“Anak adalah
Amanah Tuhan, dan aku merasa sempurna sebagai seorang wanita saat kumiliki
mereka. Selamat Pagi :)” tulisku pada akun twitter pribadiku. Tweet yang seakan
menjadi mood booster bagiku disetiap pagi. Aku ingat tak ada hal indah didunia
selain memiliki peri-peri kecilku.
Aaron turun
terlebih dahulu untuk menikmati sarapannya.
“Pagi
sayang” sapaku hangat.
“Pagi maa”
Aaron pun duduk di kursi yang biasa ia duduki. Sejurus kemudian dia menikmati
roti tawar yang menjadi sarapan favoritnya.
Dengan
langkah sedikit berlari, Aileen turun dan lekas bergabung denganku dan saudara
kembarnya yang tengah sarapan.
“Pagi
sayang” tak lupa pula aku menyapa anak bungsuku ini.
Aileen
terlihat lebih bersemangat dibanding biasanya “Pagi juga mama, Pagi Aaron”
Selesai
sarapan, kami bersiap menuju tempat aktifitas masing-masing.
Aku
mengantar Aaron dan Aileen ke sekolah mereka, setelah itu aku bergegas memacu
mobil ke rumah sakit, tempatku bekerja.
***
Hari ini
pekerjaanku sebagai seorang suster cukup padat, aku baru bisa mengambil makan
siang pada pukul 3 sore.
Selesai
makan, Kulihat seseorang tengah duduk disebuah kursi dekat ruanganku.
“Aileen”
ucapku setelah kudapati orang tersebut adalah anakku, Aileen.
“Mama” jawab
Aileen dan lekas berdiri.
“Tumben
kesini, ada apa sayang?”
Aileen
menunjukkan sesuatu “Ini maa, aku kesini buat minta tanda tangan Mama”
Lekas kulihat
secarik kertas yang merupakan formulir pendaftaran kursus fotografi “Kamu
serius sayang?”
Aileen
menganggukkan kepala “Please maa, aku bakalan serius masuk kesini” Aileen
memohon.
Aku berpikir
cukup lama.
“Mama selalu
support semua hal positif yang dilakuin anak-anak mama, tapi saat kamu udah
terjun dalam sebuah bidang, yang harus kamu lakuin dan engga boleh dilakuin itu
apa?”
Aileen
menghela napas “Aku harus bisa ngerjain sesuatu dengan sepenuh hati dan selalu
berusaha jadi yang terbaik tapi ngga boleh lupa sama sekolah dan nasehat mama”
Aku
tersenyum, lalu kububuhkan tanda tangan di kolom yang beratasnamakan diriku.
Aileen menghambur
memelukku “Thanks Maa, love you”
“Love you too my sweet heart, keep on your
truth” pesanku.
Aileen
mengangguk.
Itulah salah
satu cerita dari cerita-cerita lain tentang aku dan anak-anakku. Sebagai orang
tua tunggal aku harus bisa menjadi ibu sekaligus ayah, karena meskipun keluarga
yang aku bangun tak lengkap, kasih sayang yang dirasakan peri kembarku tak
boleh kurang.
***
Hari yang
cerah, secerah hidupku saat aku memiliki putra kebanggaan. Aaron, dia tumbuh
bersama kejeniusan otak yang dia miliki. Dari sana mengantarkan ia pada
cita-cita sebagai seorang ilmuwan. Masih lekat dalam ingatanku saat aku
memberikan kado untuknya saat ia menginjak usia 7 tahun. Mungkin saat itu
merupakan titik balik dalam hidupnya.
“Maa”
kutatap anakku yang sudah begitu rapi dalam balutan tuxedo. Aku tersenyum dalam
haru, kuraba setiap jengkal bagian wajahnya, dia begitu mirip dengan.
“Mama, are you saw me? What’s look I am?” dia
menyela lamunanku.
“You’re the gorgeous son I ever had”
pujiku bangga.
“Makasih
maa, buat hasilnya nanti kemenangan bukan penentu segalanya. Kalopun aku
menang, persaingan akan semakin kuat, sekuat budget yang harus dikeluarin juga” raut wajah Aaron berubah sayu.
Dia terlihat begitu khawatir apabila urusan financial
tidak mampu kita hadapi.
Aku
menggelengkan kepalaku “Engga sayang, jangan pernah kamu berpikir soal uang
atau apapun yang bukan jadi tanggung jawab kamu. Tuhan akan memudahkan jalan
dan memberikan apapun pada orang yang mau berusaha dan berdoa. Tidak ada yang
tidak mungkin di dunia asal kita percaya” jelasku. “Berjuanglah untuk apa yang
selama ini menjadi cita-cita kamu nak!” pesanku.
