Skip to main content

Dari Balik Jendela: Cerminan Masa



­­­

Sore ini aku begitu lelah menjalani pekerjaanku. Setelah pintu rumah kubuka, aku langsung melangkahkan kaki menuju dapur mengambil air minum untuk kutenggak. Di pintu kulkas kutemui sepucuk surat untukku.

Dear Daisy

Dy, Mama sama Papa hari ini pergi ke rumah di puncak. Selama kami pergi, kamu jaga diri dan jaga rumah baik-baik ya nak.

                                                                                                                                     Mama

Pikiranku langsung tertuju pada rumah sederhana yang pernah aku tempati semasa aku kecil dulu, aku tahu ada cerita yang membawaku sampai saat ini. Kucari sesuatu didalam lemari penyimpanan kamarku, tak lama kutemukan kardus yang menjadi tujuanku.

Majalah Anak-anak, begitu banyak koleksi yang kumiliki, dan sudah begitu banyak pula cerita serta rubrik yang aku baca. Kuambil beberapa majalahnya, lalu melangkahkan kaki ini kebalik jendela didalam kamarku.

***

Sabtu sore, seusai pulang dari les matematika aku pasti berdiri dibalik jendela ruang tamu rumahku. Tak lama datang kakak pengantar Majalah yang sedari tadi kutunggu.

“Dek, ini majalahnya. Dibaca diwaktu senggang yaa, jangan saat kamu mengerjakan PR” perintahnya.
“Iya kak terimakasih” Kakak itu pun berpamitan dan melambaikan tangan disertai senyum hangat sebelum pergi dengan motornya.

Setelah majalah yang setiap minggunya aku dapat itu, aku tak sedikitpun melewatkan waktu untuk membacanya. Mama yang memang menginginkan aku mengisi hari Minggu dengan membaca tak sedikitpun membuatku bosan. Aku selalu bersemangat mengkoleksi tiap edisinya, aku bahkan masih menyimpan beberapa hadiah di setiap edisi spesial. Tas mungil berwarna Pink yang diberikan kakak pengantar Majalah saat aku mendapat juara umum disekolah pun masih rapi kusimpan, kebiasaanku terhenti ketika Papa dan Mama mengajakku pindah rumah mengikuti pekerjaan Papa. Di usiaku saat itu yang akan memasuki Sekolah Menengah Pertama, aku merasa kehilangan dan begitu merindukan seseorang yang kusebut Kakak Pengantar Majalah.

***

Aku membuka chat dilaptopku, tak lama ada yang menyapaku.

The Good Listener
Sepi..

Aku membalasnya,
Dy_
Saat yang tepat mengingat masa lalu.

The Good Listener
Mengingat apa yang sudah disebut kenangan?

Dy_
Cuma bikin galau, entah kapan move on.

The Good Listener
As you know my nick name, just because to make your problem going to be better, so I’m ready.

Dy_
“Kakak Pengantar Majalah” mungkin bisa disebut cinta pertama gue, dia bikin gue selalu inget sampe sekarang.

The Good Listener
Wah namanya panjang, semacam cinta monyet  ?

Dy_
Bukan, cinta tak tersampaikan. Gue suka sama dia sejak SD gitu, awkward emang tapi itu kenyataannya. Tapi dari dia gue bisa jadi kaya sekarang.

The Good Listener
Seberapa besar pengaruhnya?

Dy_
Dia sering kasih wejangan, baca majalahnya tiap gue senggang aja yaitu hari Minggu. Disaat gue harus belajar gue mesti belajar, dari sana gue selalu dapet juara umum disekolah. Saat dia tanya cita-cita gue apa, gue jawab pengen jadi dokter  dan cita-cita itu pun kesampean.

The Good Listener
Wah, udah ucapin terimakasih belum tuh?

Dy_
Mana sempet, gue udah keburu pindah rumah. Jauh dari rumah lama gue pula.

The Good Listener
Jadi ngga kesampeannya disitu? *mangut-mangut* Lu udah coba cari cinta pertama lu itu?

Dy_
Belum.

The Good Listener
Kenapa?

Dy_
Rumit caranya, ngga tau gimana juga :(

ID The Good Listener yang sering jadi tempat curhat untukku pun telah mengerti ceritaku. Kakak pengantar Majalah apakah kamu tahu?
***
“Dokter Daisy, sudah siap praktek untuk hari ini Dok?” tanya suster  Ayla padaku.
“Iya saya siap suster Ayla” jawabku sambil tersenyum simpul.

