Pagi hari suasana
di rumah keluarga Pradipta berjalan seperti biasanya.
Senin pagi
dimana pesanan catering siap dikirim untuk makan pagi para pegawai kantor
langganan ‘Maharani Catering’ sudah mulai siap dikirim. Ibu Rani yang sudah
menghandle masakan sejak pukul 2 pagi ini terlihat sibuk mengecek semua pesanan
apakah sudah siap semua.
Sementara
itu didalam rumah, tampak Pak Teddy tengah membereskan tas kedua jagoan
kembarnya. Beliau mengecek jadwal pelajaran hari ini apakah sudah pas dengan
buku-buku yang ada didalam tas tersebut, juga memasukkan bekal makanan untuk
mereka. Sedangkan si kembar asyik menunggu sarapan yang tengah disiapkan oleh
kakak mereka.
Freta sibuk
mengolesi beberapa tangkup roti untuk sarapan adik kembarnya, sambil memakan
roti yang menjadi sarapannya juga.
Tak lama
sang kakak tertua menuruni tangga “Dek, ayo kita berangkat sekarang. Jam 7
kurang 15 menit kakak udah harus siap buat Apel Paskib” ajak Farel pada Freta.
“Tapi kak,
sarapan buat si kembar belum selesai nih” terang Freta.
Farel pun
mendekat meja makan dan menegak segelas susu miliknya. “Ayo dek” katanya lagi
setelah susu yang diminumnya habis.
Tanpa
bersuara Freta mengacungkan kedua tangannya yang tengah memegang roti dan pisau
selai.
“Sudah, sini
biar Ayah yang selesein” Pak Teddy mengambil roti yang tenggah dipegang Freta.
“Adek berangkat aja, susunya jangan lupa diabisin” perintahnya.
Freta pun
menurut.
“Kakak ngga
sarapan dulu?” tanya Ayah pada Farel.
“Engga yah,
udah ngga keburu lagi ntar” tolaknya halus.
“Ini
bekalnya jangan lupa Kakak sama Adek” Pak Teddy menyerahkan bekal yang sudah
disiapkan Ibu Rani untuk Farel dan Freta.
Sejurus
kemudian mereka berdua berpamitan pada Pak Teddy “Yah kita berangkat dulu.
Assalamualaikum” salam Freta.
“Waalaikumsalam”
jawab Pak Teddy. “Jangan lupa pamitan sama Ibu”
“Iya yah”
teriak Freta.
Bangunan
kecil disebelah rumah yang merupakan tempat “Maharani Catering” mengembangkan
usahanya sudah sedikit lengang dibanding sebelumnya. Farel dan Freta mendekati
ibu Rani untuk berpamitan “Bu kita berangkat dulu” kata Farel.
“Iya nak,
hati-hati dijalan, belajar yang rajin, dan jangan lupa bekalnya dimakan” pesan
ibu Rani.
“Iya bu,
Assalamualaikum” jawab Freta sembari salam.
“Waalaikumsalam”
sahut ibu Rani.
Freta pun segera membonceng motor yang dikendarai Farel untuk menuju
sekolah.
***
Sementara itu si kembar Rein dan Shan tengah melahap sarapan mereka
sambil sibuk dengan mainannya masing-masing. Rein sibuk memainkan mobil-mobilan
favoritnya sementara Shan si anak bungsu lebih memilih untuk bermain dengan
pensil warna dengan kertas didepannya. Pak Teddy tersenyum melihat tingkah dua
putranya tersebut, tak lama terdengar bunyi klakson bis didepan rumah yang tak
lain adalah bis sekolah dimana Shan dan Rein menuntut ilmu.
“Ayo
jagoan-jagoan Ayah bis udah jemput, waktunya ke..” tanya Pak Teddy.
“Sekolaaaahhh”
sahut Rein dan Shan kompak.
Diluar, Ibu
Rani ternyata juga sudah menunggu mereka, Rein dan Shan menyalami kedua orang
tuanya itu.
“Ada yang
lupa nih?” kata Ayah.
“Oh iya,
Assalamualaikum” jawab mereka kompak.
Kedua orang
tua ini melambaikan tangan setelah bis jalan bersiap menjemput siswa-siswa yang
lain.
“Ayah belum
berangkat jam segini” tanya Bu Rani setelah melihat jam tangannya.
Raut Pak
Teddy sedikit berubah kaget “Oh iya, udah jam segini ya. Yaudah bu Ayah juga
siap-siap”
***
Dalam kemudi
motornya ada sedikit perasaan bersalah bergelayut dihati Pak Teddy pada
keluarganya.
“Awas Pak!!”
teriak salah seorang pengendara yang tengah berhenti dilampu merah.
Pak Teddy
hampir menabrak mobil didepannya yang tengah berhenti.
“Makanya
Pak, lagi bawa motor jangan melamun” kata seorang pengendara lain.
“Iya
maaf-maaf, saya kurang konsentrasi tadi” ucap Pak Teddy bergantian pada kedua
pengendara tadi.
Kini Ayah
empat anak ini sudah sampai ditempat kerjanya, tepatnya tempat kerja barunya.
Disiapkannya beberapa gambar baik itu berupa karikatur seseorang, lukisan
jalanan, siluet, dan beberapa gambar lain. Dari dalam tas dikeluarkannya
alat-alat untuk menggambar. Dua buah kursi kecil untuk dia duduki dan
pelanggannya nanti, dan terkahir sebuah jurus pamungkas “Bissmilahhirrohmanirrohim”
sembari menggantung tulisan “Reltarehan Galery”. Kini beliau siap untuk mencari
rejeki demi menafkahi keluarganya, keluarga yang begitu ia cintai.
Di kanan
kirinya pula tengah ada pedagang-pedagang yang menjajakan usahanya. Sepanjang
trotoar dijalan ini memang tempat bagi para tulang punggung keluarga mencari
nafkah.
Seorang
wanita dengan berkalung kamera mendekati ‘Reltarehan Galery’ ia memandangi
setiap gambar yang dipampang oleh penjualnya.
“Mari mba
ada yang bisa saya bantu” kata Pak Teddy ramah.
“Ini buatan
bapak sendiri” tanya si wanita tersebut.
“Iya semua
ini buatan saya sendiri” jawab Pak Teddy.
“Kalo saya
minta ini dibuat lukisan bisa?” kata wanita tadi sambil memperlihatkan sebuah
foto.
Pak Teddy
memperhatikan foto tersebut dengan teliti “Iya mba, saya bisa. Mau lukisan
dengan media kanvas atau kertas lalu warnanya sama dengan foto atau bagaimana”
tanya Pak Teddy pada pelanggannya tersebut.
