Skip to main content

Cerpen: Malaikat untuk Airin


Aku menyambut hari dengan doa, cerahnya mentari dipagi ini tak bisa membuat kegelapanku pudar. entah sampai kapan aku terkurung dalam cobaan ini.

Papa sudah menungguku di meja makan, sebelum aku dituntun untuk duduk, seketika indra penciumanku merasakan bau yang tak terasa asing.
“Ada apa sayang?” tanya Papa kudengar.
Aku mulai mengkonsentrasikan diri dengan bau itu lalu tiba-tiba hilang “Paa, tadi Bima datang?” aku berbalik bertanya.
Kurasakan tangan Papa menyentuh lenganku dan menuntunku duduk “Hari ini belum ada satupun tamu yang berkunjung”
“Tapi aku bisa mencium bau parfum Bima Paa” jelasku sedikit menahan tangis.
Papa tak menjawab, dia justru mencium ubun-ubunku.

***

Seperti sore biasanya, aku duduk disebuah bangku dekat danau di taman, ditemani Pitcy kucing kesayanganku. Kusenandungkan lirih sebuah lyric lagu

Dan untuk kesekian kalinya aku takkan pernah lelah
Mengingat dan mengenang hal-hal akan dirimu
Tadi pagi disaat aku bersiap menyambut hari
Aku merasa indra penciumanku ini kuat menghirup aroma parfummu
Kukira kau datang dan lekas membuat kejutan
Tapi sepertinya itu hanya ilusiku
Seperti halnya Papa yang tak mampu menjawab pertanyaanku tentangmu

“Miauw” Pitcy melompat turun dari pahaku. Aku tersentak “Pitcy, kamu kemana? Kemari sayang” berulang-ulang kupanggil, Pitcy tak sedikitpun bersuara. Khawatir dia menghilang aku segera berdiri, namun tongkatku terjatuh. Sulit sekali aku menyusuri jalan tanpa tongkat tersebut, aku hanya mampu mengandalkan ingatan serta indra pendengarku agar aku tak salah arah, beberapa langkah kutapaki dengan lancar namun  aku tersandung batu didepanku. Aku terjatuh dan kurasakan rasa nyeri serta perih pada kedua lututku.

“Miauw” suara Pitcy kembali kudengar, kupanggilnya lagi.
“Mba, lutut mba kenapa? Mba jatuh?” kudengar suara laki-laki didepan wajahku beriringan dengan suara Pitcy. Laki-laki tersebut memapahku untuk berdiri dan menuntunku duduk kembali dibangku.
“Biar saya bantu mengobati luka mba yaa?” pintanya halus. Aku mengangguk.

***

Hari ini aku kembali ke taman, waktu dan suasana hati yang mengantarku tak pernah bosan untuk menghabiskan sore ditempat ini.

“Harmonisasi suara ditaman ini bagus ya?” suara seseorang membuyarkan lamunanku.
Aku mengarahkan pikiran serta ingatanku pada orang yang telah duduk disampingku ini.
“Kamu yang kemarin nolongin aku?” tanyaku menebak.
“Masih ingat ternyata, bagiamana lukamu? Jauh lebih baik kah?” balasnya.
Sudah lebih baik dari kemarin kok, Papa sudah membawa aku ke dokter. Sekali lagi terimakasih ya” ucapku.
“Sekali terimakasih juga sudah cukup kok” jelasnya.
Aku tersenyum. “Mengungkapkan kata-kata baik kan tidak ada batasnya. Lagipula kamu bukan hanya menolongku, tapi kamu juga menolong Pitcy, kucing kesayanganku”
“Aku menolong selagi aku bisa, ngomong-ngomong kamu sendirian? Kucing kamu mana?”
“Pitcy tadi ikut, tapi dia tertidur di mobil” jelasku.
Jadi kamu sendirian?”
“Aku kemari selalu bertiga kok, dengan Mang Arip supir aku dan Pitcy. Tapi kalopun sendiri  aku tak masalah bagiku, siapa juga yang mau berteman dengan wanita buta sepertiku”
“Siapa bilang, aku mau kok jadi teman kamu. Perkenalkan nama aku Arjuna” kemudian dia meraih tanganku lalu kami berjabat tangan.
Namaku Airin” balasku. Aku yang awalnya hendak meneteskan mata, mengurungkan niat.
“Kamu mau mendengar salah satu harmonisasi musik yang indah tidak?” sebelum aku menjawab, Arjuna langsung memasangkan headphonenya padaku.
Kurang lebih 2 menit waktu kulalui dengan terbuai dalam musik instrumental yang teriring apik dalam balutan berbagai alat musik. Tak berapa lama Arjuna melepas headphone ini.
Bagaimana menurut kamu, bagus?” tanya Arjuna.
Aku menjawabnya dengan anggukan “Kamu suka musik?”
“Iya aku suka, karna musik bisa menjadi teman. Teman yang ada tanpa lelah datang saat kita butuh. Kamu sendiri?” tanya Arjuna padaku.
“Aku juga suka, tapi itu dulu saat lagu I want to Spend my Lifetime bisa aku dengarkan bersama dengan seseorang” air mata ini mulai menetes.
“Wah tak seberapa lama, aku sudah mampu membuat anak orang menangis sepert ini” Arjuna merasa tak enak hati padaku.
“Bukan gara-gara kamu kok” air mata ini terus menetes, sulit sekali untuk kubendung.
“Aku rasa kamu punya sesuatu yang tidak mampu kamu tahan, semacam beban. Kamu tahu, beban itu akan terasa ringan saat kita bagi dengan orang lain. Selagi kamu bisa dan mampu, ceritakan”