Aaron
mengecup punggung tanganku “Doain Aaron ya maa”
“dia
titipanMu yang begitu aku banggakan, mudahkanlah setiap jalan hidupnya” bisikku
dalam doa.
Kami
bertigapun berangkat menuju Kompetisi Science tempat Aaron akan memperjuangkan
cita-citanya.
***
“Saya selalu
dibuat pusing dengan ulah anak saya Jaze. Dia punya hidup sendiri dan tidak
sedikitpun saya dan suami saya mampu menggubrisnya” inilah curahan hati yang
aku terima dari salah satu pasien yang sedang aku jaga.
“Anak adalah
titipan Tuhan, bagaimana kita mendidik dan mengarahkannya itulah dia nanti yang
akan terbentuk” ucapku.
“Jadi suster
nyalahin saya sebagai orang tua dia” nada suara pasienku yang bernama ibu
Sandra meninggi.
“Tidak bu,
saya hanya manusia biasa. Orang tua yang memiliki dua orang anak, dan anak-anak
saya tak seberuntung Jaze yang memiliki orang tua lengkap. Sedari mereka
dirahim saya, mereka tak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ayah”
“Suster seorang single parent?”
“Suster seorang single parent?”
“Iya bu,
sebelumnya saya tidak pernah membayangkan takdir hidup saya seperti ini dan
meminta pun tidak. Membesarkan dua buah hati dengan sifat dan sikap yang
berbeda sering membuat saya merasa apakah saya sudah menjadi orang tua yang
baik”
“Lalu
bagaimana suster bisa survive sampai
sekarang?” Ibu Sandra terlihat penasaran dengan cerita hidupku.
“Saat saya
harus melewati setiap detik, menit, jam, hari, dan perjalanan waktu sampai pada
titik ini Tuhan tahu bahwa saya mampu. Kuncinya adalah selalu berdoa agar
setiap langkah kita dan keluarga kita selalu diberi kemudahan dan kunci
berikutnya adalah belajar, belajar itu bagi siapapun dan untuk apapun. Memang
pola pikir anak jaman sekarang dan pola pikir kita begitu berbeda. Tapi jangan
gunakan perbedaan ini sebagai musuh kita” jelasku tenang.
Bu Sandra
yang tengah tergolek diatas blankartnya meraih tanganku “Terimakasih suster
Irvina anda adalah lilin pada pikiran saya yang gelap ini”
Aku
membalasnya dengan senyuman.
***
“Mamaaaa”
suara nyaring terdengar dari arah pintu depan. Aku yang tengah berkutat dengan
masakanku dibuat menunggu dengan langkah kaki putri kecilku yang sedang
mencariku.
Dipeluknya
aku erat saat dia berhasil menemukanku “Mama harus tahu, tadi pemilik kursus
fotografi aku bilang beliau terkesan dengan hasil-hasil foto yang aku ambil. 7
dari 10 bakal dijual di pameran. Dan uangnya 80% buat aku sisanya untuk amal,
itu artinya aku udah bisa cari uang sendiri sekaligus bisa bantu orang lain
maa” kata Aileen begitu senang.
Aku tak
kalah senang dan semakin bangga dengan putriku ini “Selamat sayang, Mama bangga
sama kamu” kucium dia hangat dan kupeluk erat.
“Berisik
banget kayaknya ini rumah” Aaron yang merasa aktifitasnya terganggu pun datang.
“Aar lu tau
ngga, hasil foto-foto gue bakal dijual dan hasil lelangnya bakal buat gue dan
amal” Aileen antuasias bercerita pada saudara kembarnya itu.
“Wah serius
lu leen, good job sista” Aaron
menghambur memeluk Aileen.
“Dan gue
juga bisa bantuin project lu di kompetisi
berikutnya” mereka berdua loncat kegirangan. 16 tahun usia mereka dan sama
sekali tak kehilangan masa kanak-kanak yang masih terasa sampai saat ini.
***
Tiba pada
sebuah malam yang menjadi spesial bagi putriku Aileen, pukul 7 malam aku datang
ke acara pameran karya seni bersama Aaron. Kami berpakaian formal sesuai dengan
ketentuan.
Sesampainya
Aileen sudah menunggu kami dengan ceria.
“Wuih
kece-kece nih, ayo masuk ma, Aar!” Aileen meraih tanganku.
Ditunjukannya
setiap hasil foto hasil kreatifitas
tangannya. Ada foto panorama alam, aktifitas masyarakat di pasar, aktifitas
disekolahnya sampai foto saudara kembarnya sendiri, Aaron.