“Pake kanvas
ukuran kecil aja, trus warnanya black and
white” jelas wanita tersebut.
“Baik mba,
tunggu kurang lebih 1 jam ya, silahkan duduk dulu” kata Pak Teddy, sejurus
kemudian dia menyiapkan segala yang dia butuhkan untuk melayani pelanggan
pertamanya dihari ini.
***
Bel tanda
pulang Sekolah sudah berbunyi 10 menit yang lalu, kini Freta tengah menunggu
kakakknya di sambil duduk disebuah halte depan sekolah.
“Fre??”
Freta segera mengalihkan pandangan pada seseorang yang baru saja memanggilnya.
“Eh iya dit”
kata Freta.
“Kamu lagi
nunggu kak Farel yah?” tanya seseorang yang bernama Dita tersebut.
“Iya, kamu
nunggu jemputan juga” Freta balik bertanya.
“Iya, aku
nunggu si Adit nih biasa paling ntar lama” kata Dita sedikit cemberut.
“Haha, kalo
pacar setia harus rela nungguin berapapun lamanya” Freta meledek.
“Fre.. kamu
yah” Dita sedikit tersipu malu, tak lama ia pun mencubit lengan Freta.
“Auww, Dita
sakit tau” Freta sedikit jengkel.
“Abis kamu
pake acara ngomong begitu segala” Dita membela diri.
Mereka pun
akhirnya tertawa bersama.
“Oh iya Fre,
kemarin kok kata Adit dia sempet liat orang mirip Ayah kamu di Jalan Merpati”
Dita berujar.
Freta
sedikit memutar otaknya “Jalan Merpati yang banyak galery art itu?” tebak Freta.
“Iya,
disitu. Katanya lagi beliau lagi..” belum selesai Dita bercerita sebuah klakson
motor berbunyi cukup keras hingga mengagetkan mereka berdua.
“Aadiiiittt”
teriak mereka serempak.
“Ups, sorry.
Kaget yaa?” tanya Adit si pacar Dita ini tanpa dosa. “Dita ayo buruan, bentar
lagi aku mau latihan” sergahnya lagi sebelum Dita sempat berucap.
Dengan muka
sedikit jengkel Dita pun menurut “Fre maaf yaa aku duluan, takut Adit ntar
telat. Ohya cerita tadi sambung besok lagi aja yaa” sesal Dita.
“Iya dit
ngga papa, kamu hati hati yah” pesan Freta halus. Meskipun ada sekelumit
pertanyaan yang muncul dari benaknya tentang Ayahnya tadi.
***
Di boncengan
kakakknya, Dita masih terus menyimpan rasa penasaran. Farel pun heran dengan
sikap Freta yang tak biasanya tenang saat diboncengnya. Dia pun berinisiatif
untuk menambah kecepatan spedometer motornya itu. Druuunnngggg........
“Kak Farel!!”
teriak Freta sembari memeluk erat perut kakakknya, sedang tangan kirinya
membenarkan posisi roknya yang terkena angin.
“Hahaha,
kaget? Makanya jangan ngelamun terus daritadi. Serius bener” ucap Farel santai.
“Apaan sii,
siapa juga yang ngelamun” balas Freta tak mengakui.
“Biasanya
ngoceh mulu, ini anteng aja kamu dek” kata Farel heran.
Freta hanya
diam menanggapi kakaknya ini. 2 bersaudara yang amat akrab ini memang hanya
memiliki jarak umur 2 tahun, mereka pun selalu satu sekolah seperti halnya di SMA
kini. Farel, sang kakak aktif dalam kegiatan Paskibraka disekolah, badannya
yang proporsional begitu mendukung kegiatan favoritnya itu. Sementara sang adik
Freta, badannya memang hanya berukuran sedang namun gemulai tubuhnya saat
menjadi seorang ballerina tidak diragukan lagi. Setiap hari mereka selalu
berangkat dan pulang sekolah bersama dengan mengendarai motor hadiah sang ayah 3
tahun yang lalu.
Hampir warga
1 sekolah mengenal mereka, kakak beradik yang selalu akur dan kompak, serta
berprestasi pula.
***
Malam hari adalah
saat dimana keluarga ini berkumpul dalam satu meja, saling berbagi cerita, dan
tentunya menikmati makan malam masakan Ibu tercinta.
Selesai
makan, ibu menyiapkan makanan pencuci mulut yaitu beberapa buah yang dia
hidangkan di atas meja.
“Ibu tadi
siang baru dapet orderan catering besar-besaran untuk 3 perusahaan sekaligus”
kata Ibu Rani sumringah.
Semua
anggota keluarga tersenyum senang.
“Alhamdulillah
bu, itu artinya makin banyak orang yang tau kalo masakan ibu itu enak” terang
Pak Teddy memuji.
“Jelas dong,
ibunya sapa dulu?” ucap Freta.
“Ibunya aku”
jawab Shan semangat.
“Engga,
ibunya aku” Rein tak mau kalah. Adu argumen diantara dua saudara kembar ini pun
tak dapat dielakkan.
“Hey hey
jagoan ngga boleh berantem dong, Ibu itu milik kita semua. Kak Farel, kak
Freta, Rein, Shan, dan juga Ayah” Farel sebagai anak tertua menengahi.
“Iya,
semuanya milik ibu, Anugerah dari Allah yang paling ibu sayangi. Ayo kalian
maaf-maaffan, ngga boleh berantem” perintah ibu bijak.
Dua saudara
kembar itu menurut, mereka tak lagi bertengkar. Rein menyodorkan kelingkingnya
sebagai permintaan maaf pada Shan, Shan pun membalasnya. Mereka saling
tersenyum, dan akur kembali.
“Ibu kan
dapet uang banyak, Rein bisa beli robot gundam versi baru dong bu” pinta Rein.
“Shan mau
juga, tapi beli sama Ayah” Shan sambil memakan irisan melon didepannya.
“Oh iya yah,
aku pengen beli sepatu ballet yang baru. Sepatu yang lama udah ngga enak
dipake” Freta juga mengutarakan keinginannya pada sang Ayah.
“Uhukk..
uhukk..” Farel tersedak buah yang dimakannya. Raut mukanya berubah merah,
sebersit sakit pada getar hatinya tersentak.
“Ya ampun
kakak, kok bisa keselek gitu” sesal Ibu “Ini minum air putih dulu” sambil
menuangkan air putih kedalam gelas.
“Kenapa sii
kak, kakak pengen apa hayoo” ledek Freta.
“Kamu tuh
dek, orang yang baru mau dapet rejeki banyak kan Ibu kenapa mintanya ke Ayah”
jawab Farel sembari menahan perasaan hatinya serta pikirannya tentang kondisi
ayahnya kini.
