“Kamu memang memiliki nama, jabatan, dan status yang begitu
tinggi. Hidupmu tak pernah terasa kurang, segala sesuatu yang terasa tidak
mungkin dapat menjadi mungkin bila itu dalam hidupmu. Bahkan cinta dan
kebahagiaan bisa kamu miliki secara mudah. Tapi tidak denganku, meskipun kamu
dapat menjamin hidupku. Aku tidak merasa meninggi akan itu, cintaku tidak untuk
kamu beli, kebahagiaanmu saat bisa memilikiku tidak dapat aku rasakan untuk
diriku. Aku yang begini adanya tidak dapat seterusnya menjadi aku seperti yang
kamu mau”
Itulah kalimat yang secara halus kuucapkan barusan, lewat
sambungan telepon pada seseorang diseberang sana, seseorang yang telah
membuatku sadar bahwa sesempurna apapun hidupnya dengan berbagai materi itu
tidak dapat membuatku bahagia. Perangainya yang sangat berkuasa membuatku
jengah, seringkali dia lebih memilih jalan menggunakan hartanya, lebih tepatnya
harta ayahnya agar dapat membahagiakanku, menurut versinya.
Memang dia dapat memberikan bukti jaminan hidupku selama
hampir 8 bulan ini saat kita merajut kasih, dibelikannya aku barang-barang
mewah, diajaknya aku liburan ke luar negeri dengan fasilitas VVIP, dijaminnya
sekolah adikku, pekerjaan yang sangat nyaman untuk kugeluti. Itu mungkin impian
setiap wanita didunia, dulu pun aku bahagia dengan itu, merajut impian agar
dapat merangkai masa depan bersamanya. Tapi cinta itu terasa begitu kosong, tak
ada kehangatan yang kurasa. Tubuhku berbalut hal-hal pemberian darinya tapi
tidak dengan hatiku yang hanya bertahan 2 bulan bahkan kurang untuk diisi
dirinya.
***
“Kakak udah gila ya?” omel adikku sesaat setelah kuceritakan
semuanya, “Kita udah hidup enak selama ini berkat dia kak, apa sii yang kakak
pikirin bisa ngambil keputusan kayak gini” tambahnya lagi.
“Kamu ngga tau apa yang kakak rasain Iaz” kataku.
“Yang aku tahu kak Ello mencintai kakak dan kakak juga sebaliknya”
dialah Diaz adikku satu-satunya sekaligus satu-satunya orang aku miliki didunia
saat ini, kita hanya hidup berdua setelah semua keluarga kami terenggut
nyawanya dalam sebuah kecelakaan pesawat 2 tahun silam. Seperti yang telah aku
ceritakan tadi, hidup kita berdua telah terjamin dengan hubunganku bersama Ello.
Aku tidak harus bekerja keras, mengambil lembur untuk kehidupan kami lagi.
Adikku tak perlu belajar keras untuk mengambil beasiswa sekaligus bisa masuk
SSB (Sekolah Sepak Bola).
“Tapi itu dulu, tepatnya 6 bulan lalu. Sekarang udah beda”
protesku.
“Beda? Apa sii kurangnya kak Ello dimata kakak, dia tampan,
punya harta, idola para cewe-cewe. Susah kak nyari cowo macem dia” sanggah Diaz
penuh bukti.
Aku menghela napas “Tapi apa kamu bisa jamin kebahagiaan
kakak 1 tahun kedepan? Di hubungan ini kakak ngga hanya nyari kebahagiaan
materi tapi juga hati”
Pernyataan ini yang membuat adikku diam tak bisa menyanggah
lagi.
***
Pagi ini aku bersiap untuk berangkat ke kantor, pekerjaan
baruku selepas keluar dari perusahaan keluarga Ello.
Belum sampai aku keluar dari rumah, di ruang tamu aku
dikagetkan oleh sebuah tangan yang menarik lenganku.
“Aku mau kamu kasih penjelasan dari telfonmu semalam” suara Ello
mengagetkanku. Dia menarikku agar aku
duduk di sofa.