Pada sebuah kisah dua sejoli yang telah lama menjalin kasih bertemu pada suatu titik dimana hubungan mereka menemui sebuah badai, salah satu diantara mereka sepertinya berkhianat. Sang wanita ingin membuat badai itu pergi. Sampai tiba pada suatu siang yang terik, wanita tersebut mengalami kecelakaan saat mengendarai mobil menuju rumah lelakinya. Kenyataan pahit lagi harus dialami si wanita saat dia harus rela cacat dan ditinggal pergi entah kemana oleh lelakinya itu    
“Biar aku tebak, perempuan itu pasti mampu menghadapi semuanya”
“Tahu darimana? sok tahu” cibirku.
“Aku tahu, karna Tuhan ngga akan pernah kasih ujian diluar batas kemampuan umatnya. Aku yakin perempuan itu pasti mampu untuk bangkit. Aku juga pernah menjadi bagian dari dunia yang kejam ini, sampai aku berpikir saat itu adalah awal dari penderitaan-penderitaanku selanjutnya. Aku terkurung dalam keputus-asaan cukup lama, sampai pada akhirnya aku bertemu pada sebuah titik pula bahwa aku masih memiliki Tuhan dan keluarga. Mereka adalah cahaya dalam kegelapaanku”
Terang Arjuna.
“Tapi setiap orang berbeda pun dengan masalah yang menimpa mereka, aku marah pada Tuhan. Kenapa Dia tak cabut saja nyawaku saat itu, kenapa dia harus menyiksaku dalam kebutaan ini” kesalku.
“Aku percaya selalu ada cehaya yang terang dalam setiap gelapnya hidup kita, mungkin hanya butuh waktu agar cahaya yang masih temaram itu memancarkan sinarnya” ada suntikkan energi dari ucapan yang dilontarkan Arjuna.
“Yang aku lakukan saat itu adalah bangkit dan tantang dunia, mungkin kita lemah tapi kami tak semudah untuk kau lumpuhkan” Arjuna berteriak, mungkin saat ini seisi orang yang ada disekitar kami melihat Arjuna.
”Arjuna, jangan teriak-teriak seperti itu. Malu sekarang kita pasti banyak orang melihat kita” kataku sambil menarik lengan Arjuna untuk duduk.
“Hahaha, ini salah satu cara kita untuk membuktikan pada dunia” jawab Arjuna santai, pada akhirnya aku pun ikut tertawa.
“Rin, menurut kamu musik instrumental tadi baguskah jika kita membuat lyricnya?”
“Sepertinya bagus Arjuna”
“Nah, sekarang kita buat lyricnya bersama, lalu kita isi suaranya juga, dan kita upload ke soundcloud
“Aku tidak bisa menyanyi Arjuna”
“Suara kamu bagus Airin”
“Tahu darimana?”
“Kemarin aku mendengar kamu bernyanyi saat bersama Pitcy”
“Kamu nguping ya?”
“Hahaha”

