Aku
menyambut hari dengan doa, cerahnya mentari dipagi ini tak bisa membuat
kegelapanku pudar. entah sampai kapan aku terkurung dalam cobaan ini.
Papa sudah
menungguku di meja makan, sebelum aku dituntun untuk duduk, seketika indra penciumanku
merasakan bau yang tak terasa asing.
“Ada apa
sayang?” tanya Papa kudengar.
Aku mulai
mengkonsentrasikan diri dengan bau itu lalu tiba-tiba hilang “Paa, tadi Bima
datang?” aku berbalik bertanya.
Kurasakan
tangan Papa menyentuh lenganku dan menuntunku duduk “Hari ini belum ada satupun
tamu yang berkunjung”
“Tapi aku
bisa mencium bau parfum Bima Paa” jelasku sedikit menahan tangis.
Papa tak
menjawab, dia justru mencium ubun-ubunku.
***
Seperti sore
biasanya, aku duduk disebuah bangku dekat danau di taman, ditemani Pitcy kucing
kesayanganku. Kusenandungkan lirih sebuah lyric lagu
Dan untuk kesekian kalinya aku takkan pernah lelah
Mengingat dan mengenang hal-hal akan dirimu
Tadi pagi disaat aku bersiap menyambut hari
Aku merasa indra penciumanku ini kuat menghirup aroma parfummu
Kukira kau datang dan lekas membuat kejutan
Tapi sepertinya itu hanya ilusiku
Seperti halnya Papa yang tak mampu menjawab pertanyaanku tentangmu
“Miauw” Pitcy melompat turun dari
pahaku. Aku tersentak “Pitcy, kamu kemana? Kemari sayang” berulang-ulang
kupanggil, Pitcy tak sedikitpun bersuara. Khawatir dia menghilang aku segera
berdiri, namun tongkatku terjatuh. Sulit sekali aku menyusuri jalan tanpa
tongkat tersebut, aku hanya mampu mengandalkan ingatan serta indra pendengarku
agar aku tak salah arah, beberapa langkah kutapaki dengan lancar namun aku tersandung batu didepanku. Aku terjatuh
dan kurasakan rasa nyeri serta perih pada kedua lututku.
“Miauw” suara Pitcy kembali
kudengar, kupanggilnya lagi.
“Mba, lutut mba kenapa? Mba jatuh?” kudengar suara laki-laki didepan wajahku beriringan dengan
suara Pitcy. Laki-laki tersebut memapahku untuk berdiri dan menuntunku duduk
kembali dibangku.
“Biar saya bantu mengobati luka mba
yaa?” pintanya halus. Aku mengangguk.
***
Hari ini aku kembali ke taman, waktu
dan suasana hati yang mengantarku tak pernah bosan untuk menghabiskan sore
ditempat ini.
“Harmonisasi suara ditaman ini bagus
ya?” suara seseorang membuyarkan lamunanku.
Aku mengarahkan pikiran serta
ingatanku pada orang yang telah duduk disampingku ini.
“Kamu yang kemarin nolongin aku?”
tanyaku menebak.
“Masih ingat ternyata, bagiamana lukamu? Jauh lebih baik kah?” balasnya.
“Sudah lebih baik dari kemarin kok, Papa sudah membawa aku ke dokter. Sekali lagi terimakasih ya”
ucapku.
“Sekali terimakasih juga sudah cukup kok” jelasnya.
Aku tersenyum. “Mengungkapkan
kata-kata baik kan tidak
ada batasnya. Lagipula kamu bukan hanya menolongku, tapi kamu juga menolong Pitcy, kucing kesayanganku”
“Aku menolong selagi aku bisa, ngomong-ngomong
kamu sendirian? Kucing kamu mana?”
“Pitcy tadi ikut, tapi dia
tertidur di mobil” jelasku.
“Jadi kamu sendirian?”
“Aku kemari selalu bertiga kok, dengan Mang Arip supir aku dan Pitcy. Tapi
kalopun sendiri aku tak masalah bagiku, siapa juga yang mau berteman dengan wanita buta sepertiku”
“Siapa bilang, aku mau kok jadi
teman kamu. Perkenalkan nama
aku Arjuna” kemudian dia meraih tanganku lalu kami berjabat tangan.