“Oh iya juga
yaa, abis aku lebih sering minta ke Ayah hehehe” sadar Freta.
Pak Teddy
pun tak kalah tersentak hatinya ketika mendengar keinginan Freta, anak
perempuan satu-satunya ini. Dia sungguh bingung bagaimana dia harus menuruti
keinginan anaknya tersebut, kalau saja penghasilannya saat ini cukup dia tak
perlu takut untuk membelikan kebutuhan putri kesayangannya itu. Tapi Pak Teddy
yang sekarang bukanlah seorang Pegawai Swasta yang berpenghasilan lumayan
tinggi, namun hanya seorang pemilik galery di trotoar jalan pedangang jalan
yang tak menentu penghasilannya. Dan yang lebih menyesalkan adalah, tidak ada
satu anggota keluarganya pun yang tahu kondisinya saat ini.
“Adek, kalo
Ayah udah dapet rejeki pasti Ayah bakal ajak kamu ke tempat biasa kita beli
perlengkapan ballet. Kamu sabar tunggu aja yah” Ibu memberi pengertian.
Tak ada
sepatah katapun yang dapat Pak Teddy jawab. Dia tak mau jujur dengan
kebohongannya tersebut.
Farel
terlihat tak tega melihat sang ayah yang terlihat begitu tak berdaya disaat
seperti ini, dia pun lebih memilih untuk naik dan masuk ke kamarnya “Semuanya,
aku mau masuk kamar duluan yaa, ada tugas sekolah yang belum aku kerjain”
katanya beralasan.
Di dalam
kamar berukuran 4x3 yang begitu lengkap ornamen Superman itu Farel menangis, entah bagaimana dia begitu lemah
seperti saat ini. Yang dia tahu hatinya sakit karena Pahlawan keluarganya yang
begitu ia hormati saat ini sakit hatinya, pekerjaan yang dulu menopang kesuksesannya berganti, terkikis dengan entah
apa sebabnya. Ayahnya yang dia lihat tengah menjajakan jasa pada galery art di
trotoar jalan, berjualan dari jam 8 pagi sampai 5 sore, dengan pelanggan yang
tak seberapa, pun dengan penghasilannya. Farel sudah mengetahuinya sejak 2
minggu lalu, rasa kasihan teramat sangat begitu ia rasakan, belum lagi Ayah tak
menceritakan keadaan dirinya saat ini. Farel hanya berani melihat sang ayah
dari kejauhan, menegur apalagi bertanya pun ia tak berani. Sama seperti sikap
Ayahnya, dia pun mengurung diri dalam rahasia keluarga tepatnya rahasia sang
Ayah.
Adik
perempuannya tadi meminta dibelikan sepatu balet baru, jelas Ayah tak mungkin
bisa membelikannya secepat dulu, butuh waktu sampai jumlah uang yang sanggup
untuk membeli sepatu tersebut terkumpul. Dengan sedikit takut dan gusar, dia
mengambil buku tabungan yang tersimpan dilaci meja belajarnya. Diamatinya
rupiah yang tersisa di saldo.
“Yah-Bu, aku
mau pergi kerumah temen bentar. Ada urusan” kata Farel pamit.
Ayah yang
sedang mengajari Rein dan Shan membuat PRnya di ruang tv menjawab “Iya nak,
hati-hati. Pulangnya jangan terlalu malam, besok sekolah”
“Kalo
urusannya udah selesai bergegas pulang yaa” ibu tak lupa berpesan.
Anak sulung
ini kemudian menyalami kedua orang tuanya dan megucap salam.
***
04.00 WIB
Mata Freta masih setengah terbuka, kantuknya begitu kuat. Namun harus
ia lawan ketika kumandang Adzan bertalun, diiringi ketukan pintu dari luar
kamarnya oleh sang Ayah yang mengajaknya Shalat Subuh berjamaah.
Keluarga
Pradipta pun Shalat Subuh berjamaah di Mushola rumah mereka.
Pak Teddy
sebagai Imam, Imam keluarga yang begitu dihormati pula oleh keluarganya.
Selesai
Shalat Subuh, Freta kembali masuk kedalam kamarnya. Pandangan matanya tertuju
pada meja belajarnya dimana saat ini terdapat sebuah kotak yang berukuran
sedang. Asing baginya karena dari semalam, benda ini belum ada.
Dilihatnya
lekat, diatasnya terdapat tulisan “Given to Alfreta Pradipta Putri” dengan pita mungil tersemat disisi kirinya.
Freta lekas
membuka kotak tersebut, dan wajahnya berbinar saat melihat isinya. Sebuah
sepatu ballet berwarna peach yang
begitu lucu dan elegan. “Ini pasti dari Ayah” pikirnya senang.
***
Di meja makan
sudah ada Ayah, Farel, dan si kembar yang tengah menikmati nasi goreng untuk
sarapan mereka.
Freta
menuruni tangga dengan semangat, hatinya semakin riang ketika melihat sang
Ayah, dia mendekat dan merangkul leher Ayahnya lembut “Ayah makasih yaa, ayah
baik banget, aku sayang Ayah” ucap Freta lembut, kemudian dikecupnya pipi sang
Ayah.
Pak Teddy
terlihat bingung dengan perlakuan putrinya, terimakasih untuk apakah, lalu apa
yang membuat putrinya ini begitu gembira. Pak Teddy hanya bisa menjawab “Iya
sayang, Ayah juga sayang banget sama kamu nak”
Farel yang
melihatnya senang, meskipun sang adik belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.
***
Farel
membawa motornya ke pinggir jalan lalu menghentikannya. Freta heran dengan apa
yang dilakukan kakaknya ini, kurang beberapa puluh meter dari sekolah mereka,
Farel justru berhenti.
Freta turun
dari boncengannya “Kenapa kak, motornya ada masalah?” tanya Freta penasaran.
“Bukan
motornya, tapi keluarga kita” jawab Farel sambil mencari tempat untuk duduk.
Kening Freta
berkerut “Maksud kakak” tanyanya bingung.
Farel
menghela napas untuk beberapa detik “Gini dek, sebenernya sepatu ballet yang
baru kamu dapet tadi pagi itu dari kakak” jujurnya.
“Hah!! dari
kak Farel??” Freta kaget tak percaya.
Farel pun
menceritakan semua yang telah terjadi, dari mulai kondisi sang Ayah saat ini,
sampai bagaimana akhirnya dia membelikan sepatu ballet baru untuk Freta. Sembari
bercerita, Farel pun tak dapat membendung air matanya begitu pula Freta yang
tak percaya dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Ayahnya kini, ayah yang
begitu ia sayangi.
