buat aku Ayah adalah  Pahlawan. Pahlawan yang mengabdikan hidup dan kehidupannya hanya untuk keluarga, Ayah yang begitu bijak dalam memperlakukan keluarga, Ayah yang tak pernah lelah memberikan petuah serta inspirasi. Dan tentu saja bukan ayah yang gagal, Ayah yang begitu luar biasa yang pernah aku temui adalah Pria yang bernama Teddy Pardipta” Freta meyakinkan ayahnya agar beliau tidak terpuruk dengan kenyataan hidup.
“Mungkin aku emang masih belum percaya kenapa Ayah sekarang disini, tapi aku ngga pernah menyesal punya Ayah seperti Ayah ini. Ayah pernah berpesan saat aku baru masuk SMP, jika nanti aku udah lulus kuliah dan bekerja. Carilah pekerjaan apapun yang penting pekerjaan tersebut halal. Dan yang saat ini menjadi profesi Ayah bukan pekerjaan yang haram. Ini halal yah” Freta memeluk Ayahnya erat.

Raut kebanggaan akan anak perempuan satu-satunya ini mengucur di kening Pak Teddy. Anak perempuan yang begitu ia sayangi dan kasihi terbentuk menjadi perempuan yang bijak dalam menyikapi hidup.

“Kapan Ayah akan jujur sama ibu soal ini” tanya Freta serius.
Raut kebanggaan Pak Teddy berubah gusar saat mendengar pertanyaan putrinya tersebut, masih ada dosa kebohongan yang belum ia tebus. Pada istrinya sendiri.

***

Langkah kaki penuh kecemasan dan ketakutan menghinggap pada kakak-beradik yang tengah berjalan disebuah koridor rumah sakit, kabar buruk menghujam mereka saat sang Ayah menelpon dan mengabarkan tentang kondisi sang Ibu yang tengah berada diruang ICU.
Samar mulai terlihat seseorang yang tengah duduk dibangku depan ruang ICU.

“Ayah” kata Farel.
Mata Pak Teddy terlihat sembab, jelas ada sebuah beban besar yang tengah ia hadapi “Kakak Adek” ucapnya pelan.
Freta segera menghambur memeluk ayahnya tersebut, air matanya pun tumpah.

Ibu Rani yang tengah menuruni tangga dengan membawa banyak tumpukan kardus ditangannya terpeleset hingga jatuh sembari menuruni tangga, seketika ia tak sadarkan diri. Saat dia dibawa keruang ICU kepalanya banyak mengeluarkan darah, pendarahan yang cukup hebat menyerangnya. Pak Teddy yang saat itu sudah ada dalam perjalanan untuk bekerja segera berputar arah menuju rumah sakit.

“Ayah” teriakan kecil namun cukup lantang terdengar kembali, Rein memanggil setelah diliatnya sang ayah dan 2 kakaknya.
Rein dan Shan datang bersama salah satu karyawan Bu Rani.
“Rein-Shan kalian ngga sekolah?” tanya Pak Teddy.
Mereka berdua tak segera menjawab, diliatnya sang Ayah untuk beberapa saat kemudian Farel dan Freta dimana semuanya tengah menangis.
Rein dan Shan saling bertatapan sejurus kemudian mereka pun juga larut dalam tangis “Kita mau liat Ibu yah” jawab Shan pelan.
Farel dengan sigap merangkul kedua adiknya kemudian mengajak mereka untuk duduk bersama “Ibu baik-baik aja kok, udah ya kalian ngga boleh nangis lagi” Farel menenangkan suasana hati Rein dan Shan dengan lemah lembut agar mereka tidak semakin tertekan.

Hampir 2,5 jam berlalu. Terdengar suara pintu ruangan yang sedari tadi keluarga ini tunggui terbuka diiringi keluarnya sang dokter yang menangani Ibu Rani.