Aku memulai pembicaraanku dengan tenang “Sebelumnya aku
minta maaf karna udah buat kamu pulang ke Indonesia kayak gini, tapi rasanya
udah ngga ada yang perlu aku tutupin lagi dari kamu”
“Aku ngga perlu basa-basi kamu, sekarang cepet kamu tarik
ucapan kamu semalam” kata Ello meninggi.
“Ngga akan ada yang berubah dari kata-kataku semalam sampai
pagi ini, aku udah jujur dengan semuanya” aku menghentikan ucapanku sejenak,
mencoba tenang dan tak terbakar emosi dari Ello yang sudah mulai terlihat.
“Awalnya aku pikir kamu akan jadi masa depanku, kita saling
mencintai dan apa yang kamu lakuin selalu bikin aku senang. Tapi itu ngga bisa
aku temuin saat hubungan kita berjalan di bulan ketujuh. Aku sering mencoba
menampiknya, memaksa hatiku untuk terus mencintaimu, tapi ternyata selalu
gagal. Sampai akhirnya keputusan yang terasa sepihak ini harus aku ambil” air
mata yang tadinya kutahan akhirnya menetes.
Ello terdiam dalam kebingungan serta amarah.
“Aku udah keluar dari perusahaan keluargamu, barang-barang
yang selama ini kamu kasih udah aku simpan dengan baik untuk nantinya aku
kembalikan. Mungkin ngga semua kondisinya sesempurna saat kamu kasih, termasuk
mobil yang saat ini udah aku simpan digarasi. Aku ngga mau meskipun kita udah
berpisah, aku masih memakai barang-barang pemberian darimu” jelasku.
“Engga akan ada kata pisah diantara kita, aku udah sangat
mencintai kamu. Kamu harus jadi masa depanku” kata Ello bersikeras.
“Ini yang bikin rasa cintaku bisa ilang dari kamu Ell, kamu
itu egois. Kamu selalu pengen aku jadi apa yang kamu mau, ini hidup aku, aku
ngejalanin hidup, bukan untuk kamu setir seenaknya” tangisanku memecah suasana.
“Itu semua aku lakuin semata-mata karna aku sangat mencintai
kamu Anne, aku ingin kamu selalu jadi milik aku, dan apapun yang kamu minta
pasti akan kupenuhi” bela Ello.
“Cukup kak” Diaz datang menyela pertengkaran kami. “Cukup
dengan semua keegoisan yang kakak kasih ke kak Anne, dia berhak buat bahagia
meskipun tanpa kakak” aku terkaget, ternyata Diaz membelaku. “Dan aku juga
minta kakak menyetop biaya SSBku, aku yang akan membayarnya sendiri. Semua
materi maupun uang akan aku balikin ke kakak, meskipun butuh banyak waktu aku
akan berusaha”
Ello terlihat semakin terpancing emosinya, kini keadaannya
semakin terpojok. “Kamu...! aku pikir kamu akan jadi adik iparku yang bakal aku
banggakan. Tapi ternyata kamu membayarnya dengan ini. Oke Anne itu kakakmu tapi
kamu ngga punya hak untuk mencampuri hubungan kami” gertak Ello pada adikku.
“Aku akan melakukan apapun agar kakakku bisa bahagia” jawab
Diaz penuh keyakinan. Aku merasa terharu, ternyata pertengkaran aku dengannya
semalam membuat adikku membelaku mati-matian agar aku bisa bahagia.
“Udah cukup, Diaz mending sekarang kamu berangkat ke
Sekolah. Dan kamu Ello, aku rasa pembelaanmu udah ngga berguna lagi. Hubungan
kita saat ini sebates temen, ngga lebih. Entah kamu akan menerimanya atau
tidak, aku tetap pada keputusanku” jelasku pada Ello.
Tatapannya tajam dan nanar padaku, dapat kulihat dia begitu
marah. Tanpa ada kata yang keluar dari mulutnya, dia pun akhirnya pergi keluar
dari rumahku.
***
Di tempat kerjaku yang baru, aku ditempatkan pada bagian
pengawas lapangan di sebuah supermarket. Aku memantau karyawan-karyawan yang
tengah bekerja, aku juga membantu mereka apabila mereka merasa kesulitan. Sudah
hampir 1 minggu aku bekerja seperti ini, ini memang bukan perkerjaan yang
senyaman dengan pekerjaanku sebelumnya yaitu di perusahaan keluarga Ello.