Melawan Dunia

Tapak Kaki tak Pernah lancar dilalui
Segala punya daya dan kekuatannya sendiri
Kita pernah jatuh dan terpuruk
Dunia tersenyum saat kita menangis
Tapi air mata ini hanya berjalan dalam detik lalu kami menghapusnya
Kami berdiri dalam kepercayaan, kami mampu, kami bisa Melawan Dunia
Dunia kejam, kita lawan.
Dunia kuat, kita harus lebih kuat
Melawan Dunia

***

Dua suara dengan dua nada berbeda melebur dalam satu bait lagu sederhana. Arjuna memang lelaki yang berbeda, hari ini dia datang kerumah bersama temannya untuk mendesain laptopku agar bisa digunakan oleh orang yang buta. Dia ingin aku bisa lebih mudah bercerita segala keluh kesahku pada tulisan agar aku tak terus mendapat beban dan terkurung dalam kepahitan masa lalu.

Di dalam sebuah obrolan antara Papa Yuda dan Arjuna   
“Kalian sudah lama kenal” tanya Papa Yuda.
“Baru satu minggu ini om” jawab Arjuna sopan.
“Om senang karna Airin bisa memiliki teman baru, pasca kecelakaan Airin menutup diri pergaulan. Om harap kalian bisa berteman baik, buat Airin senang ya nak Arjuna” pesan Papa Yuda.
“Saya akan berusaha om” jawab Arjuna sambil mengangguk.
“Jangan menjadi pria pecundang layaknya Bimantara yang telah membuat Airin seperti itu. 6 tahun om menyekolahkan Airin di Luar Negeri agar dia bisa melupakan kepergian Ibu serta kakaknya, setelah itu dia pulang dan bertemu dengan Bima. Setahun lebih mereka bersama, om pikir Bima memang tepat bersanding dengan Airin. Namun dia justru pergi tanpa pesan dan tak sedikitpun menengok keadaan Airin yang seperti saat ini” Air mata Papa Yuda menetes. “Airin mengalami depresi yang cukup lama, om hanya bisa membantunya dengan kasih sayang dan bantuan-bantuan para ahli medis. Airin berubah menjadi pemurung dan mudah rapuh” nada suara Papa Yuda tertahan. “Seandainya om bisa memilih, biarlah om yang sakit, jangan Airin yang masa depannya masih panjang” ratapan seorang Ayah yang begitu menyayangi anaknya ini membuat hati Arjuna berdesir.

***

“Untuk tujuan apakah kita diciptakan hanya Tuhan yang tahu, tapi saat kita bisa berguna bagi orang lain. Itulah jawabannya” Arjuna membaca sebuah kutipan kecil dari seorang motivator.

Aku yang sedikit demi sedikit mampu membaca huruf braile pun menyambungnya “Pandanglah langit dan ucapkan Syukur”

“Hidup seorang motivator itu begitu damai yaa, masalah itu ibarat kertas permen yang dirasakan hanya berapa detik lalu hilang” celoteh Arjuna.
“Jun, langit pagi ini seperti apa?” tanyaku.
“Hmmm, gradasi warna antara birunya langit, putihnya awan, dan teriknya matahari cukup bagus” jawab Arjuna mantap.
   
Aku mencerna penjelasan Arjuna tadi, membayangkan bagaimana langit tergambar dalam pikiranku. Tak terasa aku teringat akan sebuah moment “Aku merindukan saat-saat itu Bim” ucapku lirih.
“Ada apa Rin?” suara Arjun mendekat.
“Dulu aku dan Bima sering menghabiskan hari bersama untuk memandangi ciptaan Tuhan itu” jawabku.
Kubiarkan air mata ini terus menetes dan rasa kerinduan bercampur sakit hati melingkupi diriku.

Tak lama ada sebuah tangan yang menyentuh tanganku, membantuku untuk memegang sesuatu seperti benang.
“Nah, sekarang pegang balon-balon ini erat” kata Arjuna.
“Untuk apa?” tanyaku bingung
“Agar kamu bisa menyampaikan kerinduan kamu itu pada langit, biarlah balon-balon itu terbang menyongsong setiap sudut langit sebagai pesan darimu”
Air mataku seketika berhenti dan berubah menjadi senyuman. Aku berdiri dibantu Arjuna dan menerbangkan semua balon yang ada digenggamanku bersama.