“Wah gue
difoto cakep juga ya, cocok kali ya ma jadi coverboy?” tanya Aaron percaya diri
padaku.
“Anak mama
yang cakep, kalo kamu jadi coverboy nanti robot-robot dan eksperimen-eksperimen
buatan kamu mau dikemanain coba?” aku berbalik bertanya sembari meledek.
“Tau tuh ma,
songong lu Aar” Aileen pun tak mau kalah meledek.
Wajah Aaron
berubah jengkel “Iya iya jadi ilmuwan, batal jadi coverboy”
Aku dan
Aileen menanggapinya dengan tawa kecil.
“Oh iya maa,
aku punya surprise buat mama” aku dibuat kagum dengan sebuah foto yang berjudul
‘My Forever Angel’ hasil karya Aileen dimana foto-foto diriku dalam ukuran
kecil dan dikumpulkan dalam sebuah pigura besar.
“Aku ambil foto-foto
ini saat Mama lagi kerja, lagi dirumah, dan lagi ditempat-tempat yang mama
kunjungin. Kebanyakan aku ambil dari arah samping dan jauh, biar ngga ketahuan
mama dan lebih natural” jelas Aileen.
“Sayang kamu
jahil yaa” kataku setengah cemberut.
“Wah candid
lu leen” Aaron menimpali.
“Hehe ngga
papa kali ma, ini foto ngga dijual kok. Bakal dipajang dirumah, udah yuk ma,
sekarang Aileen mau ngenalin mama sama guru fotografi Aileen sekaligus pemilik
tempat kursus” ajak Aileen padaku.
Seorang pria
dengan postur tubuh tinggi dan berbadan tegap berdiri membelakangi kami.
“Pak Arman,
maaf menggangu” ucap Aileen.
Pria
tersebut pun berbalik badan “Oh Aileen, ada apa yaa?”
“Pak,
seperti yang kemarin saya cerita. Saya mau ngenalin Mama saya dan juga saudara
kembar saya”
Mataku dan
mata Pria ini bertemu, aku terkaget saat pria tersebut tak asing bagiku.
Kuselami setiap memori hidupku di masa lalu dimana pria ini adalah mari mantan
suamiku sekaligus ayah dari anak-anakku.
Belum sempat
kami berjabat tangan “Aileen, mama harus pulang sekarang karna masih ada
kerjaan yang belum diselesein. Aaron ayo kita pulang, permisi”
“Lho ma,
kerjaan apa?” Aileen mengejarku dan aku tak menggubrisnya.
Didalam
mobil aku terus memikirkan menit-menit disaat aku dihadapkan dengan sosok masa
laluku Arman. Tak salah lagi itu dia.
“Maa, ada
apa sebenernya? Mama baik-baik aja kan?” tanya Aaron padaku.
“Udah sayang
kamu konsentrasi nyetir aja. Mama baik-baik aja kok” jelasku.
Sesampainya
dirumah aku langsung masuk ke dalam kamar, mengunci pintu, dan mencoba
memejamkan mata.
***
“Suster
Irvina, kami membutuhkan bantuan suster untuk menangani pasien dari Dokter
Gery”
Aku bergegas
untuk memulai pekerjaan hari ini. Disebuah ruang rawat inap tengah ada pasien
wanita paruh baya, beliau menderita kanker tulang belakang yang telah memasuki
stadium lanjut.
Sekeluarnya
dari ruangan kulihat seseorang yang telah membuatku tak bisa tidur semalaman,
Arman. Dia memandangiku, namun aku beralih pandang.
***
Waktu sudah
memasuki tengah hari, itu artinya aku harus segera makan siang.
“Irvina”
panggil seseorang saat aku baru keluar ruangan.
Aku menoleh
dan “Arman”, aku tak menggubrisnya dan mencoba menghindar.
“Irvina
tunggu, aku tau ini kamu. Aku mohon luangkan waktu kamu untuk kita bisa
mengobrol” pinta Arman.
Aku akhirnya
menurut.
Kami pun
memilih sebuah kursi di koridor sebagai tempat kami mengobrol.
“Apa kabar
kamu Vin?” tanya Arman.
“Aku baik”
jawabku singkat.
“Aku minta
maaf Vin, kamu pasti mengerti semua itu bukan keinginan aku. Keluargaku
mengatur semuanya“ katanya.
“Semua sudah
terjadi, sudahlah lupakan. Elena itu istri kamu sekarang?” tanyaku.
Arman
tersenyum, aku melihat matanya dan aku tahu ada beban berat yang saat ini
menlingkupi dirinya.