Pak Teddy segera berdiri menyambutnya, dan banyak sekali penjelasan dokter yang ia tunggu. Dokter pun tak berani gegabah dengan mengabarkan kondisi Ibu Rani saat ini langsung didepan Pak Teddy beserta anak-anaknya. Diajaknya Pak Teddy untuk masuk keruang prakteknya,  kemudian Pak Teddy mengkomando kedua anaknya yang sudah mulai beranjak dewasa agar menurut apa kata beliau.

Farel ikut dengan Pak Teddy masuk ke ruang praktek Dr. Reza, sementara Rein dan Shan diajak Freta untuk mencari hiburan di taman rumah sakit. Freta tak mau adiknya menangis lagi, cukup ia, kakak, serta ayahnya yang memang sudah lebih mampu untuk memahami apa itu rasa sedih bukan kedua adik kembarnya.

***

Ibu Rani sudah dipindahkan keruang rawat yang juga ruang dimana ia akan menghabiskan masa-masa komanya, akibat kecelakaan tadi Ibu Rani mengalami benturan yang cukup membuat kepalanya mengalami luka yang serius, untungnya hal tersebut segera ditangani dengan baik oleh dokter. Namun ternyata hal ini juga menjadi awal kenyataan bahwa Bu Rani ternyata koma dan dokter belum mampu memprediksi berapa lama Bu Rani akan melewati masa-masa tersebut.

Pak Teddy yang sudah mengetahui kenyataan tersebut sontak tak bisa percaya begitu saja, ia begitu sedih dan takut. Berbagai pertanyaan muncul dibenaknya, yang ingin ia utarakan pada Tuhannya. Apa maksud Tuhan dari semua ini, mengapa dia harus memberikan cobaan seperti ini pada dirinya dan keluarganya, dan bagaimana nasib ia dan keluarganya nanti terutama 4 orang anaknya.  
Cukup lama ia berpikir, duduk ditemani Farel yang sedari tadi hanya menangkupkan tangan kedepan wajahnya. Sebagai anak dia tentu sedih mendengar kondisi sang ibu. Pak Teddy melihatnya tak tega, ia pun akhirnya menyadarkan diri agar bisa menerima kenyataan, Tuhan boleh mengujinya seperti ini, dan dunia mendukungnya secara tega, tapi ia tak boleh terpuruk akan hal itu. Dia harus bangkit, membuktikan bahwa ia bisa menjalani, dan yang terpenting keluarganya harus terus menjalani hidup meskipun untuk beberapa waktu yang tidak bisa diprediksi sang Ibu tidak bisa menemani.

***

Pak Teddy menepuk bahu Farel kemudian merangkulnya, Farel pun menoleh melihat sang Ayah. Dipandanginya mata sang Ayah lekat, ada secerca penyemangat yang ia lihat. Jika sang Ayah akan kuat menjalani ini, pasti sebagai seorang anak apalagi anak tertua, ia juga bisa menjalani semuanya. Pikir Farel dari dalam hati.

“Nak, masih ada Allah dengan mukjizatnya” kata Ayah tenang.
Farel pun menganggukan kepala sebagai tanda ia ikhlas menerima cobaan ini, kemudian dipeluknya sang Ayah.

***

Pak Teddy kemudian mengajak semua anaknya untuk melihat kondisi sang Ibu diruang rawat, dalam paras khas seorang Ayah tak sedikitpun gurat kesedihan terlihat, jauh berbeda dengan tadi.

“Ibu, kami semua disini selalu ada buat ibu. Kami mau ibu bisa seperti dulu lagi, untuk itu ibu harus sembuh yaa” pinta Pak Teddy lembut.

Freta yang sudah mengetahui semuanya tak bisa berhenti untuk mengeluarkan air mata sementara Farel disampingnya masih terus merangkul sebagai tanda menyemangati.

Rein dan Shan yang masih terlalu kecil untuk mengetahui apa itu koma, hanya diberi sedikit pengertian oleh sang Ayah bahwa ibu tengah beristirahat agar beliau cepat sembuh. Mereka dengan polosnya mengangguk sebagai tanda mengerti.