Disana aku ditempatkan pada bagian manager keuangan, tapi rasanya tak perlu
kuingat lagi masa-masa itu.
“Anne?” suara seorang wanita mengagetkanku ketika aku tengah
berdiri mengawasi.
Kualihkan pandanganku pada sumber suara tadi, beliau
memegang lengan tanganku.
“Kamu apa kabar??” tanyanya ramah, untuk sesaat aku terkaget
karena wanita tersebut tidak lain adalah Maminya Ello.
“Aku baik tante, tante kapan ke Indonesia” tanyaku ramah,
sembari bersalam dan mencium punggung tangannya.
“Tante udah hampir 2 minggu disini, tapi tante banyak
ngabisin waktu di Bandung karena banyak pekerjaan yang harus tante urus disana”
kata beliau.
Tante Wita kemudian mengajakku untuk makan siang bersama di
sebuah restoran di mall ini. Untungnya dia tak sempat menanyakan apa yang
sedang aku lakukan tadi.
Tak lama setelah memesan menu, tante Wita memulai obrolan
“Gimana kabar hubungan kamu sama Ello? Baik-baik aja kan, tante udah hampir 1
pekan ini ngga berkomunikasi sama dia. Waktu kami sama-sama sibuk”
Aku terdiam begitu mendengar itu, karna sejak malam tadi
orang yang tahu hubungan kami telah berakhir baru Diaz. Tante Wita yang selama
ini lebih banyak tinggal di Australia belum tau tentang kenyataan yang telah
terjadi. Jujur saat ini aku begitu bingung dengan jawaban apa yang akan aku
lontarkan.
Tante Wita terlihat tengah menunggu jawaban dariku, namun
sebelum mulutku terbuka untuk menjawab. Handphone Tante Wita tiba-tiba
berbunyi, beliau kemudian mengangkatnya, 5 detik berselang setelah Tante Wita
berkata hallo, wajah beliau kemudian berubah memucat. Perasaanku mulai tidak
enak.
***
Aku dan tante Wita berlari
dari koridor rumah sakit menuju ruang ICU, telepon tadi ternyata membawa
kabar buruk, Ello baru saja mengalami kecelakaan mobil. Sesampainya disana, Ello
masih ditangani oleh dokter. Hampir setengah jam gusar menunggu kepastian
kemudian dokter keluar.
“Luka yang dialami saudara Ello cukup parah, terutama pada
bagian kepala yang mengalami benturan. Saat mengemudi, ternyata saudara Ello
tidak memakai sabuk pengaman itulah yang membuat tubuhnya tergoncang sangat
kuat pada saat mobil membentur tembok” terang Dokter Sean. “Kami harus segera
mengambil tindakan operasi agar saluran darah yang pecah di bagian kepala tidak
berefek pada luka lain yang kemungkinan dapat terjadi” lanjutnya lagi.
Sejenak aku merasa lemas, tubuhku mulai kehilangan
keseimbangan sampai akhirnya aku memilih kursi tunggu rumah sakit untuk
menopang tubuhku. Tangis tante Wita memecah, beliau sangat shock “Dokter, tolong selamatkan anak saya, lakukan tindakan yang
terbaik. Segera operasi Ello anak saya” pinta tante Wita.
“Begini bu, tindakan operasi ini juga memiliki resiko. Hanya
50 % kemungkinan Ello akan selamat” kata Dokter Sean tak yakin.
Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya menetes setelah
mendengar itu, ingin rasanya kutumpahkan tangis ini dalam teriakanku.
“Kami akan berusaha semaksimal mungkin kemampuan kami, kami
meminta doa agar semuanya berjalan dengan lancar dan berhasil sesuai dengan
harapan kita semua” ucap Dokter lagi.