Sepanjang
aktifitasnya di sekolah dan kursus balet pikiran Freta tak sepenuhnya
konsentrasi, justru melalang pada sang Ayah. Keinginannya satu ingin segera
bertemu ayah, dan selesai kursus ia pun menuju Jalan Merpati, dimana Ayahnya
berada saat ini.
Ditatapnya
satu persatu penjual sembari melewati trotoar, suasana seni begitu kental
disini. Cukup panjang jalan yang ia lewati sampai akhirnya terhenti pada salah
satu pedagang yang tengah mengemasi dagangannya, pedagang yang akan segera
pulang untuk menemui keluarganya dirumah, pedagang yang sangat ia kenal.
“Ayah” ucap
Freta getir.
Suara yang
tak asing lagi ditelinga Pak Teddy menggetarkan hatinya.
Mereka
berdua pun saling menatap, raut wajah takut begitu terlihat dari Pak Teddy sementara
air mata Freta mengucur. Dipeluknya Freta erat oleh sang Ayah, rasa penyesalan
yang begitu mendalam tertaut berat dihati Ayah 4 orang anak ini.
“Ayah kenapa
ngga cerita?” tanya Freta sedikit tertangis.
Pak Teddy
yang duduk disebelah Freta merangkulnya, beliau mencoba tegar tak mau membuat
putrinya semakin sedih.
“Masalah
keuangan dikantor yang begitu pelik membuat para karyawan menuntut keadilan,
uang perusahaan yang harusnya dialokasikan untuk beberapa kegiatan manajemen
hilang entah kemana. Bahkan proyek besar yang siap dikerjakan gagal dan
menimbulkan kerugian yang tak sedikit. manajer keuangan yang mengkomando Ayah
ternyata mengambil uang untuk keperluan pribadinya dan beliau pergi entah
kemana, akhirnya Perusahaan memecat semua staf keuangan termasuk Ayah. Padahal
tak ada satupun staf yang mengetahui kecurangan tersebut. Kami semua bertindak
jujur sesuai aturan perusahaan” cerita Pak Teddy sedih.
Freta sudah
tak mengeluarkan air dari matanya, dia memperhatikan dengan cermat cerita dari
Pak Teddy “Jadi, Ayah dan semua teman-teman staf difitnah?”
“Iya bisa
dibilang begitu, dan karna ini pula Ayah malu, malu pada semua karyawan, bahkan
pada keluarga Ayah sendiri. Ayah bingung harus bagaimana sampai akhirnya Ayah
menemukan pekerjaan ini, dan semua ini terlalui dalam sebuah kebohongan” sesal
Pak Teddy.
“Lalu,
kalaupun Kak Farel dan aku udah tau. Ayah tetap menyembunyikan ini semua?”
balas Freta.
“Apa yang
Ayah lakukan memang bukan perilaku yang baik, dan sangat tidak baik untuk
dicontoh orang lain apalagi anak-anak Ayah. Freta, dalam hidup sesungguhnya
yang paling Ayah takutkan adalah menjadi Ayah yang gagal, apalagi didepan ibu
dengan kesuksesannya saat ini. Ayah memang bangga dengan ibumu nak, tapi dalam
hati kecil Ayah begitu malu bagaimana seorang suami tak bisa sesukses istrinya”
Pak Teddy menahan air matanya. “Dalam dunia kerja, Ayah sudah gagal.
Menjatuhkan nama baik keluarga sendiri, belum lagi dengan pekerjaan ayah
sekarang. Tak bisa memanjakan keluarga seperti dulu, butuh banyak waktu bahkan
untuk membeli hal kecil sekalipun”
Freta
menggelengkan kepalanya, menggenggam erat tangan Ayahnya “Ayah ngga boleh
ngomong seperti itu, buat aku Ayah adalah
Pahlawan. Pahlawan yang mengabdikan hidup dan kehidupannya hanya untuk
keluarga, Ayah yang begitu bijak dalam memperlakukan keluarga, Ayah yang tak
pernah lelah memberikan petuah serta inspirasi. Dan tentu saja bukan ayah yang
gagal, Ayah yang begitu luar biasa yang pernah aku temui adalah Pria yang
bernama Teddy Pardipta” Freta meyakinkan ayahnya agar beliau tidak terpuruk
dengan kenyataan hidup.
“Mungkin aku
emang masih belum percaya kenapa Ayah sekarang disini, tapi aku ngga pernah
menyesal punya Ayah seperti Ayah ini. Ayah pernah berpesan saat aku baru masuk
SMP, jika nanti aku udah lulus kuliah dan bekerja. Carilah pekerjaan apapun
yang penting pekerjaan tersebut halal. Dan yang saat ini menjadi profesi Ayah
bukan pekerjaan yang haram. Ini halal yah” Freta memeluk Ayahnya erat.
Raut
kebanggaan akan anak perempuan satu-satunya ini mengucur di kening Pak Teddy.
Anak perempuan yang begitu ia sayangi dan kasihi terbentuk menjadi perempuan
yang bijak dalam menyikapi hidup.
“Kapan Ayah
akan jujur sama ibu soal ini” tanya Freta serius.
Raut
kebanggaan Pak Teddy berubah gusar saat mendengar pertanyaan putrinya tersebut,
masih ada dosa kebohongan yang belum ia tebus. Pada istrinya sendiri.
***
Langkah kaki
penuh kecemasan dan ketakutan menghinggap pada kakak-beradik yang tengah
berjalan disebuah koridor rumah sakit, kabar buruk menghujam mereka saat sang
Ayah menelpon dan mengabarkan tentang kondisi sang Ibu yang tengah berada
diruang ICU.
Samar mulai
terlihat seseorang yang tengah duduk dibangku depan ruang ICU.
“Ayah” kata
Farel.
Mata Pak
Teddy terlihat sembab, jelas ada sebuah beban besar yang tengah ia hadapi “Kakak
Adek” ucapnya pelan.
Freta segera
menghambur memeluk ayahnya tersebut, air matanya pun tumpah.
Ibu Rani
yang tengah menuruni tangga dengan membawa banyak tumpukan kardus ditangannya
terpeleset hingga jatuh sembari menuruni tangga, seketika ia tak sadarkan diri.
Saat dia dibawa keruang ICU kepalanya banyak mengeluarkan darah, pendarahan
yang cukup hebat menyerangnya. Pak Teddy yang saat itu sudah ada dalam
perjalanan untuk bekerja segera berputar arah menuju rumah sakit.
“Ayah”
teriakan kecil namun cukup lantang terdengar kembali, Rein memanggil setelah
diliatnya sang ayah dan 2 kakaknya.