***

2 minggu berlalu.
Ibu Rani masih tertidur tenang dalam komanya, sementara suami dan keempat anaknya tetap tegar menjalani hidup tanpa dirinya.

Pak Teddy sudah mulai terbiasa mengurus keluarga seorang diri, berperan ganda sebagai ayah yang menjadi sumber kekuatan keluarganya sekaligus menjadi ibu yang menjadi pelita dalam keluarga.
Malam hari ketika diluar rumah cuaca tak bisa berkompromi dengan hujan badai beserta petir yang menyambar-nyambar tak tentu waktu. Rein dan Shan menggigil dalam demam yang keduanya alami, Pak Teddy yang baru pulang dari Rumah Sakit segera mengambil obat beserta air hangat guna mengompres  kedua putranya ini. 1 jam kira-kira Pak Teddy harus bergulat sendiri menangani 2 anaknya yang sakit secara bersamaan tersebut sampai akhirnya mereka bisa tidur.

“Ibu” igau Shan dalam tidurnya.
Pak Teddy akhirnya mengerti kenapa 2 anak kembarnya bisa sakit seperti ini,  mereka terlalu merindukan sang Ibu. 6,5 tahun usia mereka dan itu terlalu dini menjalani hidup tanpa sang Ibu yang menemani, merawat, serta mengasuh mereka.

Lantunan ayat dan doa tak henti keluar dari mulut Pak Teddy, membisikannya pelan disamping tempat tidur Rein dan Shan. Sementara tangan kanannya terus menjentikkan tasbih.

***

1 bulan menjelang.
Pak Teddy terlihat kewalahan mengurus pekerjaan sebagai pemilik galery  dan juga mengurus catering milik keluarganya karena Ibu Rani masih koma. Dengan sedikit berat hati, akhirnya ia memutuskan untuk menutup sementara usaha itu. Ia ingin lebih fokus berwiraswasta seperti bagaimana dulu ia dan Ibu Rani merintis usahanya dari nol.
Disalah satu kamar rumah sakit yang dingin dan tenang masih ada seorang malaikat yang masih terbaring dalam koma. Pak Teddy memasukinya pelan, ditaruhnya buket bunga Mawar yang sedari tadi ia bawa ke meja samping brankart istrinya tersebut.

“Selamat Pagi cantik” sapa Pak Teddy halus. Dia memang selalu memperlakukan sang istri layaknya bidadari. Ditengah tidur tenangnya tersebut paras ayu dari Bu Rani memang tak sedikit pun pudar.
“Ayah bawain bunga mawar yang ke-4, disana ada banyak doa serta harapan dari ayah buat ibu” ucapnya yakin.
“Ibu, Ayah minta maaf yaa baru bisa jujur dengan ibu sekarang karena sebenarnya” Pak Teddy menceritakan semua hal yang berkaitan dengan pekerjaannya, sebuah kenyataan yang baru bisa ia utarakan justru ketika sang istri tengah koma. Rasa bersalah itu pasti, namun ia sedikit lebih kuat ketika keempat anaknya bisa menerima dirinya dengan pekerjaan yang ia geluti dengan lapang dada.

***

Bulan ketiga.
Berdiri Freta didepan cermin dimana terdapat pantulan dirinya yang terlihat begitu anggun dengan baju ballet yang ia kenakan.

“Fre, kamu pasti bisa. Tetap tenang dan jadi dirimu sendiri” kata Freta dalam hati.