“Iya, sudah 5 tahun dia harus melawan penyakit
itu. Aku pun hampir putus asa” nada suaranya melemah.
“Ada
kategori penyakit yang bisa sembuh karna obat medis atau obat tradisional, ada
pula penyakit yang sampai sekarang pun belum ditemukan obatnya. Tapi ada satu obat
yang mampu melawan semua penyakit dalam kategori apapun, yaitu doa. Doa yang
dipanjatkan padaNya secara sungguh-sungguh besar kekuatannya. Kita harus
percaya itu” pesanku.
Arman
tersenyum lagi “Kamu ternyata ngga pernah berubah, selalu bisa jadi tempat
curhat yang bikin tenang dan jadi penyemangat. Makasih ya vin”
Aku
membalasnya dengan sebuah senyuman pula.
“Dan saat di
pameran kemarin malam itu. Aileen benar putri kamu?”
“Maaf aku
harus pergi” aku tak bisa menjelaskannya sekarang. Ada hati orang-orang yang
perlu dijaga.
Yang aku
tahu rasa sakit hati ini masih tersisa. Arman menikahiku setelah 3 tahun
hubungan kami tak direstui Tante Rani ibunda Arman. Kita menikah tanpa restu
hingga tiba pada suatu malam Arman hilang dan esok paginya datang surat cerai
kami. Di usiaku yang masih 22 tahun aku harus dicampakkan, dibuat hampir
depresi, dan down untuk beberapa
saat. Satu-satunya kenangan yang Arman tinggalkan adalah janin bayi dalam
rahimku, sayangnya Arman tak pernah mengetahuinya. Aku memutuskan untuk melanjutkan
kuliahku di Bali dan saat bayiku lahir aku dibuat tak percaya karna aku
mendapat sepasang bayi kembar, anak kembar yang menjadi mimpi Arman sejak kami
pacaran.
***
Selesai
kubereskan makan malam, kudatangi kamar anak-anakku satu persatu. Ada kalanya
aku wajib memantau setiap aktifitas mereka.
Dimulai dari
kamar si kecil Aileen.
“Masuk Maa”
pintanya saat aku mengetuk pintu.
“Sibuk
sayang?” tanyaku.
“Iya Maa,
lagi bersihin kamera sama ngecek foto tadi siang”
“Ada tugas
Sekolah ngga?”
“Ada, tapi udah
dikerjain di perpus pas sekolah udah bubar”
Aku membelai
rambut panjang anakku ini, dia bisa bertanggung antara sekolah dan hobinya
dengan baik.
“Maa, aku
mau tanya”
“Tanya apa sayang?”
“Tanya apa sayang?”
“Mama kenal
sama Pak Arman?” anakku pasti penasaran dengan kejadian kemarin lusa itu.
“Iya mama
kenal. Yaudah yaa sayang kamu lanjutin kerjaan kamu, mama keluar dulu” kukecup
ubun-ubun putriku, aku segera menghindar sebelum Aileen bertanya macam-macam
tentang Arman.
Kini
giliranku menemui Aaron. Pintu kamarnya terbuka, kulihat Aaron tengah sibuk
didepan laptop, sibuk chatting dengan
seseorang sepertinya. Aku menyapanya dengan berdehem.
“Mama, bikin
kaget aja”
“Hayo lagi
ngapain yaa?” ledekku.
“Pusing maa,
uji coba eksperimen mulu. Cari hiburan dikit lah”
“Bagus lah
biar kalo udah tua, calon profesor ini ngga botak haha”
“Apaan si
maa, ngerjain nih”
“Ngga kok
sayang bercanda, yaudah lanjutin gih ntar mama ganggu lagi”
“Tunggu maa”
Aaron menarik tanganku.
“Ada apa
sayang?”
“Mungkin
ngga, Papa bisa liat bakat aku, bisa liat bakatnya Aileen, dan bisa tau kerja
keras mama” air mataku seketika menetes. Sedari mereka lahir sampai sekarang memang tak pernah kuhadirkan
sosok seorang ayah bagi mereka. Ini bukan pertama kalinya Aaron maupun Aileen
bertanya tentang siapa dan bagaimana Ayah mereka. Dan lebih tidak beruntungnya
mereka karena aku selalu berhasil menutupinya. Kusadari aku memang belum mampu
menjadi ibu yang baik bagi mereka.
“Hanya Tuhan
yang tahu sayang” jawabku menahan tangis.
Aaron pun
terlihat meneteskan air mata “Aku selalu iri maa sama temen-temen aku yang
selalu cerita tentang Papa mereka, ngelakuin hobi bareng Papa, liburan bareng
Papa, dan Papanya bisa dateng ke sekolah. Kapan aku bisa ngerasain itu semua
maa, apa mungkin sampai aku mati pun aku ngga bisa liat atau sekedar tahu siapa
Papa aku”.