“Namaku Airin” balasku. Aku yang awalnya hendak
meneteskan mata, mengurungkan niat.
“Kamu mau mendengar salah satu harmonisasi musik yang
indah tidak?” sebelum
aku menjawab, Arjuna langsung memasangkan headphonenya
padaku.
Kurang lebih 2 menit waktu kulalui
dengan terbuai dalam musik instrumental yang teriring apik dalam balutan
berbagai alat musik. Tak berapa lama Arjuna melepas headphone ini.
“Bagaimana menurut kamu, bagus?” tanya Arjuna.
Aku menjawabnya dengan anggukan
“Kamu suka musik?”
“Iya aku suka, karna musik bisa
menjadi teman. Teman yang ada tanpa lelah datang saat kita butuh. Kamu sendiri?”
tanya Arjuna padaku.
“Aku juga suka, tapi itu dulu saat
lagu I want to Spend my Lifetime bisa
aku dengarkan bersama dengan seseorang” air mata ini mulai menetes.
“Wah tak
seberapa lama, aku sudah mampu membuat anak orang menangis sepert ini” Arjuna
merasa tak enak hati padaku.
“Bukan
gara-gara kamu kok” air mata ini terus menetes, sulit sekali untuk kubendung.
“Aku rasa
kamu punya sesuatu yang tidak mampu kamu tahan, semacam beban. Kamu tahu, beban
itu akan terasa ringan saat kita bagi dengan orang lain. Selagi kamu bisa dan
mampu, ceritakan”
“Pada sebuah kisah dua sejoli yang telah lama menjalin
kasih bertemu pada suatu titik dimana hubungan mereka menemui sebuah badai,
salah satu diantara mereka sepertinya berkhianat. Sang wanita ingin membuat badai itu pergi.
Sampai tiba pada suatu siang yang terik, wanita tersebut mengalami kecelakaan saat mengendarai
mobil menuju rumah lelakinya. Kenyataan pahit lagi harus dialami si wanita saat dia harus rela cacat dan ditinggal pergi
entah kemana oleh lelakinya itu”
“Biar aku
tebak, perempuan itu pasti mampu menghadapi semuanya”
“Tahu
darimana? sok tahu” cibirku.
“Aku tahu,
karna Tuhan ngga akan pernah kasih ujian diluar batas kemampuan umatnya. Aku
yakin perempuan itu pasti mampu untuk bangkit. Aku juga pernah menjadi bagian
dari dunia yang kejam ini, sampai aku berpikir saat itu adalah awal dari
penderitaan-penderitaanku selanjutnya. Aku terkurung dalam keputus-asaan cukup
lama, sampai pada akhirnya aku bertemu pada sebuah titik pula bahwa aku masih
memiliki Tuhan dan keluarga. Mereka adalah cahaya dalam kegelapaanku”
Terang
Arjuna.
“Tapi setiap
orang berbeda pun dengan masalah yang menimpa mereka, aku marah pada Tuhan.
Kenapa Dia tak cabut saja nyawaku saat itu, kenapa dia harus menyiksaku dalam
kebutaan ini” kesalku.
“Aku percaya
selalu ada cehaya yang terang dalam setiap gelapnya hidup kita, mungkin hanya
butuh waktu agar cahaya yang masih temaram itu memancarkan sinarnya” ada
suntikkan energi dari ucapan yang dilontarkan Arjuna.
“Yang aku
lakukan saat itu adalah bangkit dan tantang dunia, mungkin kita lemah tapi kami
tak semudah untuk kau lumpuhkan” Arjuna berteriak, mungkin saat ini seisi orang
yang ada disekitar kami melihat Arjuna.
”Arjuna,
jangan teriak-teriak seperti itu. Malu sekarang kita pasti banyak orang melihat
kita” kataku sambil menarik lengan Arjuna untuk duduk.