***

“..Kumohon Padamu jangan sembunyi, sembunyi dari apa yang terjadi..
Kau acuhkan aku, kau diamkan aku, kau tinggalkan aku..”

Lumpuhkan Ingatanku, sebuah lagu yang kudengarkan malam ini. Lagi dan lagi aku ingin menghilangkan semua ingatan bahkan memori yang ada otak serta hatiku tentang seseorang yang telah pergi dariku.

“Belum tidur sayang?” suara Papa terdengar dari arah pintu.
“Belum Paa” jawabku. “Pa, apakah selamanya aku akan hidup dalam gelap seperti ini”
“Tidak sayang, yakinlah semua ini hanya sementara. Dokter dan Pihak Rumah Sakit sedang berupaya mencari pendonor mata yang cocok untuk kamu”
“Tapi mungkin aku harus siap menghadapi kenyataan buruk sekalipun Paa”
“Jangan seperti itu nak, Papa selalu ingin yang terbaik untuk kamu. Kita harus berusaha sayang” pinta Papa.
Aku menjawab dengan anggukan “Paa ada yang ingin aku tanyakan, seandainya Papa menemui seorang wanita buta dan Papa mencintainya, apa Papa akan perjuangkan dia untuk bisa menjadi milik Papa?” tanyaku.
“Kenapa kamu bertanya seperti ini sayang?”
“Aku mencari lelaki seperti ini Pa, memang aku berbeda. Tapi dari perbedaan ini aku mencari orang yang benar-benar tulus padaku”
Papa memelukku, erat, dan kurasakan tetesan air mengalir didahiku. Mungkin itu air mata Papa.
“Kamu ingat orang baik pasti akan mendapatkan jodoh orang baik pula. Kamu itu luar biasa sayang, pasti akan ada lelaki yang luar biasa pula yang pantas mendampingi kamu”
Aku tertegun dengan jawaban Papa, air mataku pun menetes.

***

Di Minggu Pagi yang hangat aku telah berdandan rapi dengan half skirt serta denim vest yang membalut tubuhku. Dibantu dengan Mba Raisa asistenku, kupoles sedikit wajah dan rambutku.
Aku dan Arjuna berpamitan pada Papa, lalu Arjun memacu mobil segera.

Di tempat yang sama saat 3 bulan lalu kami bertemu untuk pertama kalinya.
“Waktu tak pernah terasa lama, rasanya baru kemarin kita bertemu” ucap Arjuna.

Aku tersenyum saat membayangkan moment pertemuan pertama kami.
“Arjuna. Kenapa kamu mau jadi temanku?”
“Mencari teman sama seperti saat kita harus tersenyum kepada orang baru. Mudah, yang sulit adalah saat kita meyakini apakah teman yang kita pilih itu adalah orang baik. Dan kenapa aku bersedia menjadi teman kamu” Arjun menggantung ucapannya, tak lama tangan kananku terasa tengah dipegang dan ada tangan lain yang tengah menjabatnya kuat “Karna kamu pantas untuk menjadi teman siapapun termasuk aku”

Iya Arjuna memang layaknya teman yang dikirim Tuhan untukku, aku selalu merasa nyaman saat bersamanya. Dia selalu menjadi dirinya sendiri.
Jepret, suara yang kudengar mirip seperti suara flash kamera.
So natural
“Arjun, tadi kamu memotret?”
“Iya, dan objeknya adalah kamu”
“Kamu itu sebenarnya mahasiswa seni atau candid?” rengekku.
“Aku suka mengabadikan setiap moment yang berjalan dalam detik, itulah gambaran dari Kuasa Tuhan” jelas Arjuna.
“Apakah semua Kuasa Tuhan yang kau abadikan itu indah?”
“Semua ciptaan Tuhan itu indah, sekecil apapun itu memiliki arti dan guna”

Dan lagi Arjuna, setiap kata yang dia ucapkan sederhana namun bagiku tiap kata yang kudengar adalah sebuah hal luar biasa.