Kembali aku berkutat dengan setiap pasien yang ada, lelah memang tapi semua itu luntur ketika pasien-pasien yang aku periksa dan aku berikan resep obat dapat sembuh dengan segera dan mereka kembali tersenyum.

Sebelum aku pulang, aku dikagetkan oleh anak kecil yang menarik blazer dokterku.
“Dokter, dokter” ucapnya polos.
“Iya sayang ada apa?” tanyaku.
Dia menunjukkan bonekanya padaku “Pika sakit dokter, ditangannya ada luka”
Aku mengamati jahitan boneka kelinci yang sedikit rusak dibagian lengannya.
“Dokter, obatin Pika dokter. Kasihan” pintanya merengek.
Aku tersenyum melihat kepolosan anak ini.

“Tara” seseorang memanggil dari kejauhan.
“Papaaa!” teriak anak kecil itu. Lalu ayahnya mendekat pada kami.
“Maaf dok, Tara sudah menganggu waktu dokter” kata ayah Tara tak enak hati padaku.
“Tidak apa-apa Pak, kalau bapak tidak keberatan biar saya menjahit boneka Tara yang rusak” kataku.
“Emm tidak perlu dok terimakasih, biar saya saja yang menjahitnya” tolak ayah Tara halus.
Beliau pun pamit dan bergegas pergi dariku.
***
Tak seperti biasanya, hari ini aku menghabiskan waktu diruang praktekku lebih senggang, tak banyak pasien hari ini. Syukurlah, jika seperti itu. Tak banyak orang merasa sakit atau kesakitan.

Tiba-tiba pintu ruanganku terbuka tanpa ada yang mengetuk terlebih dahulu. Seorang anak kecil yang tak asing bagiku masuk sambil berjalan dengan sedikit kesulitan, saat aku melihatnya dia menaruh jari mungilnya didepan bibir mengisyaratkan agar aku tidak berisik. Aku pun menurut.

Di luar kudengar ada seseorang yang memanggil-manggil nama Tara. Anak kecil dalam ruanganku yang tak lain adalah Tara mendekatiku.
“Dokter jangan kasih tau Papa yaa kalo aku disini” katanya polos.
Pintu ruanganku diketuk, dan aku menyuruh seseorang diluar sana agar masuk. Tara cepat menyembunyikan dirinya dibalik badanku.

Orang tersebut adalah Papa Tara beliau menyapaku karena masih mengingatku tempo hari.
“Maaf dok, saya mengganggu pekerjaan dokter”
“Tidak apa-apa pak, kebetulan saya sedang tidak ada pasien”
Tanpa berkata, Papa Tara menunjukkan boneka kesayangan Tara padaku. Mengisyaratkan agar aku memberi tahu dimana anaknya berada.
Karna aku tahu, Tara akan marah jika aku memberitahu Papanya. Aku pun memberi isyarat dengan ibu jariku untuk menunjuk dimana Tara berada.

Papa Tara berjalan mendekat padaku.
“Dor, Papa temuin kamu sayang” Papa Tara mengangetkan anaknya.
Mereka berdua tertawa bersama.
***
Sore yang nyaman untuk menghabiskan waktu di cafe sambil menikmati makanan kecil, aku tak sendiri tapi bersama laptopku. Sibuk berkomunikasi dengan orang-orang yang jauh dari sisiku.

The Good Listener
Santai..

Dy_
Menikmati sore

The Good Listener
Enak dihabiskan di sebuah tempat sambil menikmati makanan kecil

Dy_
Cafe? Tentu saja

The Good Listener
Posisi kita sama, gue  juga di cafe

Dy_
Really? Dimana kah?

The Good Listener
Be Cafe

Aku kaget saat dia menyebutkan cafe yang sama dengan cafe yang sedang aku kunjungi saat ini. Kulihat sekeliling, cukup banyak pengunjung yang sedang bermain dengan gadgetnya termasuk laptop.

Dy_
Kita ditempat yang sama

The Good Listener
Posisi gue arah jam 1 dari pintu masuk, elu dimana?

Segera kucari posisi yang dia maksud. Aku menemukan seseorang yang tengah duduk didepan laptopnya sembari matanya mengarah ke segala arah.