“Hahaha, ini
salah satu cara kita untuk membuktikan pada dunia” jawab Arjuna santai, pada
akhirnya aku pun ikut tertawa.
“Rin,
menurut kamu musik instrumental tadi baguskah jika kita membuat lyricnya?”
“Sepertinya
bagus Arjuna”
“Nah,
sekarang kita buat lyricnya bersama, lalu kita isi suaranya juga, dan kita
upload ke soundcloud”
“Aku tidak
bisa menyanyi Arjuna”
“Suara kamu
bagus Airin”
“Tahu
darimana?”
“Kemarin aku
mendengar kamu bernyanyi saat bersama Pitcy”
“Kamu
nguping ya?”
“Hahaha”
Melawan Dunia
Tapak Kaki tak Pernah lancar dilalui
Segala punya daya dan kekuatannya sendiri
Kita pernah jatuh dan terpuruk
Dunia tersenyum saat kita menangis
Tapi air mata ini hanya berjalan dalam detik
lalu kami menghapusnya
Kami berdiri dalam kepercayaan, kami mampu,
kami bisa Melawan Dunia
Dunia kejam, kita lawan.
Dunia kuat, kita harus lebih kuat
Melawan Dunia
***
Dua suara
dengan dua nada berbeda melebur dalam satu bait lagu sederhana. Arjuna memang
lelaki yang berbeda, hari ini dia datang kerumah bersama temannya untuk
mendesain laptopku agar bisa digunakan oleh orang yang buta. Dia ingin aku bisa
lebih mudah bercerita segala keluh kesahku pada tulisan agar aku tak terus
mendapat beban dan terkurung dalam kepahitan masa lalu.
Di dalam sebuah
obrolan antara Papa Yuda dan Arjuna
“Kalian sudah
lama kenal” tanya Papa Yuda.
“Baru satu
minggu ini om” jawab Arjuna sopan.
“Om senang
karna Airin bisa memiliki teman baru, pasca kecelakaan Airin menutup diri
pergaulan. Om harap kalian bisa berteman baik, buat Airin senang ya nak Arjuna”
pesan Papa Yuda.
“Saya akan
berusaha om” jawab Arjuna sambil mengangguk.
“Jangan
menjadi pria pecundang layaknya Bimantara yang telah membuat Airin seperti itu.
6 tahun om menyekolahkan Airin di Luar Negeri agar dia bisa melupakan kepergian
Ibu serta kakaknya, setelah itu dia pulang dan bertemu dengan Bima. Setahun
lebih mereka bersama, om pikir Bima memang tepat bersanding dengan Airin. Namun
dia justru pergi tanpa pesan dan tak sedikitpun menengok keadaan Airin yang
seperti saat ini” Air mata Papa Yuda menetes. “Airin mengalami depresi yang
cukup lama, om hanya bisa membantunya dengan kasih sayang dan bantuan-bantuan
para ahli medis. Airin berubah menjadi pemurung dan mudah rapuh” nada suara
Papa Yuda tertahan. “Seandainya om bisa memilih, biarlah om yang sakit, jangan
Airin yang masa depannya masih panjang” ratapan seorang Ayah yang begitu
menyayangi anaknya ini membuat hati Arjuna berdesir.
***
“Untuk
tujuan apakah kita diciptakan hanya Tuhan yang tahu, tapi saat kita bisa
berguna bagi orang lain. Itulah jawabannya” Arjuna membaca sebuah kutipan kecil
dari seorang motivator.
Aku yang
sedikit demi sedikit mampu membaca huruf braile pun menyambungnya “Pandanglah
langit dan ucapkan Syukur”
“Hidup
seorang motivator itu begitu damai yaa, masalah itu ibarat kertas permen yang
dirasakan hanya berapa detik lalu hilang” celoteh Arjuna.
“Jun, langit
pagi ini seperti apa?” tanyaku.
“Hmmm,
gradasi warna antara birunya langit, putihnya awan, dan teriknya matahari cukup
bagus” jawab Arjuna mantap.