Cukup siang sampai akhirnya rasa lapar pun datang, kami memakan bekal yang dibawa Arjuna, masakan sang ibunda.
“Kamu bisa Rin?” tanya Arjuna saat memberikan piring padaku.
“Bisa, tapi sedikit maklum. Aku akan menghabiskan banyak waktu saat makan” jujurku.
“Ya sudah, biar aku menyuapi kamu?” tawar Arjuna.
“Jangan, nanti makanan kamu?”
“Doakan saja aku mampu multasking dalam hal makan, setelah memberikan kamu suapan, aku juga ambil makananku”

Akhirnya kami pun makan bersama dengan Arjuna yang dengan sabar dan telaten menyuapiku.

"..I won't give up on us
Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up, still looking up.

Well, I won't give up on us (no I'm not giving up)

God knows I'm tough enough (I am tough, I am loved)
We've got a lot to learn (we're alive, we are loved)
God knows we're worth it (and we're worth it)

I won't give up on us

Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up.."

Petikan gitar terakhir sebagai tanda lagu telah usai terdengar, ini kali kedua kami bernyanyi bersama.
Aku bertepuk tangan dengan ceria.

“Arjun, kita kan sudah berteman lama. Aku penasaran kamu itu seperti apa”
“Mmm, kamu tahu Nobita?”
“Tahu, kamu mirip dia?”
“Tidak juga, aku itu limited edition
“Terlalu percaya diri, lagipula aku pernah dengar jika setiap manusia itu memiliki 7 kembaran didunia”
“Iya aku juga pernah baca, tapi meskipun kita memiliki kembaran sebanyak itu. Apa yang ada dihati, pikiran, serta sifat itu tidak ada yang sama. Sama halnya sidik jari setiap manusia, tak pernah ada yang sama” kata Arjuna mantap
 Sekarang coba kamu raba wajah aku, kamu bayangkan setiap jengkal pemberian Tuhan yang ada padaku” Arjuna menarik kedua tanganku, dan membiarkan aku meraba wajahnya. Kuraba alisnya yang terasa tebal, kelopak matanya, hidungnya yang cukup mancung, kuraba pula rambut Arjuna yang pendek.
Kami melanjutkan hari dengan berjalan-jalan menggunakan sepeda yang sengaja Arjuna bawa.

***

“Selamat Pagi Airin” suara Arjuna diujung telepon pagi ini.
“Selamat Pagi juga Arjun” balasku.
“Airin maaf ya, sepertinya hari ini kita tidak jadi pergi”    
“Kenapa?”
“Ada sesuatu hal yang tidak bisa aku tinggal” terdengar pula suara batuk dari Arjun.
“Kamu sakit jun?”
“Tidak, memang kamu pernah membayangkan seorang Arjun sakit dan sampai membatalkan sesuatu?”
“Kamu orang yang kuat, sekuat kamu menguatkan aku” tegasku.
Sambungan telepon ditutup dengan pesan “Have a nice day too” dariku.
Ada sedikit rasa jengkel dalam diriku karna kami tak bisa bertemu hari ini. Entah bagaimana aku begitu merindukan sosok Arjuna padahal kemarin kita sudah menghabiskan waktu bersama.

Ada pertanyaan menarik yang saat ini menggelayutiku, apakah aku mencintai Arjuna? Entah. Yang jelas saat aku bersamanya, aku lupa rasa sakit hatiku tentang Bima. Sama halnya saat Papa bercerita bahwa Arjuna lelaki yang baik dan aku beruntung bertemu dengannya.

***

Aku mengucap syukur tak terhingga ketika Dokter menghubungi Papa bahwa telah ada pendonor mata untukku. Setelah penantian 1 tahun, harapan untukku melihat dunia kembali kini terasa nyata. Tak lupa akupun memberitahu kabar bahagia ini pada Arjuna.

Dibangku taman biasa kami bertemu aku menceritakan semuanya. Arjuna menjabat tanganku dan sedikit mengacak-acak rambutku sebagai ucapan selamat darinya.