Rein dan
Shan datang bersama salah satu karyawan Bu Rani.
“Rein-Shan
kalian ngga sekolah?” tanya Pak Teddy.
Mereka
berdua tak segera menjawab, diliatnya sang Ayah untuk beberapa saat kemudian
Farel dan Freta dimana semuanya tengah menangis.
Rein dan Shan
saling bertatapan sejurus kemudian mereka pun juga larut dalam tangis “Kita mau
liat Ibu yah” jawab Shan pelan.
Farel dengan
sigap merangkul kedua adiknya kemudian mengajak mereka untuk duduk bersama “Ibu
baik-baik aja kok, udah ya kalian ngga boleh nangis lagi” Farel menenangkan
suasana hati Rein dan Shan dengan lemah lembut agar mereka tidak semakin
tertekan.
Hampir 2,5
jam berlalu. Terdengar suara pintu ruangan yang sedari tadi keluarga ini
tunggui terbuka diiringi keluarnya sang dokter yang menangani Ibu Rani.
Pak Teddy
segera berdiri menyambutnya, dan banyak sekali penjelasan dokter yang ia
tunggu. Dokter pun tak berani gegabah dengan mengabarkan kondisi Ibu Rani saat
ini langsung didepan Pak Teddy beserta anak-anaknya. Diajaknya Pak Teddy untuk
masuk keruang prakteknya, kemudian Pak
Teddy mengkomando kedua anaknya yang sudah mulai beranjak dewasa agar menurut
apa kata beliau.
Farel ikut
dengan Pak Teddy masuk ke ruang praktek Dr. Reza, sementara Rein dan Shan
diajak Freta untuk mencari hiburan di taman rumah sakit. Freta tak mau adiknya
menangis lagi, cukup ia, kakak, serta ayahnya yang memang sudah lebih mampu
untuk memahami apa itu rasa sedih bukan kedua adik kembarnya.
***
Ibu Rani
sudah dipindahkan keruang rawat yang juga ruang dimana ia akan menghabiskan
masa-masa komanya, akibat kecelakaan tadi Ibu Rani mengalami benturan yang
cukup membuat kepalanya mengalami luka yang serius, untungnya hal tersebut
segera ditangani dengan baik oleh dokter. Namun ternyata hal ini juga menjadi
awal kenyataan bahwa Bu Rani ternyata koma dan dokter belum mampu memprediksi
berapa lama Bu Rani akan melewati masa-masa tersebut.
Pak Teddy
yang sudah mengetahui kenyataan tersebut sontak tak bisa percaya begitu saja,
ia begitu sedih dan takut. Berbagai pertanyaan muncul dibenaknya, yang ingin ia
utarakan pada Tuhannya. Apa maksud Tuhan dari semua ini, mengapa dia harus
memberikan cobaan seperti ini pada dirinya dan keluarganya, dan bagaimana nasib
ia dan keluarganya nanti terutama 4 orang anaknya.
Cukup lama
ia berpikir, duduk ditemani Farel yang sedari tadi hanya menangkupkan tangan
kedepan wajahnya. Sebagai anak dia tentu sedih mendengar kondisi sang ibu. Pak
Teddy melihatnya tak tega, ia pun akhirnya menyadarkan diri agar bisa menerima
kenyataan, Tuhan boleh mengujinya seperti ini, dan dunia mendukungnya secara
tega, tapi ia tak boleh terpuruk akan hal itu. Dia harus bangkit, membuktikan
bahwa ia bisa menjalani, dan yang terpenting keluarganya harus terus menjalani
hidup meskipun untuk beberapa waktu yang tidak bisa diprediksi sang Ibu tidak
bisa menemani.
***
Pak Teddy
menepuk bahu Farel kemudian merangkulnya, Farel pun menoleh melihat sang Ayah.
Dipandanginya mata sang Ayah lekat, ada secerca penyemangat yang ia lihat. Jika
sang Ayah akan kuat menjalani ini, pasti sebagai seorang anak apalagi anak
tertua, ia juga bisa menjalani semuanya. Pikir Farel dari dalam hati.
“Nak, masih
ada Allah dengan mukjizatnya” kata Ayah tenang.
Farel pun
menganggukan kepala sebagai tanda ia ikhlas menerima cobaan ini, kemudian
dipeluknya sang Ayah.
***
Pak Teddy
kemudian mengajak semua anaknya untuk melihat kondisi sang Ibu diruang rawat,
dalam paras khas seorang Ayah tak sedikitpun gurat kesedihan terlihat, jauh
berbeda dengan tadi.
“Ibu, kami
semua disini selalu ada buat ibu. Kami mau ibu bisa seperti dulu lagi, untuk
itu ibu harus sembuh yaa” pinta Pak Teddy lembut.
Freta yang
sudah mengetahui semuanya tak bisa berhenti untuk mengeluarkan air mata sementara
Farel disampingnya masih terus merangkul sebagai tanda menyemangati.
Rein dan
Shan yang masih terlalu kecil untuk mengetahui apa itu koma, hanya diberi
sedikit pengertian oleh sang Ayah bahwa ibu tengah beristirahat agar beliau
cepat sembuh. Mereka dengan polosnya mengangguk sebagai tanda mengerti.
***
2 minggu berlalu.
Ibu Rani
masih tertidur tenang dalam komanya, sementara suami dan keempat anaknya tetap
tegar menjalani hidup tanpa dirinya.
Pak Teddy
sudah mulai terbiasa mengurus keluarga seorang diri, berperan ganda sebagai
ayah yang menjadi sumber kekuatan keluarganya sekaligus menjadi ibu yang
menjadi pelita dalam keluarga.
Malam hari
ketika diluar rumah cuaca tak bisa berkompromi dengan hujan badai beserta petir
yang menyambar-nyambar tak tentu waktu. Rein dan Shan menggigil dalam demam
yang keduanya alami, Pak Teddy yang baru pulang dari Rumah Sakit segera
mengambil obat beserta air hangat guna mengompres kedua putranya ini. 1 jam kira-kira Pak Teddy
harus bergulat sendiri menangani 2 anaknya yang sakit secara bersamaan tersebut
sampai akhirnya mereka bisa tidur.
“Ibu” igau
Shan dalam tidurnya.
Pak Teddy
akhirnya mengerti kenapa 2 anak kembarnya bisa sakit seperti ini, mereka terlalu merindukan sang Ibu. 6,5 tahun
usia mereka dan itu terlalu dini menjalani hidup tanpa sang Ibu yang menemani,
merawat, serta mengasuh mereka.