Dy_
Kayaknya aku nemuin kamu, aku ada di meja ke-14.

“Ehem!” sebuah suara membuatku menolehkan kepala
D- wai- underscort ?” tanyanya.
The Good Listener?” jawabku.

Kami pun tertawa dan bersalaman, yang lebih membuat terkejut adalah orang yang selama ini chatting bersamaku adalah ayah dari Tara.

“Jadi kita udah saling kenal nih?” kataku saat kita sudah duduk.
“Ternyata dokter juga suka nongkrong di café” ledeknya.
Aku tertawa kecil “Ayah muda juga asyik nongkrong di café sendirian” aku berbalik meledek. “Tara dimana?”
“Dia lagi dirumah neneknya”
“Tara adalah gadis periang yang begitu menggemaskan” pujiku.
“Iya, bahkan ketika ia harus merasakan sakit ketika kehilangan salah satu kakinya”
“Maksudnya, Tara?” Tanya tak percaya.
“Saat Tara berumur 1 tahun dia mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kaki kirinya harus diamputasi, dan ibunya justru pergi karna tak bisa menerima keadaan Tara seperti itu” cerita Ayah muda ini. “Tara rutin ke rumah sakit untuk check-up kaki palsunya dan Tara paling suka memakai rok panjang untuk menutupinya”
“Tapi Tara beruntung bisa memiliki Ayah seperti Anda yang bisa berada disisi Tara selalu” pujiku sembari menghibur.
“Jika biasanya aku hanya mendengar curhatan teman-temanku, tentang hidup mereka yang begitu mengharukan. Di kehidupanku pun pada akhirnya itu nyata” ceritanya.
“Semua orang seringkali selalu bertemu pada sebuah jalan dengan cerita yang hampir sama” kataku. “Ohiya, kenapa Anda tak ikut bersama Tara?”
“Tara bilang dia ingin menikmati udara gunung bersama neneknya”
“Jadi rumah nenek Tara di daerah gunung” tanyaku.
“Iya, tempat tinggal semasa aku kecil dulu”

Pikiranku tertuju pada berjualan media cetak di rumah yang berada di daerah gunung.
“Kampungnya dimana?”
“Daerah Bogor”
Apakah dia? Tanyaku dalam hati.
***
Sepulangnya Tara dari rumah neneknya, Firdan mengajakku dan Tara menghabiskan waktu di sebuah kebun binatang, keceriaan diantara ayah dan anak begitu hangat terpancar.

“Dokter Dy suka makan permen kapas?” Tanya Tara padaku.
“Tara kurangin makan manis-manisnya, nanti gigi kamu sakit lagi lho” Firdan langsung menasehati putrinya itu.

Kami duduk bertiga disebuah bangku sambil melihat ramainya pengunjung kebun binatang.
“Paa, Mama lagi apa ya sekarang?” Tanya Tara pada Firdan, dan yang kulihat ekspresi Firdan berubah sedih.
Cukup lama Firdan berpikir sampai akhirnya “Mama lagi…”
Belum sempat Firdan melanjutkan ucapannya, Tara memotong “Mungkin sekarang Mama lagi makan permen kapas juga ya paa?”

Aku dan Firdan saling pandang, melihat anak sekecil Tara memahami sesuatu secara polos tanpa sedikitpun rasa benci atau perasaan negatif lainnya membuat kami tertegun.

“Selamat makan ya maa” kata Tara. Kulihat Firdan mengusap air mata yang mulai menetas di pipinya.
Aku pun terseyum getir sambil mengusap rambut ikal Tara.
***
Papa dan Mama mengajakku untuk melihat rumah kami yang dulu tempat diamana aku menghabiskan masa kecil. Melihat suasana halaman yang begitu asri dan rapi karena masih dirawat oleh Mang Adi tukang kebun kepercayaan Papa.

Aku memasuki rumah yang umurnya sudah hampir 69 tahun ini, perabotan yang masih sama penataannya ketika aku, Papa, dan Mama meninggalkannya dulu. Kulihat salah satu sofa ruang tamunya yang tersandar dekat jendela tempat dimana aku sering menhabiskan waktu menunggu Kakak Pengantar Majalah.