***
Di dalam ruang ICU, terlihat Ello masih ditangani suster
yang tengah membersihkan luka-luka ditubuhnya. Ello bernapas dibantu dengan
tabung oksigen, sementara kepalanya ditutp perban serra perban-perban lain yang
menutupi luka-luka ditubuhnya. Mata Ello terbuka dan dia melihat sekelilingnya
yang kini telah berdiri Tante Wita dan Aku.
“Sayang, kamu tenang aja kamu pasti sembuh. Dokter dan
semuanya akan berusaha untuk membuat kamu kembali seperti sebelumnya. Jangan
khawatir, kami semua disini untuk menemani dan mendoakan kamu” suara lembut
Tante Wita sebagai ibu menenangkan, beliau terlihat tegar dan berusaha
menguatkan Ello meskipun aku tahu di dalam hati beliau begitu sedih dan tak
tega dengan keadaan Ello yang mengalami luka hampir disekujur tubuhnya.
Kini giliranku untuk berbicara dengannya, Tante Wita
memberikanku ruang untuk mendekati Ello. “Maafin aku” kataku diiringi tangis,
jujur rasa bersalah kini lekat menghantuiku. Aku yakin faktor utama penyebab
kecelakaan ini adalah karena Ello begitu marah padaku, konsentrasinya pada saat
menyetir tidak dihiraukannya. “Kamu harus yakin semua akan baik-baik aja dan kamu
sembuh” ucapku dalam tangis ini. “Aku dan semua sangat menyayangimu” tangan Ello
meraih tanganku, menggegamnya dengan erat. Aku semakin merasa bersalah.
Lalu aku membalas genggamannya itu “Doa kita semua menyertai
kamu, kamu janji akan sembuh yah Ell” pintaku lembut. Kuhapus air mata ini dan
menunjukkan pada Ello bahwa aku juga bisa tegar seperti tante Wita. Tatapan
mata Ello menyiratkan sebuah kebahagiaan dan janji kesembuhan akan dirinya.
Operasi telah berjalan selama 8 jam, lebih lama dibandingkan
perkiraan awal yang hanya 5 jam. Kami semua was-was menunggu operasi, Om Rendra
ayah Ello baru saja tiba 2 jam yang lalu dari San Francisco. Diantara anggota
keluarga Ello yang lain, ayahnya-lah yang paling sibuk. Bisnis terbesar yang
saat ini tengah dikendalikan ada di negara di benua Amerika itu.
Ello adalah anak satu-satunya di keluarga ini, mereka
bertiga jarang sekali memiliki waktu untuk berkumpul. Mereka tinggal di 3
negara yang berbeda, perayaan Idul Fitri tahun lalu adalah momen pertama dimana
aku dapat berkumpul bersama mereka sekaligus dikenalkan pada Om Rendra dan
Tante Wita oleh Ello. Aku sangat bersyukur karena mereka menerimaku dengan
baik, tidak seperti keluarga kaya yang kebanyakan menginginkan agar anaknya
berhubungan dengan orang yang sederajat dengan mereka. Om Rendra dan Tante Wita
sangat menghargai dan menghormatiku, mereka tidak mempermasalahkan anaknya
berhubungan serius dengan orang yatim piatu dan hidup sederhana sepertiku.
Bahkan dukungan itu mereka tunjukkan dengan memberikanku kebahagiaan materi
seperti yang telah aku ceritakan tadi. Mungkin aku adalah salah satu orang yang
paling beruntung di dunia bisa memiliki mertua seperti mereka, pikirku dulu.
Operasi selesai pada jam ke-10, 3 dokter yang menangani
operasi tersebut satu persatu keluar. Dokter Sean, sebagai dokter Ello keluar
terakhir, beliau mengajak Tante Wita, Om Rendra, serta aku untuk masuk kedalam
ruangannya. Beliau menjelaskan bahwa setelah operasi ini Ello ternyata
mengalami koma yang dipastikan akan memakan waktu 1 bulan menurut prediksi
dokter dan apabila lebih, dokter tidak dapat memprediksi. Kontan kami bertiga shock, tangisku dan tante Wita memecah
kembali, perasaan bersalah kian menghantuiku, aku yang telah membuat Ello orang
yang sangat mencintaiku menjadi seperti ini.