Lantunan
ayat dan doa tak henti keluar dari mulut Pak Teddy, membisikannya pelan
disamping tempat tidur Rein dan Shan. Sementara tangan kanannya terus
menjentikkan tasbih.
***
1 bulan menjelang.
Pak Teddy
terlihat kewalahan mengurus pekerjaan sebagai pemilik galery dan juga mengurus catering milik keluarganya
karena Ibu Rani masih koma. Dengan sedikit berat hati, akhirnya ia memutuskan
untuk menutup sementara usaha itu. Ia ingin lebih fokus berwiraswasta seperti
bagaimana dulu ia dan Ibu Rani merintis usahanya dari nol.
Disalah satu
kamar rumah sakit yang dingin dan tenang masih ada seorang malaikat yang masih
terbaring dalam koma. Pak Teddy memasukinya pelan, ditaruhnya buket bunga Mawar
yang sedari tadi ia bawa ke meja samping brankart
istrinya tersebut.
“Selamat
Pagi cantik” sapa Pak Teddy halus. Dia memang selalu memperlakukan sang istri
layaknya bidadari. Ditengah tidur tenangnya tersebut paras ayu dari Bu Rani
memang tak sedikit pun pudar.
“Ayah bawain
bunga mawar yang ke-4, disana ada banyak doa serta harapan dari ayah buat ibu”
ucapnya yakin.
“Ibu, Ayah
minta maaf yaa baru bisa jujur dengan ibu sekarang karena sebenarnya” Pak Teddy
menceritakan semua hal yang berkaitan dengan pekerjaannya, sebuah kenyataan
yang baru bisa ia utarakan justru ketika sang istri tengah koma. Rasa bersalah
itu pasti, namun ia sedikit lebih kuat ketika keempat anaknya bisa menerima
dirinya dengan pekerjaan yang ia geluti dengan lapang dada.
***
Bulan ketiga.
Berdiri
Freta didepan cermin dimana terdapat pantulan dirinya yang terlihat begitu
anggun dengan baju ballet yang ia kenakan.
“Fre, kamu
pasti bisa. Tetap tenang dan jadi dirimu sendiri” kata Freta dalam hati.
Sebelumnya
dipagi hari sebuah pesan singkat masuk ke inbox Pak Teddy.
From:
Alfreta
Receive:
08.16.14am
21.05.2011
Ayah..
Hari ini aku ada kontes ballet buat seleksi kompetisi musim depan. Doain aku sukses ya yah, ohiya kalo Ayah ngga sibuk, ayah nonton yaa =)
Hari ini aku ada kontes ballet buat seleksi kompetisi musim depan. Doain aku sukses ya yah, ohiya kalo Ayah ngga sibuk, ayah nonton yaa =)
Selesai
melihat pesan tersebut Pak Teddy menyusuri sudut rumahnya yang berisi foto-foto
keluarganya dalam berbagai jaman. Dilihatnya foto seorang ballerina kecil yang
begitu lucu dan anggun tengah bergaya . Anak perempuan satu-satunya yang sangat
ia impikan menjadi seorang ballerina profesional dikemudian hari nanti.
Freta yang
masih terkantup dalam perasaan nervous, juga
berharap sang Ayah bisa menontonnya nanti. Tapi harapannya tak muluk-muluk, ia
tau bagaimana peran ayahnya kini, beliau sudah terlalu sibuk mengurus catering,
ibu, serta saudara-saudaranya. Yang ia harapkan adalah doa mujarab dari
Pahlawannya itu.
“Freta,
sekarang giliran kamu. Bersiap segera” ucap salah seorang pelatihnya sembari
menepuk bahu Freta pelan.
Freta
mengangguk, ia mulai memasuki panggung yang cukup luas. Didepannya tengah ada
ratusan pasang mata yang mengarahkan pandangan pada dirinya. Dikantupkannya
kedua tumitnya menjadi satu, kedua tangannya mengepal didepan perutnya. Sebelum ia bersalam hormat pada audience.
“Kak Freta”
suara teriakan yang cukup lantang mengagetkan dirinya, ditelusurinya sumber
suara tersebut.
“Shan”
ucapnya seketika melihat orang yang memanggilnya tadi, dan disisi kiri adiknya
tersebut telah ada Ayah dan Rein.
Ayah
tersenyum ketika mata Freta dengan dirinya bertemu. Diangkatnya tangan kanannya
sambil mengepal sebagai tanda menyemangati “Semangat” Freta dapat mengerti
maksud ayahnya tersebut.
Ia pun
mengangguk sambil tersenyum sumringah. Kemudian ia memberi salam pada audience
lalu mengalunkan tubuhnya mengikuti musik.
Dibelakang
panggung dengan harap-harap cemas Freta, Pak Teddy, Rein, dan Shan tengah
menunggu hasil kontes tadi. Siapa saja ballerina yang akan terpilih mengikuti
kompetisi dimusim depan.
Seketika
luapan bahagia muncul dari keempatnya ketika nama Alfreta Pradipta Putri
terpilih sebagai salah satunya. Pak Teddy memeluk putrinya erat dan berputar
menerbangkannya.
Seperti
biasa, setiap hari menjenguk, dengan buket bunga setiap minggunya Pak Teddy
dengan bersemangat bercerita kepada sang istri tentang semua hal yang ia alami.
Tak pernah ada satu topik pun yang ia lewatkan pun demikian dengan sang istri
yang dengan setia mendengarkan meskipun ia koma.
Tentu saja
topik tentang putri mereka satu-satunya, Pak Teddy begitu bersemangat.
“Ayah tidak
pernah menyangka tentang putri kecil
yang Ayah lihat sendiri saat ia keluar dari rahimmu kini telah tumbuh layaknya
seorang putri cantik yang parasnya sama cantiknya sepertimu, anak perempuan
satu-satunya yang begitu ayah manjakan sepenuh hati. Dapat tumbuh mandiri
dengan doa dan impian kita yang saat ini membentuknya” cerita ayah begitu
senang.
***
5 Bulan terlewati.
Tak berubah
seperti dulu, selesai keluarga Pradipta makan malam. Mereka bersantai diruang
keluarga, namun tak lengkap. Hanya ada Pak Teddy, Freta, Rein, dan Shan. Farel
yang masih sibuk di sekolah guna mempersiapkan dirinya dalam regu paskibraka
yang akan bertugas beberapa hari lagi di Upacara Kemerdekaan Indonesia belum
pulang kerumah.
“Assalamualaikum”
ucapan salam dari suara khas Farel seketika membuka pintu rumah. Semua yang
berada di dalam rumah dan mendengarkannnya menjawab “Waalaikumsalam”.