Sebelumnya dipagi hari sebuah pesan singkat masuk ke inbox Pak Teddy.
From: Alfreta
Receive: 08.16.14am
                  21.05.2011

Ayah..
Hari ini aku ada kontes ballet buat seleksi kompetisi musim depan. Doain aku sukses ya yah, ohiya kalo Ayah ngga sibuk, ayah nonton yaa =)

Selesai melihat pesan tersebut Pak Teddy menyusuri sudut rumahnya yang berisi foto-foto keluarganya dalam berbagai jaman. Dilihatnya foto seorang ballerina kecil yang begitu lucu dan anggun tengah bergaya . Anak perempuan satu-satunya yang sangat ia impikan menjadi seorang ballerina profesional dikemudian hari nanti.

Freta yang masih terkantup dalam perasaan nervous, juga berharap sang Ayah bisa menontonnya nanti. Tapi harapannya tak muluk-muluk, ia tau bagaimana peran ayahnya kini, beliau sudah terlalu sibuk mengurus catering, ibu, serta saudara-saudaranya. Yang ia harapkan adalah doa mujarab dari Pahlawannya itu.

“Freta, sekarang giliran kamu. Bersiap segera” ucap salah seorang pelatihnya sembari menepuk bahu Freta pelan.

Freta mengangguk, ia mulai memasuki panggung yang cukup luas. Didepannya tengah ada ratusan pasang mata yang mengarahkan pandangan pada dirinya. Dikantupkannya kedua tumitnya menjadi satu, kedua tangannya mengepal didepan perutnya.  Sebelum ia bersalam hormat pada audience.

“Kak Freta” suara teriakan yang cukup lantang mengagetkan dirinya, ditelusurinya sumber suara tersebut.
“Shan” ucapnya seketika melihat orang yang memanggilnya tadi, dan disisi kiri adiknya tersebut telah ada Ayah dan Rein.

Ayah tersenyum ketika mata Freta dengan dirinya bertemu. Diangkatnya tangan kanannya sambil mengepal sebagai tanda menyemangati “Semangat” Freta dapat mengerti maksud ayahnya tersebut.
Ia pun mengangguk sambil tersenyum sumringah. Kemudian ia memberi salam pada audience lalu mengalunkan tubuhnya mengikuti musik.

Dibelakang panggung dengan harap-harap cemas Freta, Pak Teddy, Rein, dan Shan tengah menunggu hasil kontes tadi. Siapa saja ballerina yang akan terpilih mengikuti kompetisi dimusim depan.

Seketika luapan bahagia muncul dari keempatnya ketika nama Alfreta Pradipta Putri terpilih sebagai salah satunya. Pak Teddy memeluk putrinya erat dan berputar menerbangkannya.

Seperti biasa, setiap hari menjenguk, dengan buket bunga setiap minggunya Pak Teddy dengan bersemangat bercerita kepada sang istri tentang semua hal yang ia alami. Tak pernah ada satu topik pun yang ia lewatkan pun demikian dengan sang istri yang dengan setia mendengarkan meskipun ia koma.

Tentu saja topik tentang putri mereka satu-satunya, Pak Teddy begitu bersemangat.
“Ayah tidak pernah menyangka  tentang putri kecil yang Ayah lihat sendiri saat ia keluar dari rahimmu kini telah tumbuh layaknya seorang putri cantik yang parasnya sama cantiknya sepertimu, anak perempuan satu-satunya yang begitu ayah manjakan sepenuh hati. Dapat tumbuh mandiri dengan doa dan impian kita yang saat ini membentuknya” cerita ayah begitu senang.

***

5 Bulan terlewati.
Tak berubah seperti dulu, selesai keluarga Pradipta makan malam. Mereka bersantai diruang keluarga, namun tak lengkap. Hanya ada Pak Teddy, Freta, Rein, dan Shan. Farel yang masih sibuk di sekolah guna mempersiapkan dirinya dalam regu paskibraka yang akan bertugas beberapa hari lagi di Upacara Kemerdekaan Indonesia belum pulang kerumah.

“Assalamualaikum” ucapan salam dari suara khas Farel seketika membuka pintu rumah. Semua yang berada di dalam rumah dan mendengarkannnya menjawab “Waalaikumsalam”.