2 hari setelah operasi, Ello dipindahkan keruang rawatnya.
Papi dan Maminya, serta aku dan Diaz ikut mengantar. Hari-hari dimana Ello akan
melewati masa komanya dimulai dari ruangan ini. Dari sini pula awal dimana aku
harus bisa menebus semua kesalahanku pada Ello, aku berjanji pada diriku
sendiri untuk merawat Ello selama dia koma sampai dia sembuh, meskipun aku
belum tau apa hasilnya tapi aku harus optimis dan yakin Ello akan sembuh.
***
1 minggu berlalu.
Aku mengambil keputusan untuk keluar dari pekerjaanku dan
memilih untuk berbisnis online, ini aku lakukan agar aku bisa ikut membantu
merawat Ello setiap hari. Selain itu juga Om dan Tante harus konsentrasi pula terhadap
bisnis mereka yang tidak bisa dilepas tangan begitu saja. Mereka sangat
berterimakasih padaku karna setiap hari aku yang setia berada diruang rawat
Ello untuk menjaganya.
Hari ke-10
Pagi ini aku bersiap untuk melakukan aktifitasku, aku masuk
kedalam ruang rawat Ello. Mendekatinya diatas tempat tidur ”Good Morning Ello, have an awesome day” sapaku hangat sembari
memegang tangannya diiringi senyuman. Lalu duduk dikursi samping tempat tidur
Ello, kubuka laptop untuk memulai pekerjaanku, menghandle bisnis.
Hari ke-17
Di pertengahan bulan kami semua diberi kejutan karna Ello
sudah menunjukkan perkembangan dengan sering menggerakkan jari-jarinya baik
tangan maupun kaki “Ini adalah awal dari respon yang Ello berikan” kata Dokter.
Seperti yang orang lain katakan bahwa Bahagia itu Sederhana.
Hari ke-25
Kupandangi wajah Ello lekat-lekat, ia begitu manis meskipun
rautnya pucat. Kuusap rambutnya yang mulai tumbuh panjang. Aku ingat Ello
seringkali mengacak-acak rambutku sebagai tanda sayang ketika kami masih seharmonis
dulu. Pundaknya yang begitu tegap agaknya masih selalu siap untuk menopangku
saat digendongannya, dadanya yang bidang adalah tempat bersandarku saat kami
erat berpelukan. Kini tubuh kekarnya bergantung pada alat-alat kedokteran, Ello
yang kuat dan tangguh bekerja kini harus mampu menopang hidup diatas tempat
tidur dalam koma.
Air mataku pun menetes “Maafin aku Ell” bisikku dalam hati.
Hari ke-30
Aku baru saja selesai membacakan Ello cerpen, hal ini aku
lakukan meskipun Ello koma, jiwanya tak pernah tidur. Dia tersadar dalam
dimensi lain dan aku yakin itu.
“Masuk” kataku pada seseorang yang mengetuk pintu kamar dari
luar.
“Kak Anne” tegur Diaz padaku, ternyata dia yang datang.
“Masuk iaz, tumben kamu dateng jam segini” jawabku sambil
melihat jam tangan.
“Ini aku bawain sarapan buat kakak, tadi aku liat kakak
belum sempet sarapan waktu berangkat” katanya sambil menyerahkan kotak bekal.
Aku pun menerimanya “Ini masakan kamu sendiri, bukan beli?”
tanyaku sambil membuka bekalnya.
“Masih sanksi kalo itu bukan masakan aku kak?” candanya.
“Percaya deh” kataku, semenjak kami hanya tinggal berdua.
Kemandirian kami terbentuk dengan sendirinya, mengurus rumah, kebutuhan harian
dan bulanan, sampai memasak kami lakukan berdua.
Aku duduk di sofa untuk menghabiskan makananku, sementara
Diaz duduk dikursi samping ranjang Ello, memperhatikan Ello yang tenang dalam
koma. Tak lama terdengar kembali suara orang ketukan pintu, lalu kubuka dan
“Sandra” pekikku.
“Anne” kami berpelukan erat.
“Kamu kapan pulang?” tanyaku sambil cipika-cipiki.