“Mau kemana dy?” Tanya Papa ketika aku menyalakan motor.
“Dy mau pergi sebentar Pa” pamitku.
“Hati-hati nak” pesan beliau.
“Iya pa” aku langsung menarik gas.
***
Aku mencoba mencari agency tempat dimana dulu kakak pengantar majalah bekerja untuk mengantar banyak media cetak. Yang aku tahu, ini adalah satu-satunya agency media cetak di kecamatan rumahku dulu dan sampai sekarang masih ada, terlihat semakin bagus dan banyak memiliki karyawan.

Kutanyakan pada salah seorang karyawannya, tapi sepertinya tak tahu, akupun diajaknya untuk bertemu dengan pemiliknya Kakek Rama.

“Assalamu’alaikum kek” salamku sambil mengenalkan diri. Lalu kuceritakan apa maksud dan tujuanku pada beliau.

Setelah mendapat sebuah alamat yang diberikan Kakek Rama, aku pun memacu motor kealamat tersebut.
Aku mengetuk pintu rumah bagus ini, seorang ibu paruh baya yang berjilbab rapi membuka pintu.”Assalamu’alaikum bu, saya Daisy” kataku sambil berjabat tangan. Ibu yang aku ketahui bernama bu Sita, ramah mengajakku masuk, dan mataku langsung tertuju pada deretan foto-foto yang terpajang rapi disalah satu dinding dimana ada foto Tara, Firdan, dan seorang perempuan yang kurasa adalah ibu dari Tara.

Meski tak percaya tapi dugaanku yang awalnya hanya pikiran sesaat ternyata adalah sebuah hal yang benar dan nyata. Firdan yang telah lama kukenal, dari teman chatting hingga saat ini aku dekat dengannya dan juga Tara adalah Kakak Pengantar Majalah yang sudah 19 tahun aku kagumi dan aku cari keberadaannya.
***
Ibu Sita mengajakku untuk duduk “Terimakasih bu” balasku.
“Kalau boleh tahu nak Daisy ini darimana?” Tanya bu Sita.
“Saya tenaga kesehatan dari Jakarta bu, maksud kedatangan saya kesini untuk menanyakan di desa ini sudah ada berapa puskesmas ya bu?” aku sengaja mengalihkan maksudku sebenarnya dengan cara ini.
“Oh tamu dari jauh rupanya, Alhamdulillah karena desa ini lumayan besar ya nak jadi sudah ada 3 puskesmas yang dibangun” jelas Bu Sita ramah.
Aku tersenyum “bagus kalau begitu bu, lalu untuk kesehatan masyarakatnya sendiri bagaimana bu”
Bu Sita berpikir sejenak “Kalau untuk itu, Alhamdulillah sekali semua warga disini sangat peduli dengan kesehatannya”
“Syukurlah kalau begitu bu, mohon maaf bu untuk usia ibu sendiri sekarang berapa ya bu” tanyaku halus.
“Bulan depan InsyaAllah ibu berusia 72 tahun nak”
“Wah diusia ibu sekarang ibu masih terlihat sehat dan kuat” pujiku.

Tak lama datanglah seorang ibu yang usianya seumuran Mama membawa secangkir minuman dan makanan kecil.
“Ya ampun merepotkan saja, saya tidak lama kok bu” kataku tak enak hati.
“Sudah tidak apa-apa nak, masa tamu dari jauh tak mau mencicipi makanan khas disini” goda ibu itu padaku.
“Silahkan dinikmati, ibu masuk dulu” pamit ibu tersebut.
Aku membalasnya dengan ucapan terimakasih.

“Tadi itu anak ibu?” tanyaku.
“Iya dia anak tertua ibu namanya Esti dan kebetulan tinggal bersama ibu”
“Kalau boleh tau anak ibu ada berapa?”
“Ada 2, yang terakhir tinggal di Jakarta”
“Apa yang ada difoto itu bu?” tunjukku.
“Iya, namanya Firdan. Dia anak laki-laki yang begitu baik dan penurut, tapi…” ibu Sita menggantung ucapannya dan terlihat agak sedih.
“Maaf bu, saya jadi bikin ibu sedih”