Aku mencerna
penjelasan Arjuna tadi, membayangkan bagaimana langit tergambar dalam
pikiranku. Tak terasa aku teringat akan sebuah moment “Aku merindukan saat-saat itu Bim” ucapku lirih.
“Ada apa Rin?”
suara Arjun mendekat.
“Dulu aku
dan Bima sering menghabiskan hari bersama untuk memandangi ciptaan Tuhan itu”
jawabku.
Kubiarkan
air mata ini terus menetes dan rasa kerinduan bercampur sakit hati melingkupi
diriku.
Tak lama ada
sebuah tangan yang menyentuh tanganku, membantuku untuk memegang sesuatu
seperti benang.
“Nah,
sekarang pegang balon-balon ini erat” kata Arjuna.
“Untuk apa?”
tanyaku bingung
“Agar kamu
bisa menyampaikan kerinduan kamu itu pada langit, biarlah balon-balon itu terbang
menyongsong setiap sudut langit sebagai pesan darimu”
Air mataku
seketika berhenti dan berubah menjadi senyuman. Aku berdiri dibantu Arjuna dan
menerbangkan semua balon yang ada digenggamanku bersama.
***
“..Kumohon Padamu jangan sembunyi, sembunyi
dari apa yang terjadi..
Kau acuhkan aku, kau diamkan aku, kau
tinggalkan aku..”
Lumpuhkan
Ingatanku, sebuah lagu yang kudengarkan malam ini. Lagi dan lagi aku ingin
menghilangkan semua ingatan bahkan memori yang ada otak serta hatiku tentang
seseorang yang telah pergi dariku.
“Belum tidur
sayang?” suara Papa terdengar dari arah pintu.
“Belum Paa”
jawabku. “Pa, apakah selamanya aku akan hidup dalam gelap seperti ini”
“Tidak
sayang, yakinlah semua ini hanya sementara. Dokter dan Pihak Rumah Sakit sedang
berupaya mencari pendonor mata yang cocok untuk kamu”
“Tapi
mungkin aku harus siap menghadapi kenyataan buruk sekalipun Paa”
“Jangan
seperti itu nak, Papa selalu ingin yang terbaik untuk kamu. Kita harus berusaha
sayang” pinta Papa.
Aku menjawab
dengan anggukan “Paa ada yang ingin aku tanyakan, seandainya Papa menemui
seorang wanita buta dan Papa mencintainya, apa Papa akan perjuangkan dia untuk
bisa menjadi milik Papa?” tanyaku.
“Kenapa kamu
bertanya seperti ini sayang?”
“Aku mencari lelaki seperti ini Pa, memang aku berbeda. Tapi dari perbedaan ini aku mencari orang yang benar-benar tulus padaku”
“Aku mencari lelaki seperti ini Pa, memang aku berbeda. Tapi dari perbedaan ini aku mencari orang yang benar-benar tulus padaku”
Papa
memelukku, erat, dan kurasakan tetesan air mengalir didahiku. Mungkin itu air
mata Papa.
“Kamu ingat
orang baik pasti akan mendapatkan jodoh orang baik pula. Kamu itu luar biasa
sayang, pasti akan ada lelaki yang luar biasa pula yang pantas mendampingi
kamu”
Aku tertegun
dengan jawaban Papa, air mataku pun menetes.
***
Di Minggu
Pagi yang hangat aku telah berdandan rapi dengan half skirt serta denim vest
yang membalut tubuhku. Dibantu dengan Mba Raisa asistenku, kupoles sedikit
wajah dan rambutku.
Aku dan
Arjuna berpamitan pada Papa, lalu Arjun memacu mobil segera.
Di tempat
yang sama saat 3 bulan lalu kami bertemu untuk pertama kalinya.
“Waktu tak
pernah terasa lama, rasanya baru kemarin kita bertemu” ucap Arjuna.
Aku
tersenyum saat membayangkan moment
pertemuan pertama kami.
“Arjuna.
Kenapa kamu mau jadi temanku?”