“Tadi pagi, maaf yaa aku baru bisa kesini sekarang. Baru
dikasih libur panjang bulan ini” jawab Sandra, dia adalah sahabatku dan Ello.
Saat ini dia menetap di London untuk melanjutkan study.
Setelah Sandra dan Diaz bersalaman, aku mendekatkan Sandra
kesamping Ello “Ell, ada Sandra. Dia kesini nengokin kamu” bisikku pada Ello.
“Pagi Ell, maaf yaa aku baru bisa kesini sekarang. Kamu
harus cepet-cepet sadar, banyak orang yang sayang sama kamu” ujar Sandra
sedikit menahan air matanya.
Aku dan Sandra mencari tempat duduk di taman rumah sakit
untuk mengobrol
“Selama Ello di London dia banyak cerita tentang kamu,
tentang hubungan kalian. Dia kayaknya bahagia banget bisa sama kamu Ann” cerita
Sandra sumringah.
Aku menghela napas “Semua orang pasti bakal mikir kayak
gitu, hubungan kita bahagia, Ello bahagia akupun sama. 2 bulan pertama setalah
kita mutusin untuk pacaran keyakinan aku adalah Ello bisa menjadi masa depanku,
hidupku dan adikku terjamin sama dia. Tapi sifat buruk Ello udah bikin aku
mikir ulang akan semua keyakinan itu”
“Soal sifat-sifatnya dia yang sering bikin kamu ngga suka?”
tebak Sandra.
“Kamu tau darimana?” tanyaku penasaran.
Sandra tersenyum simpul “Aku sering chatting sama Diaz, aku banyak tau tentang kabar kalian dari Diaz”
Kami saling tertawa kecil. Maklum Sandra dan aku sudah
bersahabat sejak lama, sering menghabiskan waktu bersama-sama. Sampai akhirnya
aku berpacaran dengan Ello dan dia berkuliah di luar negeri hubungan kami hanya
sebatas komunikasi jarak jauh dan itu dilakukan amat jarang. Pertemuan kali ini
memang untuk melepas kangen sekaligus berbagi cerita. Untukku inilah saat yang
tepat untuk bercerita tentang apa saja yang selama ini membebani hati dan
pikiranku.
Air mataku mulai menetes, Sandra dengan sigap memelukku. Sebagai
sahabat dia begitu peka denganku.
“Aku tau Ann ini berat buat kamu, tapi kamu masih bisa mikir
keputusan kamu sekali lagi. Sifat dan sikap orang itu bisa berubah dan Ello
begitu sayang dan cinta sama kamu, aku yakin dia bisa berubah demi kamu. Jangan
sampai kamu menyesal nanti”
Aku melepas pelukan Sandra “Aku ngga mau seegois itu San,
kalo emang ngga dari hati Ello dia berubah. Aku ngga akan pernah maksa, itu hak
dia. Apalagi keadaan Ello saat ini, itu semua gara-gara aku, karna keegoisan
aku sendiri” air mataku terus menetes.
Sandra mengelus bahuku sebagai tanda menguatkan “Ngga Ann,
semua hal yang terjadi Tuhan sudah mengaturnya. Jangan salahin diri kamu
sendiri”
“Dulu aku sempet
mikir kalo aku ngga cepet-cepet ngambil keputusan, ini akan
berlarut-larut. Aku akan semakin susah ngelepas Ello. Tapi setelah semua ini
aku lakuin, Ello justru...” aku menggantung ucapan, tenggorokanku begitu sesak
menahan tangis.
***
1 bulan berlalu ternyata belum memiliki hasil, hal ini yang
membuat semua mulai kehilangan harapan bahwa entah kapan Ello akan sadar dari
komanya. Setiap hari dalam 5 waktu ibadahku tak henti aku meminta padaNya akan
kesembuhan Ello.
Mulai terlihat mukjizat ketika doa tak henti dipanjatkan
oleh semua. Pada suatu pagi sekitar pukul 6.00 ketika matahari mulai menyosong
langit bersamaan dengan sinarnya yang begitu hangat Ello membuka mata, melihat
dunianya kembali, dunia yang sempat dia tinggalkan hampir 40 hari.