“Tidak apa nak, mungkin itu sudah menjadi Takdir Firdan. Selepas SMA dia melanjutkan kuliah di Jakarta, 5 tahun setelahnya dia menikah dengan wanita yang begitu dia cintai. Tapi saat dia sedang berbahagia memiliki sebuah keluarga baru dengan hadirnya anak yang begitu lucu terhapus dalam sebuah kecelakaan, istrinya meninggal, anaknya cacat, dan dia sendiri terkena Alzheimer. Ingatannya selama 25 tahun hilang, bahkan dia menyimpulkan sendiri jika anaknya cacat dan istrinya justru pergi entah kemana. Butuh banyak sekali usaha untuk Firdan bisa memunculkan bayangan masa lalunya. Ibu dan kakaknya pun baru dia ingat 2 tahun setelah kecelakaan”
***
Suasana riuhnya suasana rumah sakit sore ini tak mampu membawaku pulang, aku memilih untuk duduk di taman belakang rumah sakit, dan cerita Ibu Sita masih terus terngiang sampai saat ini.

Ingatan Firdan tentang anak kecil yang dulu setia menunggunya datang dengan membawakan majalah langganannya pasti tak pernah berbekas sedikit pun.
Tiba-tiba didepanku sudah ada tangan yang mengulurkan satu bungkus tissue.

“Mungkin dokter bisa memakainya untuk mengusap air mata itu?” ternyata Firdan.
Aku mengambil sehelai tissue, dia pun duduk disampingku.
“Dokter Daisy kenapa?” Firdan sedikit bergurau dengan berkata mirip suara Tara.
Aku dibuatnya tertawa.

“Tidak apa-apa Kak Firdan” jawabku dalam senyum getir.
Mungkin memang biarlah kenanganku akan Kakak Pengantar Majalah didepanku ini menjadi salah satu cerita hidup yang aku simpan sebagai salah satu kenangan, biarlah perasaan ini kucoba hapus sisi demi sisi dengan melihat pria lain diluaran sana. Dan biarlah Firdan, Tara, dan aku bersatu sebagai sahabat. Semua kemungkinan itu lebih baik.   


_a.d.a_

Comments

Popular posts from this blog

Happy Batik Day

source: http://www.pinterest.com/jojomiro/batik-et-peinture-sur-soie/ Teruslah menjadi warisan budaya yang tak pernah lekang oleh zaman.. Aku bangga Batik Indonesia _a.d.a_

Cerpen: Dalam Secangkir Vanilla Latte

“...Another aeroplane Another sunny place I’m lucky, I know But I wanna go home Mmmm, I’ve got to go home Let me go home I’m just too far from where you are I wanna come home And I feel just like I’m living someone else’s life It’s like I just stepped outside When everything was going right And I know just why you could not Come along with me This was not your dream But you always believed in me...” Alunan musik jazz beriring dalam irama lagu dari Michael Buble, sore itu hujan. Cafe yang tadinya lengang berubah padat, seiring dengan pengunjunng yang ingin berteduh sembari menikmati makanan atau hanya sekedar meneguk kopi. Shera berlari menuju cafe, dijadikannya tas yang dia bawa untuk menutupi kepalanya agar tidak terkena air hujan. Sesampainya didepan cafe, dia mengelap baju dan anggota tubuhnya yang terkena air hujan dengan tangannya sendiri. Masuk dan menemukan tempat kosong dipojok cafe dekat jendela. Selesai memesan dia mulai mengambil alat g...

Cerita Kota Kelahiran: PURWOKERTO Part #1 SEJARAH

source: www.banjoemas.com Setelah hampir 23 tahun lahir dan besar di kota ini, aku ngerasa perlu banget buat cerita tentang kota dengan julukan Kota Ngapak ini secara lebih mendetail disini. Dulu sebelum memutuskan untuk berkuliah di luar kota dan akhirnya meninggalkan jejak di kota lain selama hampir 4 tahun akhirnya bisa ngerasain yang namanya “Kangen Kota Kelahiran”, karena semewah dan semenarik apapun kota perantauan, masih tetap ngangenin kota sendiri. Okay kali ini aku akan cerita kota Purwokerto dari sisi sejarahnya dulu. Nama Poerwakerta atau Purwakerta diambil dari kata "Purwa" yang konon diambil dari nama sebuah negara kuna di tepan Sungai Serayu "Purwacarita" yang bermakna "Permulaan" dan "Kerta" yang diambil dari nama ibukota kadipaten "Pasir" yaitu "Pasirkertawibawa" yang bermakna "kesejahteraan" sehingga Poerwakerta bermakna Permulaan Kesejahteraan. Kota ini merupakan salah satu ko...