Aku lekas
memeluk anakku ini, maafin mama sayang.
***
“Vina, aku
tahu kamu memang punya prinsip hidup yang kuat. Tapi disituasi seperti ini apa
kamu masih yakin semua akan berjalan baik-baik aja, kamu sendiri sudah mulai
bimbang, dan lagi jangan sampai karena keegoisan kamu ini, anak-anak kamu jadi
korbannya” sebuah nasehat dari sahabatku Dinda masih terus terngiang di
pikiranku. Mungkin sebuah keputusan harus segera kuambil.
***
Aku masih
sibuk menyelesaikan laporan-laporan pasien dirumah sakit bulan ini sembari
merawat Aileen yang tengah sakit dan ijin tidak masuk sekolah untuk itu aku
mengambil cuti hari ini.
Terdengar
bel rumah berbunyi, aku menghampiri pintu depan.
“Kamu
ngapain kesini?” ucapku setelah pintu kubuka.
“Kemarin
kita belum selesai bicara kan?” jawab tamu yang tak lain adalah Arman.
“Kamu ngga
perlu mengusik hidupku sejauh ini. Saat ini aku juga lagi sibuk, lebih baik
sekarang kamu pulang” aku cepat menutup pintu dan Arman dengan sigap
menahannya.
“Kesalahanku
dan keluargaku ke kamu memang begitu besar. Aku pun tahu kami semua berdosa
lalu dengan apa aku harus menebusnya. Seumur hidupku pun itu takkan pernah
hilang” kata Arman kemudian.
“Aku memang
merasa sangat sakit dan aku hampir gila, tapi masih atau tidaknya rasa sakit
itu adalah masa lalu. Aku sudah hidup di masa ini” jelasku tegas.
“Terserah
bagaimana kamu menanggapinya, itu hak kamu. Hal penting yang ingin aku
sampaikan, Aileen itu benar anak kandung kamu kan, dia memiliki saudara kembar
laki-laki bernama Aaron. Dan setelah
kita berpisah kamu belum pernah sekalipun menikah lagi kan? aku minta kamu
jujur, siapa ayah kandung mereka?”
Aku terdiam
dalam perasaan yang sangat memberatkan bathinku.
“Jawab
Irvina, apa aku ayah kandung mereka?” Arman berpikir sudah sejauh ini ternyata.
“Itu bukan
urusan kamu, tanpa sosok ayah mereka bisa hidup bahagia denganku” jawabku
ketus.
“Mama” Aaron
sudah berdiri di pagar rumah, “Maa” begitupun dengan Aileen yang kini berdiri
dibelakangku.
“Apa mama
bisa menjamin seumur hidup buat kami bahagia tanpa mengenal siapa papa kami.
Maaf maa, aku dan Aileen bukan lagi anak kecil polos yang bisa dibohongin” kata
Aaron terisak.
“Iya maa, kami
perlu tahu siapa papa kami. Memang iya mama bisa ngasih kasih sayang ke kita
lebih dari siapapun. Kami juga ngga nyesel terlahir dari keluarga yang ngga
lengkap, karna semuanya udah digariskan sama Tuhan” Aileen menyambung ucapan
kakaknya.
“Irvina,
kamu bisa dengar bagaimana isi hati anak-anak kamu? Tolong Irvina jangan egois
seperti ini. Kalau memang mereka anak kandungku, biarlah aku ikut merawat dan
membimbing mereka. Kamu masih ingat kan bagaimana aku sangat ingin memiliki
anak kembar”
“Diam kamu
Arman, kamu sudah memiliki keluarga sendiri. Bahagiakan mereka, jangan usik
kami” aku semakin merasa begitu tertekan. Kulihat satu persatu anakku tiba-tiba
kepalaku pusing, pandanganku buyar, dan aku tak ingat apapun lagi.
***
Itulah
sepenggal kisah dari cerita hidup yang tertulis dakam buku biografi berjudul
“Irvina, Ibu dan Perawat Malaikat” yang ditulis oleh pengagum mama. Satu bulan
setelah kejadian itu tante Elena meninggal dan beliau berpesan agar mama dan
papa kandung kami Papa Arman bersatu kembali. Kini kami pun menjadi keluarga
dengan anggota baru, saudara tiri kami Rafa dan Syifa anak-anak tante Elena.
Mama Irvina
adalah salah satu Malaikat yang diciptakan Tuhan untukku dan Aaron. We Love you
maa.
Comments
Post a Comment