Ello seperti manusia baru yang baru saja terlahir, dia hanya
bisa diam dengan tatapan kosong. Sesekali dia melihat orang-orang yang mengelilinginya
tanpa arti. Dokter menjelaskan bahwa Ello masih butuh banyak waktu untuk
terbiasa dengan kehidupannya setelah koma. Kondisi fisiknya sudah membaik dan
ingatan Ello masih kuat tentang kami. Tinggal menunggu waktu pemulihan.
Setiap waktu setelah kesadaran Ello sangat berharga untuk
kami, Tuhan menjawab doa-doa kami selama ini. Aku tak henti dan selalu
mensyukurinya. Alhamdulillah.
***
Pagi ini di taman rumah sakit, di sebuah bangku berbiaskan
sinar mentari yang menghangatkan. Aku mengajak Ello untuk menyantap sarapannya.
Sudah 2 minggu berlalu sejak Ello sadar, dokter menyarankan agar Ello diajak
menikmati lingkungan diluar kamar rawatnya untuk mendukung proses pemulihan.
Aku pun menurut, seperti halnya pagi ini dan hari sebelumnya aku rajin mengajak
Ello ke taman. Entah untuk sekedar menikmati hari maupun menemani Ello makan.
Aku menyuapi Ello dengan lembut, suapan demi suapan nasi
dilahapnya dengan tenang. “Makanannya enak?” tanyaku halus.
Diatas kursi rodanya Ello menjawab dengan anggukan dan
tatapan yang mengisyaratkan jawaban “iya” selama ini komunikasi kami hanya
dijawab Ello dengan isyarat melalui anggukan, gelengan, dan kontak mata. Ello
banyak berkomunikasi melalui batin, dimana akupun tanpa sadar mengerti dan
merasakannya.
Tak terasa air mataku pun menetes, aku larut dalam masa-masa
dimana Ello koma sampai dia sadar dan saat ini sudah lahap makan. Aku terharu
akan Kuasa Tuhan yang Luar Biasa ini.
“Ell, kamu tau ngga aku tuh seneeeeeng banget ngeliat kamu
sekarang. Perkembangan kamu semakin hari semakin bagus. Dulu aku sempet
berpikir apa jadinya kalo kamu ngga sadar, kamu terbawa dalam tidur panjang
kamu disisi Tuhan” aku tak henti menangis. “Maafin aku ya Ell, kesalahanku
terlalu fatal sampai kamu harus melewati masa-masa seperti ini. Aku menyesal”
Sebuah tangan kekar menyentuh pipiku, mengusap buliran air
mata yang sedari tadi menetes. Tangan yang terasa tak asing bagiku cukup
membuatku terbuai untuk sejenak melupakan penyelasan yang selalu menghantuiku.
Aku dibuat terkejut ketika kusadari tangan ini adalah tangan
Ello. Tanganku membalas tangan Ello, mulutku ternganga dalam keridakpercayaan.
“Jaaa...ngaann Mme..nna..ngisss Ann....nnnee” ucap Ello
terbata-bata.
“Ello kamuuu” aku semakin tak percaya.
***
14 bulan berlalu
Ello sudah 100% pulih, kini kami kembali bersatu dengan status
sepasang suami istri. Dan hari ini tepat ulang pernikahan kami yang pertama.
Ello melamarku setelah sebelumnya dia berjanji seraya memberikan bukti bahwa
dia akan memperbaiki diri, dia pun meninggalkan semua harta dan tahta yang
telah diberikan oleh orang tuanya. Dia ingin hidup bermula dari nol bersamaku,
bekerja dengan usahaya sendiri, aku mendukungnya penuh dari dukungan moril
sampai finance dengan melebarkan usahaku di online shop dan kami dapat membangun rumah sederhana hasil
keringat kami sendiri.
Ello juga memilih agar warisan yang seharusnya menjadi hak
dirinya, ia serahkan pada anak-anak kami kelak serta untuk membantu sesama yang
membutuhkan.
Terimakasih Ello, kamu telah manunjukkan padaku Kebahagiaan
Hati yang sesungguhnya :)
_a.d.a_
Comments
Post a Comment