“Setiap do’a yang dipanjatkan secara tulus pasti ada jawabannya” kata Arjuna.
“Iya, Tuhan itu begitu baik padaku” jawabku.
“Sama halnya kenapa Tuhan menciptakan hari ini diantara hari kemarin dan hari esok, kamu tahu?”
“Kenapa?”
“Alasannya, agar kita bisa memetik segala pengalaman hidup di hari kemarin untuk dijadikan pelajaran dihari ini agar kita menjadi manusia yang selalu memperbaiki diri di hari esoknya” terang Arjuna.
 “Aku menyukai filosofis itu” jawabku dalam senyum “Jun”
“Iya Rin” jawab Arjun sambil terbatuk.
“Saat aku dioperasi nanti kamu mau menemaniku? Jadilah salah satu orang yang kulihat saat aku membuka perban nanti” pintaku.
Masih sedikit terbatuk “Iya Rin, aku akan berusaha”
Kucari tangan Arjun disisi kananku. Kugenggam dan kurasakan tangannya begitu dingin “Aku senang jun bisa jadi mengenalmu”

***

Masih kuingat saat pertama kali kubuka mata namun hanya kegelapan yang aku lihat, kurasa mataku ini sudah benar-benar terbuka, kuulangi lagi namun hasilnya tetap sama aku melihat kegelapan. Saat itu pula aku berpikir ini adalah mimpi, dan memang mimpi buruk yang menjadi nyata.

Dan itu dulu, untuk saat ini, ketika perban yang menutupi mataku dibuka kulihat ada kilau yang begitu terang mulai terpancar dalam penglihatanku, semakin lama semakin jelas ada sesuatu yang bisa terlukis dari mataku, dan kini kulihat seseorang yang begitu aku cintai “Papa”

Iya operasi yang kulakukan pun berhasil, sesukses aku dapat menggunakan indra penglihatanku kembali.
Aku, Papa, dan semua yang berada diruangan mengucap syukur tiada henti atas Berkah ini.

***

Selamat Melihat Dunia kembali Airin
Jaga Anugerah itu dengan baik dan gunakan sesuai cerminan hati kamu ya.
Can’t wait to meet you :)

-Arjuna

Tulisan pertama yang aku baca setelah aku bisa melihat kembali, bersamaan dengan satu buket bunga mawar nan cantik yang menghiasinya. Sayangnya hadiah ini tak diiringi dengan si pengirim, semenjak aku bisa melihat belum pernah sekalipun Arjuna datang, hanya sebelum aku masuk ke ruang operasi dia menggenggam erat tanganku.

Tak apa mungkin Arjuna sibuk, pada saatnya nanti aku yakin dia pasti akan datang. Yang harus aku lakukan saat ini adalah melanjutkan hidupku melalui mata baruku ini.

***

Seminggu telah berlalu, rangkaian waktu yang begitu aku syukuri, aku bisa melakukan aktifitas secara mandiri tanpa dibantu Papa maupun Mba Raisa, melihat semua orang yang aku sayangi tersenyum padaku, sayangnya Arjuna belum juga datang kerumah. Aku merasa gusar, kutanyakan pada Papa apakah beliau tahu kabar Arjuna hasilnya nihil.

Sampai pada suatu sore Papa mengajakku untuk ikut dengannya, Papa tak menjawab saat aku bertanya kemana kita akan pergi begitu pula saat dijalan, sepi tanpa ada obrolan.

Tiba aku didepan ruang ICCU sebuah Rumah Sakit “Sayang, ada yang ingin bertemu dengan kamu”
Kata Papa.
“Siapa Pa?” tanyaku.
“Ayo ikut Papa” Papa menggenggam tanganku dan mengajakku masuk keruangan itu.

Kulihat seorang ibu bermata sayu tersenyum padaku dan Papa. 2 meter dari arah kami tengah ada badan tergolek diatas blankart, tubuhnya ditopang oleh berbagai alat medis yang menurutku begitu menyesakkan.

Papa menggemgam kedua bahuku dan berbisik “Sapa Arjuna nak” kata Papa sambil mengarah pada seseorang yang tergeletak itu.
Kata-kata ARJUNA membuat jantungku terasa hampir berhenti, badanku lemas dan bergetar.
Aku mendekat, kulihat tubuh yang terbalut alat-alat medis ini dari ujung kepala hingga ujung kaki itu.
“Maaf Airin, Arjuna belum sempat menengok kamu. Kondisinya menurun sejak seminggu yang lalu, saat ini dia kritis. Tante minta Airin bantu doa ya” wanita tadi bersuara.