Tanpa berucap lagi Farel langsung naik ke lantai atas untuk masuk ke kamarnya. Tak disapanya Ayah beserta saudara-saudaranya yang tengah berada diruang keluarga.

Pak Teddy melihat kelakuan putranya yang tak seperti biasanya ini heran. Ia pun segera  menyusul Farel ke kamarnya. Diketuk pintu kamar yang pada sisi depannya bertuliskan “Farel’s Nest” ini pelan.
Terdengar suara perintah masuk dari dalam, Pak Teddy kemudian masuk. Dilihatnya Farel tengah tengkurap di tempat tidurnya dan masih mengenakan seragam SMAnya.

Pak Teddy mendekat “Kamu capek nak?” tanya Pak Teddy halus.
Farel hanya menjawabnya dengan anggukan.
“Kalo gitu sekarang mandi, kemudian makan malam, dan setelah itu kamu tidur” pesan Pak Teddy pada anak tertuanya ini. Ia tahu betul kebiasaan putranya, namun entah kenapa hari ini Farel berbeda.
Farel tak sedikitpun menggubris pesan ayahnya, tak sedikitpun ia beranjak dari posisinya. Pak Teddy semakin yakin bahwa putranya memang tidak seperti biasanya.

“Kamu lagi kenapa nak, ada masalah?” tanya Pak Teddy.
Merasa Ayahnya begitu mengusiknya, ia kemudian mengubah posisi dan duduk disamping ayahnya.
“Aku ngga apa-apa yah” jawabnya singkat.
“Nak, Ayah bukan baru satu atau dua hari mengenalmu. Tapi 18 tahun sejumlah usia kamu berjalan sampai saat ini, jadi bukan hal sulit bagi Ayah untuk bisa memahami sifat dan sikap anaknya sendiri” terang Pak Teddy dalam kewibaannya sebagai seorang Ayah.
“Tapi memang Farel baik-baik aja yah, ayah harus percaya itu” Farel meyakinkan ayahnya untuk tidak mengusiknya lagi “Yaudah, Farel mau mandi” tanpa menunggu jawaban dari Ayahnya Farel segera masuk ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.
Pak Teddy hanya bisa menghela napas, kemudian ia menuju meja makan dan menyiapkan makan malam untuk putranya tersebut.

***

Pagi hari saat dimana Pak Teddy bersiap untuk menjalani hari, sebelum ia beranjak dari tempat tidur matanya dikagetkan dengan kertas yang berada diatas bantal yang biasa ditiduri istrinya.

“Surat” pikirnya dalam hati. Dilihatnya cermat, pada bagian depan surat tersebut bertulisan “Untuk Ayahku”
Dibukanya surat tersebut pelan, diselaminya bait demi bait cerita yang berada didalamnya.

Untuk Ayahku tercinta...

Ayah..
Aku memang tak seperti anak-anakmu yang bisa bercerita gamblang dengan ocehan-ocehan.
Aku hanya bisa bercerita melalui kertas dan pena yang aku buat ini. Seperti apa yang dulu ayah nasehatkan padaku agar jangan pernah memendam masalah sekecil apapun seorang diri.
Aku paham itu ayah, dan karena aku tak punya banyak keinginan untuk berceloteh. Aku pun menceritakan keluh kesahku pada diary yang senatiasa aku tulis dipenghujung hari.

Ayah..
Maaf untuk semalam, dimana Ayah harus bersusah payah mengajakku untuk bercerita tentang apa yang membuatku berbeda dibanding hari-hari biasanya. Aku terlalu egois untuk menyimpannya hanya di diary tanpa bercerita padamu, Ayahku sendiri. Aku pun takut jika persoalan yang aku alami ini semakin membuatmu terbebani setelah Ibu harus menjalani koma yang sampai saat ini masih terus tidur dan entah kapan akan terbangun. Sampai akhirnya kuceritakan ini pada sebuah surat, surat yang begitu sederhana.