“Mencari
teman sama seperti saat kita harus tersenyum kepada orang baru. Mudah, yang
sulit adalah saat kita meyakini apakah teman yang kita pilih itu adalah orang
baik. Dan kenapa aku bersedia menjadi teman kamu” Arjun menggantung ucapannya,
tak lama tangan kananku terasa tengah dipegang dan ada tangan lain yang tengah
menjabatnya kuat “Karna kamu pantas untuk menjadi teman siapapun termasuk aku”
Iya Arjuna
memang layaknya teman yang dikirim Tuhan untukku, aku selalu merasa nyaman saat
bersamanya. Dia selalu menjadi dirinya sendiri.
Jepret, suara yang kudengar mirip
seperti suara flash kamera.
“So natural”
“Arjun, tadi
kamu memotret?”
“Iya, dan
objeknya adalah kamu”
“Kamu itu
sebenarnya mahasiswa seni atau candid?” rengekku.
“Aku suka
mengabadikan setiap moment yang
berjalan dalam detik, itulah gambaran dari Kuasa Tuhan” jelas Arjuna.
“Apakah semua
Kuasa Tuhan yang kau abadikan itu indah?”
“Semua
ciptaan Tuhan itu indah, sekecil apapun itu memiliki arti dan guna”
Dan lagi Arjuna,
setiap kata yang dia ucapkan sederhana namun bagiku tiap kata yang kudengar
adalah sebuah hal luar biasa.
Cukup siang sampai
akhirnya rasa lapar pun datang, kami memakan bekal yang dibawa Arjuna, masakan
sang ibunda.
“Kamu bisa
Rin?” tanya Arjuna saat memberikan piring padaku.
“Bisa, tapi
sedikit maklum. Aku akan menghabiskan banyak waktu saat makan” jujurku.
“Ya sudah, biar
aku menyuapi kamu?” tawar Arjuna.
“Jangan,
nanti makanan kamu?”
“Doakan saja
aku mampu multasking dalam hal makan,
setelah memberikan kamu suapan, aku juga ambil makananku”
Akhirnya
kami pun makan bersama dengan Arjuna yang dengan sabar dan telaten menyuapiku.
"..I won't give up on us
Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up, still looking up.
Well, I won't give up on us (no I'm not giving up)
God knows I'm tough enough (I am tough, I am loved)
We've got a lot to learn (we're alive, we are loved)
God knows we're worth it (and we're worth it)
I won't give up on us
Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up.."
Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up, still looking up.
Well, I won't give up on us (no I'm not giving up)
God knows I'm tough enough (I am tough, I am loved)
We've got a lot to learn (we're alive, we are loved)
God knows we're worth it (and we're worth it)
I won't give up on us
Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up.."
Petikan gitar terakhir sebagai tanda lagu telah usai terdengar, ini kali kedua kami bernyanyi bersama.
Aku bertepuk
tangan dengan ceria.
“Arjun, kita
kan sudah berteman lama. Aku penasaran kamu itu seperti apa”
“Mmm, kamu
tahu Nobita?”
“Tahu, kamu
mirip dia?”
“Tidak juga,
aku itu limited edition”
“Terlalu
percaya diri, lagipula aku pernah dengar jika setiap manusia itu memiliki 7
kembaran didunia”
“Iya aku
juga pernah baca, tapi meskipun kita memiliki kembaran sebanyak itu. Apa yang
ada dihati, pikiran, serta sifat itu tidak ada yang sama. Sama halnya sidik
jari setiap manusia, tak pernah ada yang sama” kata Arjuna mantap
Sekarang coba kamu raba wajah aku, kamu
bayangkan setiap jengkal pemberian Tuhan yang ada padaku” Arjuna menarik kedua
tanganku, dan membiarkan aku meraba wajahnya. Kuraba alisnya yang terasa tebal,
kelopak matanya, hidungnya yang cukup mancung, kuraba pula rambut Arjuna yang
pendek.
Kami
melanjutkan hari dengan berjalan-jalan menggunakan sepeda yang sengaja Arjuna
bawa.
***
“Selamat
Pagi Airin” suara Arjuna diujung telepon pagi ini.
“Selamat Pagi
juga Arjun” balasku.