Air mata ini seketika menetes, aku meraih tangan kekar yang tak berdaya ini, kutempelkan pada pipiku dan benar memang dia Arjuna.
“Arjun kamu kenapa, ini aku Airin” desahku. “Kenapa kamu justru seperti ini disaat aku sudah mampu melihat kembali. Kenapa tak ada cerita ini disetiap cerita-cerita darimu, kenapa kamu tidak membaginya padaku?” kuraba setiap jengkal wajahnya yang tanpa cela sedikitpun sama seperti bayanganku dulu, kubelai rambut ikalnya yang sudah kehilangan helai demi helai.

Rasanya tak sanggup, sosok yang selama ini menguatkanku justru tak berdaya dalam koma. Apalagi rasa cintaku pada Arjuna pun rasanya semakin menguat.
“Ayo jun bangun, aku menunggu saat dimana kata cinta terikrar diantara kita” bisikku dalam tangis.

***

Arjun bertahan selama 2 jam saat tangan kami saling berpegang erat setelah itu Tuhan memanggilnya. Berkali-kali kuingatkan diriku bahwa aku tak sedang bermimpi, air mata pun belum mengering dari mataku ini. Bagaimana Tuhan bisa begitu cepat memisahkan kami.

Sepulangnya dari makam aku kembali kerumah Arjuna untuk bertemu dengan keluarganya. Duduk dikursi meja makan sambil memegang foto Arjuna, seseorang yang tangisannya tak kalah kencang denganku saat di pemakaman tadi. Seseorang yang parasnya mirip dengan Arjuna. Ibundanya.
Saat mata kami saling bertemu, beliau mendekat. Didekapnya aku dalam pelukannya erat.
“Selepas Ayah dan Arjuna pergi, ibu hanya memiliki Ziza adik Arjuna. Ibu mencoba ikhlas melepas Arjuna sekarang, terimakasih Airin berkat kamu Arjuna mampu semangat untuk melawan penyakit yang selama 5 tahun ini menyiksa dirinya”
Aku menangis dalam diatas bahu ibu Secha “Arjuna orang yang luar biasa bu, dia yang selama ini menguatkan aku saat aku buta. Terimakasih pun rasanya tak cukup untuk membalasnya. Aku yakin Tuhan menempatkan Arjuna ditempat terbaik”

“Kak Airin” seseorang anak kecil berumur sekitar 7 tahun yang tak lain adalah Ziza menarik bajuku dengan tangan mungilnya.
Dia menyodorkan sebuah kunci, diarahkannya aku pada sebuah pintu. Lalu aku membuka pintu tersebut dengan kunci tersebut.

Sebuah kamar artistik yang kental akan karya-karya seni “Ini kamar kak Arjuna” kata Ziza.
Kupandangi setiap sudut kamar, mataku terdiam pada sebuah lukisan besar. Kuperhatikan itu adalah
sebuah gambar diriku yang tengah duduk ditempat biasa kami bertemu, entah kapan dia melukisnya. Lalu pada setiap karya seni yang lain banyak menampilkan foto-fotoku dalam berbagai pose yang sekali lagi tanpa kutahu kapan dia membidiknya.

“Arjuna begitu mencintaimu Airin, mengenalmu sama seperti mendapat obat baru yang tak pernah didapat dari obat-obat medis lainnya. Setiap hari dia bersemangat untuk membuat karya seni baru dan itu selalu menyangkut kamu” kata ibu Secha. “Buket bunga yang dikirim seusai kamu operasi sudah disiapkan 2 hari sebelumnya dan dia sudah merencanakan kejutan, tapi sayang sebelum dia merealisasikan kejutannya itu dia drop dan sampai akhirnya koma” kata ibu Secha lagi terbata-bata.

 “Ini adalah tulisan terakhir yang dia tulis” ibu Secha menyodorkan sebuah diary padaku, diary milik Arjuna.