Ayah..
Kemarin adalah latihan paskibraku yang ke-70 hari, dari hitungan hari selama aku dan anggota paskibraku yang lain baru memulainya. Kemarin harusnya menjadi hari dimana semua personil sudah mantap untuk bertugas tanggal 17 Agustus nanti. Namun entah apa, 2 dari anggotaku berubah tak kompak dan itu membuat latihan menjadi kacau. Dan sebagai ketua divisi aku menjadi pelampiasan amarah dari pelatih. Aku merasa begitu sakit yah, karena Ayahku sendiri saja tak pernah membentakku sekasar itu, namun dari orang lain yang bahkan baru kukenal kurang dari 4 bulan sudah berani memarahiku secara kasar didepan orang banyak pula. Aku malu kenapa tanggung jawab yang besar sebagai seorang ketua divisi sekaligus lelaki direndahkan sedemikian rupa.

Ayah..
Masalahku ini memang  belum selesai, tapi aku berharap agar engkau tak perlu memikirkannya terlalu serius. Sebagai lelaki sebagaimana Ayah selalu kuat layaknya Pahlawan yang tak pernah putus asa aku juga akan seperti itu yah, jadi ayah tak perlu khawatir.

Ayah..
Aku hanya meminta doa mujarabmu agar semua hal yang menimpaku kemarin terlepas dengan mudah dan aku dapat meneruskan tugasku dengan baik.

Dari anakmu Farel.

Seketika air mata Pak Teddy menetes tatkala membaca surat dari putra yang begitu ia banggakan tersebut, untuk kesekian kalinya anak-anaknya terbentuk menjadi pribadi yang selalu menjalani hidup dengan petuah-petuah dari orang tuanya.

***

Sepucuk surat yang tergeletak diatas meja belajar Farel membuat Farel penasaran, ia yang baru saja pulang tak terlalu memikirkan apa yang harus dilakukannya sebagaimana kebiasaan setelah pulang Sekolah. Konsentrasinya tertuju pada sebuah surat balasan yang dikirimkan padanya.

Untuk Alfarel Pradipta Putra anakku...

Ayah sudah menerima suratmu pagi tadi, ayah begitu terharu saat membacanya. Dan satu hal yang lebih membuat ayah terharu adalah anak tertua Ayah sudah tumbuh menjadi Laki-Laki yang begitu bijak dalam mengarungi hidup beserta problematika didalamnya.

Terimakasih nak karna kamu selalu mengingat petuah-petuah dari Ayah sedari kamu kecil, dan ayah harap kamu tak pernah bosan dan lupa akan petuah-petuah ayah yang lain dan belum ayah sampaikan padamu.

Ayah bisa mencerna dan mengerti semua perilakumu, ayah yakin masalahmu kemarin sudah bisa terselesaikan kan? Sesuai permintaanmu Ayah tak memikirkannya secara serius, Ayah hanya berdoa agar semua hal baik dan positif yang kamu lakukan senantiasa diRidhai olehNya. Siapapun makhlukNya yang memperlakukanmu dengan tidak baik pasti karna dia belum sadar akan siapa sebenarnya anak ayah ini.

Ayah harap kamu tetap dan selalu menjadi anak Ayah dan Ibu yang tak mengikiskan sedikitpun kebanggaan kami bisa memilikimu sebagai seorang anak. Teruslah menjadi pribadi yang selalu beriorientasi menjadi lebih baik dari sebelumnya.  Kamu tentu masih ingat saat kita dulu sempat mengalami kecelakaan mobil berdua bahwa dunia boleh kejam tapi kita harus mampu melawannya agar tidak terpuruk karenanya.

Tetap semangat anakku, kesuksesan akan senantiasa menyertaimu.

Dari Ayah yang tak pernah berhenti menyayangimu.