“Airin maaf
ya, sepertinya hari ini kita tidak jadi pergi”
“Kenapa?”
“Ada sesuatu
hal yang tidak bisa aku tinggal” terdengar pula suara batuk dari Arjun.
“Kamu sakit
jun?”
“Tidak, memang
kamu pernah membayangkan seorang Arjun sakit dan sampai membatalkan sesuatu?”
“Kamu orang
yang kuat, sekuat kamu menguatkan aku” tegasku.
Sambungan
telepon ditutup dengan pesan “Have a nice
day too” dariku.
Ada sedikit
rasa jengkel dalam diriku karna kami tak bisa bertemu hari ini. Entah bagaimana
aku begitu merindukan sosok Arjuna padahal kemarin kita sudah menghabiskan
waktu bersama.
Ada
pertanyaan menarik yang saat ini menggelayutiku, apakah aku mencintai Arjuna? Entah.
Yang jelas saat aku bersamanya, aku lupa rasa sakit hatiku tentang Bima. Sama
halnya saat Papa bercerita bahwa Arjuna lelaki yang baik dan aku beruntung
bertemu dengannya.
***
Aku mengucap
syukur tak terhingga ketika Dokter menghubungi Papa bahwa telah ada pendonor
mata untukku. Setelah penantian 1 tahun, harapan untukku melihat dunia kembali
kini terasa nyata. Tak lupa akupun memberitahu kabar bahagia ini pada Arjuna.
Dibangku
taman biasa kami bertemu aku menceritakan semuanya. Arjuna menjabat tanganku
dan sedikit mengacak-acak rambutku sebagai ucapan selamat darinya.
“Setiap do’a
yang dipanjatkan secara tulus pasti ada jawabannya” kata Arjuna.
“Iya, Tuhan
itu begitu baik padaku” jawabku.
“Sama halnya
kenapa Tuhan menciptakan hari ini diantara hari kemarin dan hari esok, kamu
tahu?”
“Kenapa?”
“Alasannya,
agar kita bisa memetik segala pengalaman hidup di hari kemarin untuk dijadikan
pelajaran dihari ini agar kita menjadi manusia yang selalu memperbaiki diri di
hari esoknya” terang Arjuna.
“Aku menyukai filosofis itu” jawabku dalam
senyum “Jun”
“Iya Rin”
jawab Arjun sambil terbatuk.
“Saat aku
dioperasi nanti kamu mau menemaniku? Jadilah salah satu orang yang kulihat saat
aku membuka perban nanti” pintaku.
Masih
sedikit terbatuk “Iya Rin, aku akan berusaha”
Kucari
tangan Arjun disisi kananku. Kugenggam dan kurasakan tangannya begitu dingin
“Aku senang jun bisa jadi mengenalmu”
***
Masih
kuingat saat pertama kali kubuka mata namun hanya kegelapan yang aku lihat,
kurasa mataku ini sudah benar-benar terbuka, kuulangi lagi namun hasilnya tetap
sama aku melihat kegelapan. Saat itu pula aku berpikir ini adalah mimpi, dan
memang mimpi buruk yang menjadi nyata.
Dan itu
dulu, untuk saat ini, ketika perban yang menutupi mataku dibuka kulihat ada
kilau yang begitu terang mulai terpancar dalam penglihatanku, semakin lama
semakin jelas ada sesuatu yang bisa terlukis dari mataku, dan kini kulihat
seseorang yang begitu aku cintai “Papa”
Iya operasi
yang kulakukan pun berhasil, sesukses aku dapat menggunakan indra penglihatanku
kembali.
Aku, Papa,
dan semua yang berada diruangan mengucap syukur tiada henti atas Berkah ini.
***
Selamat
Melihat Dunia kembali Airin
Jaga
Anugerah itu dengan baik dan gunakan sesuai cerminan hati kamu ya.