Sebelum saat itu tiba, disaat yang tepat maupun tidak tepat
Aku harap dia mampu melihat dunia dan melihatku sebagai orang yang begitu mencintainya
Pun pada saatnya aku tak mampu bercerita, biarlah terwakilkan lewat tulisan ini
Dalam perjalanan terjal yang aku lalui dalam kanker ini, aku bertemu pada seberkas cahaya, dia duduk disebuah bangku dekat danau.
Cukup lama untukku perhatikan, kuambil gambar lewat kameraku, kupoles kuas untuk menyampaikan sosok dirinya dalam lukisanku, sampai akhirnya aku berani mendekatinya.
Memang dia berbeda, dan itu yang membuat aku jatuh cinta, cinta yang semakin hari semakin kuat kurasa.
Akankah bisa ia kumiliki, entahlah. Dunia kadang lebih mampu menaklukkan kita yang sudah sedemikian berjuang ini.
Airin, dialah wanita yang bercahaya itu.

Tetesan air mata ini rasanya mewakilkan bagaimana hatiku yang memang benar-benar mencintai Arjuna tak salah karena diapun mencintaiku.

***

Satu bulan sejak kepergian Arjuna, aku baru mampu menapaki kaki ini ke taman, ke sebuah bangku dekat danau, tempat dimana pertama kali aku dan Arjuna bertemu.

Kusenandungkan lirih lagu pertama kami “Melawan Dunia”
Meskipun skenarionya berbeda, Arjuna telah kalah oleh dunia, tapi aku yakin kita mampu bersatu dalam dunia lain. Tiba saatnya nanti Tuhan yang akan mengaturnya.

Lalu didunia ini siapakah Arjuna? dialah Malaikat untuk Airin.     
     


_a.d.a_

Comments

Popular posts from this blog

Happy Batik Day

source: http://www.pinterest.com/jojomiro/batik-et-peinture-sur-soie/ Teruslah menjadi warisan budaya yang tak pernah lekang oleh zaman.. Aku bangga Batik Indonesia _a.d.a_

Cerita Kota Kelahiran: PURWOKERTO Part #1 SEJARAH

source: www.banjoemas.com Setelah hampir 23 tahun lahir dan besar di kota ini, aku ngerasa perlu banget buat cerita tentang kota dengan julukan Kota Ngapak ini secara lebih mendetail disini. Dulu sebelum memutuskan untuk berkuliah di luar kota dan akhirnya meninggalkan jejak di kota lain selama hampir 4 tahun akhirnya bisa ngerasain yang namanya “Kangen Kota Kelahiran”, karena semewah dan semenarik apapun kota perantauan, masih tetap ngangenin kota sendiri. Okay kali ini aku akan cerita kota Purwokerto dari sisi sejarahnya dulu. Nama Poerwakerta atau Purwakerta diambil dari kata "Purwa" yang konon diambil dari nama sebuah negara kuna di tepan Sungai Serayu "Purwacarita" yang bermakna "Permulaan" dan "Kerta" yang diambil dari nama ibukota kadipaten "Pasir" yaitu "Pasirkertawibawa" yang bermakna "kesejahteraan" sehingga Poerwakerta bermakna Permulaan Kesejahteraan. Kota ini merupakan salah satu ko

Cerpen : MATEMATIKA ?? Aaarrrgghhh !!!

MATEMATIKA ?? Aaarrrgghhh !!! “Mami udah berapa kali bilang sama kamu. Belajar !, Belajar !, Belajar !. apalagi kalo ulangan, kamu harus lebih giat lagi”. Inilah kata-kata pertama yang Mami ucapkan sesaat setelah aku masuk ke dalam mobil. Dan aku langsung meyakini bahwa ini adalah sebuah prolog untuk sebuah cerita yang panjang dan berakhir dengan ‘sad ending’ . “Ulangan matematika dapet 5, kamu gak bosen apa tiap kali ulangan matematika dapet ‘doremi’ ?” lagi belum sempat aku menjawab. “Mami harus gimana lagi nak, les matematika udah, guru privat juga udah, buku-buku matematika udah berjibun Mami beliin di rumah. Kurang apalagi coba ?. Ooh, apa Mami harus bawa kamu ke Psikiater biar kamu bisa pelajaran matematika ?” semua omelan mengucur deras dari mulut Mami. Dan aku udah gak bisa nahan untuk gak jawab, apalagi untuk kata-kata terakhir Mami tadi. “Aduhh!, Mami lebay banget siy sampe segitunya. Lagipula Ran ada peningkatan kok Mam, buktiny