***
Dipenghujung bulan ke-5.
Pak Teddy dengan setia dan tanpa lelah menyeka badan istrinya, dipotonginya kuku-kuku dijari-jari lentik sang istri yang mulai tumbuh panjang. Dinyanyikannya lagu favorit mereka berdua oleh Pak Teddy. Dan selalu tak lupa bercerita tentang apa yang Pak Teddy alami.

Selesai Pak Teddy bercerita tentang Farel putra mereka. Pak Teddy berpindah pada topik lain.
“Ibu tau, Ayah semakin bersyukur karena usaha catering kita semakin maju. Meskipun para pelanggan kita sudah lama tak bisa menikmati racikan makanan khas dari ibu, tapi mereka selalu setia menikmati catering kita. Mereka bisa memahami kondisi ibu saat ini yang tengah beristirahat sementara waktu, mereka juga mendoakan ibu agar ibu segera terbangun” cerita Pak Teddy.

“Belum lagi anak-anak kita yang sudah bisa terbiasa menikmati masakan yang ayah buat setiap hari untuk, mereka pun selalu memesan menu yang berbeda setiap harinya” kata Pak Teddy sedikit tertawa.

“Ohiya bu, kemarin ayah juga didatangi seorang pelanggan galery  ayah dulu. Dia meminta ayah untuk membantu pembuatan karikatur raksasa untuk galery seni miliknya. Ayah tak pernah menyangka hobi ayah yang dulu hanya menggambar ibu semasa pacaran bisa tersalur sedemikian jauh. Doakan ayah agar karikatur tersebut bisa sukses dan diakui dunia ya bu” pinta Pak Teddy senang.

***

10 tahun bersambut.
Seorang pria yang sudah tak muda lagi usianya tengah melukis sebuah potret keluarga yang begitu mirip dengan aslinya. Dikuaskannya lembut dan tegas setiap jengkal sisi bagiannya, didalamnya berisi 2 orang yang usianya sama seperti si pelukis, 4 orang yang berusia seiktar 20 tahunan, 2 orang anak laki-laki kembar identik, serta 3 makhluk mungil yang begitu lucu menghias keluarga ini.

“Kakek” tegur seorang putri kecil berusia  sekitar 4 tahun.
“Eh Peri kecil kakek sudah datang” sapa Pria tua tersebut.
“Kakek menggambar apa?” tanyanya polos.
Pria tua tadi tersenyum mendengar pertanyaan putri kecil tadi yang perilakunya tak berbeda jauh dari ibunya “Kakek lagi melukis keluarga kita sayang, coba sekarang kamu tebak siapa saja orang yang ada dilukisan ini” pintanya.

Sambil berpikir sejenak ia pun menunjuk satu persatu orang-orang yang dimaksud kakekknya itu “Ini Kakek, ini Nenek, ini Om Farel, ini Tante Berlian, ini Om Rein trus sebelahnya Om Shan, ada juga Alan sama Alin, ini aku trus ini Ayah sama Ibu” jawabnya secara tepat.

Sebuah nyanyian ulang tahun ramai riuh menggema, Pria tua tadi sedikit kaget. Dia tak percaya semua anggota keluarganya berkumpul.

Seorang wanita tua yang tidak lain adalah istrinya tersenyum ceria sambil membawakan kue Ulang Tahun yang bertuliskan “Selamat Ulang Tahun Ayah” dengan lilin bernilai 60 tahun menghiasnya.

Pak Teddy seorang Ayah sekaligus Pahlawan Bbgi anak-anaknya ini telah menginjakkan usia 60 tahun. Di usianya ini, ia semakin bahagia karena keluarganya yang sudah lengkap memberikan surprise untuk dirinya.

Ibu Maharani sang Istri yang sempat koma terbangun setelah 6 bulan ia melewati hidup dengan raga yang tertidur pulas dan ruh yang pergi menyusuri serta melihat setiap jengkal kehidupan dalam dimensi yang sedikit tak ia mengerti.