Can’t wait to meet you :)
-Arjuna
Tulisan
pertama yang aku baca setelah aku bisa melihat kembali, bersamaan dengan satu
buket bunga mawar nan cantik yang menghiasinya. Sayangnya hadiah ini tak
diiringi dengan si pengirim, semenjak aku bisa melihat belum pernah sekalipun
Arjuna datang, hanya sebelum aku masuk ke ruang operasi dia menggenggam erat
tanganku.
Tak apa
mungkin Arjuna sibuk, pada saatnya nanti aku yakin dia pasti akan datang. Yang
harus aku lakukan saat ini adalah melanjutkan hidupku melalui mata baruku ini.
***
Seminggu
telah berlalu, rangkaian waktu yang begitu aku syukuri, aku bisa melakukan
aktifitas secara mandiri tanpa dibantu Papa maupun Mba Raisa, melihat semua
orang yang aku sayangi tersenyum padaku, sayangnya Arjuna belum juga datang
kerumah. Aku merasa gusar, kutanyakan pada Papa apakah beliau tahu kabar Arjuna
hasilnya nihil.
Sampai pada
suatu sore Papa mengajakku untuk ikut dengannya, Papa tak menjawab saat aku
bertanya kemana kita akan pergi begitu pula saat dijalan, sepi tanpa ada
obrolan.
Tiba aku
didepan ruang ICCU sebuah Rumah Sakit “Sayang, ada yang ingin bertemu dengan
kamu”
Kata Papa.
“Siapa Pa?”
tanyaku.
“Ayo ikut
Papa” Papa menggenggam tanganku dan mengajakku masuk keruangan itu.
Kulihat
seorang ibu bermata sayu tersenyum padaku dan Papa. 2 meter dari arah kami
tengah ada badan tergolek diatas blankart, tubuhnya ditopang oleh berbagai alat
medis yang menurutku begitu menyesakkan.
Papa
menggemgam kedua bahuku dan berbisik “Sapa Arjuna nak” kata Papa sambil
mengarah pada seseorang yang tergeletak itu.
Kata-kata
ARJUNA membuat jantungku terasa hampir berhenti, badanku lemas dan bergetar.
Aku mendekat,
kulihat tubuh yang terbalut alat-alat medis ini dari ujung kepala hingga ujung
kaki itu.
“Maaf Airin,
Arjuna belum sempat menengok kamu. Kondisinya menurun sejak seminggu yang lalu,
saat ini dia kritis. Tante minta Airin bantu doa ya” wanita tadi bersuara.
Air mata ini
seketika menetes, aku meraih tangan kekar yang tak berdaya ini, kutempelkan
pada pipiku dan benar memang dia Arjuna.
“Arjun kamu
kenapa, ini aku Airin” desahku. “Kenapa kamu justru seperti ini disaat aku
sudah mampu melihat kembali. Kenapa tak ada cerita ini disetiap cerita-cerita
darimu, kenapa kamu tidak membaginya padaku?” kuraba setiap jengkal wajahnya
yang tanpa cela sedikitpun sama seperti bayanganku dulu, kubelai rambut ikalnya
yang sudah kehilangan helai demi helai.
Rasanya tak
sanggup, sosok yang selama ini menguatkanku justru tak berdaya dalam koma.
Apalagi rasa cintaku pada Arjuna pun rasanya semakin menguat.
“Ayo jun
bangun, aku menunggu saat dimana kata cinta terikrar diantara kita” bisikku
dalam tangis.
***
Arjun
bertahan selama 2 jam saat tangan kami saling berpegang erat setelah itu Tuhan
memanggilnya. Berkali-kali kuingatkan diriku bahwa aku tak sedang bermimpi, air
mata pun belum mengering dari mataku ini. Bagaimana Tuhan bisa begitu cepat
memisahkan kami.
Sepulangnya
dari makam aku kembali kerumah Arjuna untuk bertemu dengan keluarganya. Duduk
dikursi meja makan sambil memegang foto Arjuna, seseorang yang tangisannya tak
kalah kencang denganku saat di pemakaman tadi. Seseorang yang parasnya mirip
dengan Arjuna. Ibundanya.
Saat mata
kami saling bertemu, beliau mendekat. Didekapnya aku dalam pelukannya erat.