Tanpa
berucap lagi Farel langsung naik ke lantai atas untuk masuk ke kamarnya. Tak
disapanya Ayah beserta saudara-saudaranya yang tengah berada diruang keluarga.
Pak Teddy
melihat kelakuan putranya yang tak seperti biasanya ini heran. Ia pun
segera menyusul Farel ke kamarnya.
Diketuk pintu kamar yang pada sisi depannya bertuliskan “Farel’s Nest” ini pelan.
Terdengar
suara perintah masuk dari dalam, Pak Teddy kemudian masuk. Dilihatnya Farel
tengah tengkurap di tempat tidurnya dan masih mengenakan seragam SMAnya.
Pak Teddy
mendekat “Kamu capek nak?” tanya Pak Teddy halus.
Farel hanya
menjawabnya dengan anggukan.
“Kalo gitu
sekarang mandi, kemudian makan malam, dan setelah itu kamu tidur” pesan Pak
Teddy pada anak tertuanya ini. Ia tahu betul kebiasaan putranya, namun entah
kenapa hari ini Farel berbeda.
Farel tak
sedikitpun menggubris pesan ayahnya, tak sedikitpun ia beranjak dari posisinya.
Pak Teddy semakin yakin bahwa putranya memang tidak seperti biasanya.
“Kamu lagi
kenapa nak, ada masalah?” tanya Pak Teddy.
Merasa
Ayahnya begitu mengusiknya, ia kemudian mengubah posisi dan duduk disamping
ayahnya.
“Aku ngga
apa-apa yah” jawabnya singkat.
“Nak, Ayah
bukan baru satu atau dua hari mengenalmu. Tapi 18 tahun sejumlah usia kamu
berjalan sampai saat ini, jadi bukan hal sulit bagi Ayah untuk bisa memahami
sifat dan sikap anaknya sendiri” terang Pak Teddy dalam kewibaannya sebagai
seorang Ayah.
“Tapi memang
Farel baik-baik aja yah, ayah harus percaya itu” Farel meyakinkan ayahnya untuk
tidak mengusiknya lagi “Yaudah, Farel mau mandi” tanpa menunggu jawaban dari
Ayahnya Farel segera masuk ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.
Pak Teddy
hanya bisa menghela napas, kemudian ia menuju meja makan dan menyiapkan makan
malam untuk putranya tersebut.
***
Pagi hari
saat dimana Pak Teddy bersiap untuk menjalani hari, sebelum ia beranjak dari
tempat tidur matanya dikagetkan dengan kertas yang berada diatas bantal yang
biasa ditiduri istrinya.
“Surat”
pikirnya dalam hati. Dilihatnya cermat, pada bagian depan surat tersebut
bertulisan “Untuk Ayahku”
Dibukanya
surat tersebut pelan, diselaminya bait demi bait cerita yang berada didalamnya.
Untuk
Ayahku tercinta...
Ayah..
Aku memang tak seperti anak-anakmu yang bisa
bercerita gamblang dengan ocehan-ocehan.
Aku hanya bisa bercerita melalui kertas dan
pena yang aku buat ini. Seperti apa yang dulu ayah nasehatkan padaku agar
jangan pernah memendam masalah sekecil apapun seorang diri.
Aku paham itu ayah, dan karena aku tak punya
banyak keinginan untuk berceloteh. Aku pun menceritakan keluh kesahku pada
diary yang senatiasa aku tulis dipenghujung hari.
Ayah..
Maaf untuk semalam, dimana Ayah harus
bersusah payah mengajakku untuk bercerita tentang apa yang membuatku berbeda
dibanding hari-hari biasanya. Aku terlalu egois untuk menyimpannya hanya di
diary tanpa bercerita padamu, Ayahku sendiri. Aku pun takut jika persoalan yang
aku alami ini semakin membuatmu terbebani setelah Ibu harus menjalani koma yang
sampai saat ini masih terus tidur dan entah kapan akan terbangun. Sampai
akhirnya kuceritakan ini pada sebuah surat, surat yang begitu sederhana.
Ayah..
Kemarin adalah latihan paskibraku yang ke-70
hari, dari hitungan hari selama aku dan anggota paskibraku yang lain baru
memulainya. Kemarin harusnya menjadi hari dimana semua personil sudah mantap
untuk bertugas tanggal 17 Agustus nanti. Namun entah apa, 2 dari anggotaku berubah
tak kompak dan itu membuat latihan menjadi kacau. Dan sebagai ketua divisi aku
menjadi pelampiasan amarah dari pelatih. Aku merasa begitu sakit yah, karena
Ayahku sendiri saja tak pernah membentakku sekasar itu, namun dari orang lain
yang bahkan baru kukenal kurang dari 4 bulan sudah berani memarahiku secara
kasar didepan orang banyak pula. Aku malu kenapa tanggung jawab yang besar
sebagai seorang ketua divisi sekaligus lelaki direndahkan sedemikian rupa.
Ayah..
Masalahku ini memang belum selesai, tapi aku berharap agar engkau
tak perlu memikirkannya terlalu serius. Sebagai lelaki sebagaimana Ayah selalu
kuat layaknya Pahlawan yang tak pernah putus asa aku juga akan seperti itu yah,
jadi ayah tak perlu khawatir.
Ayah..
Aku hanya meminta doa mujarabmu agar semua
hal yang menimpaku kemarin terlepas dengan mudah dan aku dapat meneruskan
tugasku dengan baik.
Dari anakmu Farel.
Seketika air
mata Pak Teddy menetes tatkala membaca surat dari putra yang begitu ia
banggakan tersebut, untuk kesekian kalinya anak-anaknya terbentuk menjadi
pribadi yang selalu menjalani hidup dengan petuah-petuah dari orang tuanya.
***
Sepucuk
surat yang tergeletak diatas meja belajar Farel membuat Farel penasaran, ia
yang baru saja pulang tak terlalu memikirkan apa yang harus dilakukannya
sebagaimana kebiasaan setelah pulang Sekolah. Konsentrasinya tertuju pada
sebuah surat balasan yang dikirimkan padanya.
Untuk
Alfarel Pradipta Putra anakku...
Ayah sudah menerima suratmu pagi tadi, ayah
begitu terharu saat membacanya. Dan satu hal yang lebih membuat ayah terharu
adalah anak tertua Ayah sudah tumbuh menjadi Laki-Laki yang begitu bijak dalam
mengarungi hidup beserta problematika didalamnya.
Terimakasih nak karna kamu selalu mengingat
petuah-petuah dari Ayah sedari kamu kecil, dan ayah harap kamu tak pernah bosan
dan lupa akan petuah-petuah ayah yang lain dan belum ayah sampaikan padamu.