Farel, sang anak tertua kini telah memiliki keluarga sendiri, ia saat ini meniti karir sebagai seorang militer dan memiliki istri sesuai dengan keinginannya berhiaskan sepasang anak kembar yang melengkapi keluarga kecilnya tersebut.

Sama seperti kakaknya, Freta kini telah berkeluarga, bersuamikan seorang berkewarganegaraan asing, dan memilki seorang anak perempuan lucu bernama Feli yang begitu dekat dengan kakeknya, serta meniti karir ballerina profesionalnya di kota Paris.

Si kembar Rein dan Shan yang beranjak dewasa memilih untuk berbeda jalur dalam menempuh pendidikan mereka. Rein yang lebih tertarik pada ilmu eksak melanjutkan studi yang setara SMA di Negeri Paman Sam sementara Shan yang memiliki bakat seni kuat yang menurun dari sang Ayah memilih untuk didalam negeri sembari meniti usaha galery seni bersama ayahnya.

Pak Teddy kini telah meraih kesuksesan sebagai wiraswasta dan pekerja seni yang berhasil mengantarkannya menjadi inspirasi banyak orang. Seta bangga dengan kesuksesan anak-anaknya. Namun keinginannya tak pernah berubah yaitu menjadi Ayah dan Kepala Keluarga yang baik, bertanggungjawab, dan dijamin Surga di Akhirat nanti oleh Allah SWT.


_a.d.a_

Comments

Popular posts from this blog

Happy Batik Day

source: http://www.pinterest.com/jojomiro/batik-et-peinture-sur-soie/ Teruslah menjadi warisan budaya yang tak pernah lekang oleh zaman.. Aku bangga Batik Indonesia _a.d.a_

Cerpen: Dalam Secangkir Vanilla Latte

“...Another aeroplane Another sunny place I’m lucky, I know But I wanna go home Mmmm, I’ve got to go home Let me go home I’m just too far from where you are I wanna come home And I feel just like I’m living someone else’s life It’s like I just stepped outside When everything was going right And I know just why you could not Come along with me This was not your dream But you always believed in me...” Alunan musik jazz beriring dalam irama lagu dari Michael Buble, sore itu hujan. Cafe yang tadinya lengang berubah padat, seiring dengan pengunjunng yang ingin berteduh sembari menikmati makanan atau hanya sekedar meneguk kopi. Shera berlari menuju cafe, dijadikannya tas yang dia bawa untuk menutupi kepalanya agar tidak terkena air hujan. Sesampainya didepan cafe, dia mengelap baju dan anggota tubuhnya yang terkena air hujan dengan tangannya sendiri. Masuk dan menemukan tempat kosong dipojok cafe dekat jendela. Selesai memesan dia mulai mengambil alat g...

Cerita Kota Kelahiran: PURWOKERTO Part #1 SEJARAH

source: www.banjoemas.com Setelah hampir 23 tahun lahir dan besar di kota ini, aku ngerasa perlu banget buat cerita tentang kota dengan julukan Kota Ngapak ini secara lebih mendetail disini. Dulu sebelum memutuskan untuk berkuliah di luar kota dan akhirnya meninggalkan jejak di kota lain selama hampir 4 tahun akhirnya bisa ngerasain yang namanya “Kangen Kota Kelahiran”, karena semewah dan semenarik apapun kota perantauan, masih tetap ngangenin kota sendiri. Okay kali ini aku akan cerita kota Purwokerto dari sisi sejarahnya dulu. Nama Poerwakerta atau Purwakerta diambil dari kata "Purwa" yang konon diambil dari nama sebuah negara kuna di tepan Sungai Serayu "Purwacarita" yang bermakna "Permulaan" dan "Kerta" yang diambil dari nama ibukota kadipaten "Pasir" yaitu "Pasirkertawibawa" yang bermakna "kesejahteraan" sehingga Poerwakerta bermakna Permulaan Kesejahteraan. Kota ini merupakan salah satu ko...