“Selepas
Ayah dan Arjuna pergi, ibu hanya memiliki Ziza adik Arjuna. Ibu mencoba ikhlas
melepas Arjuna sekarang, terimakasih Airin berkat kamu Arjuna mampu semangat untuk
melawan penyakit yang selama 5 tahun ini menyiksa dirinya”
Aku menangis
dalam diatas bahu ibu Secha “Arjuna orang yang luar biasa bu, dia yang selama
ini menguatkan aku saat aku buta. Terimakasih pun rasanya tak cukup untuk
membalasnya. Aku yakin Tuhan menempatkan Arjuna ditempat terbaik”
“Kak Airin”
seseorang anak kecil berumur sekitar 7 tahun yang tak lain adalah Ziza menarik
bajuku dengan tangan mungilnya.
Dia
menyodorkan sebuah kunci, diarahkannya aku pada sebuah pintu. Lalu aku membuka
pintu tersebut dengan kunci tersebut.
Sebuah kamar
artistik yang kental akan karya-karya seni “Ini kamar kak Arjuna” kata Ziza.
Kupandangi
setiap sudut kamar, mataku terdiam pada sebuah lukisan besar. Kuperhatikan itu
adalah
sebuah
gambar diriku yang tengah duduk ditempat biasa kami bertemu, entah kapan dia
melukisnya. Lalu pada setiap karya seni yang lain banyak menampilkan
foto-fotoku dalam berbagai pose yang sekali lagi tanpa kutahu kapan dia
membidiknya.
“Arjuna
begitu mencintaimu Airin, mengenalmu sama seperti mendapat obat baru yang tak
pernah didapat dari obat-obat medis lainnya. Setiap hari dia bersemangat untuk
membuat karya seni baru dan itu selalu menyangkut kamu” kata ibu Secha. “Buket
bunga yang dikirim seusai kamu operasi sudah disiapkan 2 hari sebelumnya dan
dia sudah merencanakan kejutan, tapi sayang sebelum dia merealisasikan
kejutannya itu dia drop dan sampai akhirnya koma” kata ibu Secha lagi
terbata-bata.
“Ini adalah tulisan terakhir yang dia tulis”
ibu Secha menyodorkan sebuah diary
padaku, diary milik Arjuna.
Sebelum saat itu tiba, disaat yang tepat
maupun tidak tepat
Aku harap dia mampu melihat dunia dan
melihatku sebagai orang yang begitu mencintainya
Pun pada saatnya aku tak mampu bercerita,
biarlah terwakilkan lewat tulisan ini
Dalam perjalanan terjal yang aku lalui dalam
kanker ini, aku bertemu pada seberkas cahaya, dia duduk disebuah bangku dekat
danau.
Cukup lama untukku perhatikan, kuambil
gambar lewat kameraku, kupoles kuas untuk menyampaikan sosok dirinya dalam
lukisanku, sampai akhirnya aku berani mendekatinya.
Memang dia berbeda, dan itu yang membuat aku
jatuh cinta, cinta yang semakin hari semakin kuat kurasa.
Akankah bisa ia kumiliki, entahlah. Dunia
kadang lebih mampu menaklukkan kita yang sudah sedemikian berjuang ini.
Airin, dialah wanita yang bercahaya itu.
Tetesan air
mata ini rasanya mewakilkan bagaimana hatiku yang memang benar-benar mencintai
Arjuna tak salah karena diapun mencintaiku.
***
Satu bulan
sejak kepergian Arjuna, aku baru mampu menapaki kaki ini ke taman, ke sebuah
bangku dekat danau, tempat dimana pertama kali aku dan Arjuna bertemu.
Kusenandungkan
lirih lagu pertama kami “Melawan Dunia”
Meskipun
skenarionya berbeda, Arjuna telah kalah oleh dunia, tapi aku yakin kita mampu
bersatu dalam dunia lain. Tiba saatnya nanti Tuhan yang akan mengaturnya.
Lalu didunia
ini siapakah Arjuna? dialah Malaikat untuk Airin.
_a.d.a_
Comments
Post a Comment