Ayah bisa mencerna dan mengerti semua
perilakumu, ayah yakin masalahmu kemarin sudah bisa terselesaikan kan? Sesuai
permintaanmu Ayah tak memikirkannya secara serius, Ayah hanya berdoa agar semua
hal baik dan positif yang kamu lakukan senantiasa diRidhai olehNya. Siapapun
makhlukNya yang memperlakukanmu dengan tidak baik pasti karna dia belum sadar
akan siapa sebenarnya anak ayah ini.
Ayah harap kamu tetap dan selalu menjadi
anak Ayah dan Ibu yang tak mengikiskan sedikitpun kebanggaan kami bisa
memilikimu sebagai seorang anak. Teruslah menjadi pribadi yang selalu
beriorientasi menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kamu tentu masih ingat saat kita dulu sempat
mengalami kecelakaan mobil berdua bahwa dunia boleh kejam tapi kita harus mampu
melawannya agar tidak terpuruk karenanya.
Tetap semangat anakku, kesuksesan akan
senantiasa menyertaimu.
Dari Ayah yang tak pernah berhenti menyayangimu.
***
Dipenghujung bulan ke-5.
Pak Teddy
dengan setia dan tanpa lelah menyeka badan istrinya, dipotonginya kuku-kuku
dijari-jari lentik sang istri yang mulai tumbuh panjang. Dinyanyikannya lagu
favorit mereka berdua oleh Pak Teddy. Dan selalu tak lupa bercerita tentang apa
yang Pak Teddy alami.
Selesai Pak
Teddy bercerita tentang Farel putra mereka. Pak Teddy berpindah pada topik
lain.
“Ibu tau,
Ayah semakin bersyukur karena usaha catering kita semakin maju. Meskipun para
pelanggan kita sudah lama tak bisa menikmati racikan makanan khas dari ibu,
tapi mereka selalu setia menikmati catering kita. Mereka bisa memahami kondisi
ibu saat ini yang tengah beristirahat sementara waktu, mereka juga mendoakan
ibu agar ibu segera terbangun” cerita Pak Teddy.
“Belum lagi
anak-anak kita yang sudah bisa terbiasa menikmati masakan yang ayah buat setiap
hari untuk, mereka pun selalu memesan menu yang berbeda setiap harinya” kata
Pak Teddy sedikit tertawa.
“Ohiya bu,
kemarin ayah juga didatangi seorang pelanggan galery ayah dulu. Dia meminta ayah untuk membantu
pembuatan karikatur raksasa untuk galery seni miliknya. Ayah tak pernah
menyangka hobi ayah yang dulu hanya menggambar ibu semasa pacaran bisa tersalur
sedemikian jauh. Doakan ayah agar karikatur tersebut bisa sukses dan diakui
dunia ya bu” pinta Pak Teddy senang.
***
10 tahun bersambut.
Seorang pria
yang sudah tak muda lagi usianya tengah melukis sebuah potret keluarga yang
begitu mirip dengan aslinya. Dikuaskannya lembut dan tegas setiap jengkal sisi
bagiannya, didalamnya berisi 2 orang yang usianya sama seperti si pelukis, 4
orang yang berusia seiktar 20 tahunan, 2 orang anak laki-laki kembar identik,
serta 3 makhluk mungil yang begitu lucu menghias keluarga ini.
“Kakek”
tegur seorang putri kecil berusia
sekitar 4 tahun.
“Eh Peri
kecil kakek sudah datang” sapa Pria tua tersebut.
“Kakek
menggambar apa?” tanyanya polos.
Pria tua
tadi tersenyum mendengar pertanyaan putri kecil tadi yang perilakunya tak
berbeda jauh dari ibunya “Kakek lagi melukis keluarga kita sayang, coba
sekarang kamu tebak siapa saja orang yang ada dilukisan ini” pintanya.
Sambil
berpikir sejenak ia pun menunjuk satu persatu orang-orang yang dimaksud
kakekknya itu “Ini Kakek, ini Nenek, ini Om Farel, ini Tante Berlian, ini Om
Rein trus sebelahnya Om Shan, ada juga Alan sama Alin, ini aku trus ini Ayah
sama Ibu” jawabnya secara tepat.
Sebuah
nyanyian ulang tahun ramai riuh menggema, Pria tua tadi sedikit kaget. Dia tak
percaya semua anggota keluarganya berkumpul.
Seorang
wanita tua yang tidak lain adalah istrinya tersenyum ceria sambil membawakan
kue Ulang Tahun yang bertuliskan “Selamat
Ulang Tahun Ayah” dengan lilin bernilai 60 tahun menghiasnya.
Pak Teddy
seorang Ayah sekaligus Pahlawan Bbgi anak-anaknya ini telah menginjakkan usia
60 tahun. Di usianya ini, ia semakin bahagia karena keluarganya yang sudah
lengkap memberikan surprise untuk
dirinya.
Ibu Maharani
sang Istri yang sempat koma terbangun setelah 6 bulan ia melewati hidup dengan
raga yang tertidur pulas dan ruh yang pergi menyusuri serta melihat setiap
jengkal kehidupan dalam dimensi yang sedikit tak ia mengerti.
Farel, sang
anak tertua kini telah memiliki keluarga sendiri, ia saat ini meniti karir
sebagai seorang militer dan memiliki istri sesuai dengan keinginannya
berhiaskan sepasang anak kembar yang melengkapi keluarga kecilnya tersebut.
Sama seperti
kakaknya, Freta kini telah berkeluarga, bersuamikan seorang berkewarganegaraan
asing, dan memilki seorang anak perempuan lucu bernama Feli yang begitu dekat
dengan kakeknya, serta meniti karir ballerina profesionalnya di kota Paris.
Si kembar
Rein dan Shan yang beranjak dewasa memilih untuk berbeda jalur dalam menempuh
pendidikan mereka. Rein yang lebih tertarik pada ilmu eksak melanjutkan studi
yang setara SMA di Negeri Paman Sam sementara Shan yang memiliki bakat seni
kuat yang menurun dari sang Ayah memilih untuk didalam negeri sembari meniti
usaha galery seni bersama ayahnya.
Pak Teddy
kini telah meraih kesuksesan sebagai wiraswasta dan pekerja seni yang berhasil
mengantarkannya menjadi inspirasi banyak orang. Seta bangga dengan kesuksesan
anak-anaknya. Namun keinginannya tak pernah berubah yaitu menjadi Ayah dan
Kepala Keluarga yang baik, bertanggungjawab, dan dijamin Surga di Akhirat nanti oleh Allah SWT.
_a.d.a_
Comments
Post a Comment