Niatnya ngga bakal posting ini di blog, cukup jadi cerita
dalam hidup gue aja. Tapi setelah kemarin dapet sebuah jawaban dari masalah
ini, gue pun siap cerita ke kalian semua...
Bulan lalu gue dapet pengalaman yang cukup bikin “sakit
hati” dari orang keturunan chinese yang punya usaha toko kelontong di deket
kostsan gue. Masalah apa yang jadi penyebabnya rahasia aja, dan dari situ gue langsung
punya pandangan “buruk” sama orang keturunan chinese yang notabene usaha
“wiraswasta”. Dan pandangan ini perlahan luntur setelah Tuhan kasih sebuah
titik terang tentang pengalaman ini.
Kemarin waktu gue pulang ke Purwokerto, di travel awalnya
gue pesen di deretan bangku tengah deket pintu ehh ngga taunya sama Pak Supir
duduk di sebelah tengah, sempet bete tapi gue nurut aja okelah. Belum tau juga
nih 2 penumpang di kanan-kiri gue ini sapa aja, ngga lama seorang penumpang masuk.
Seorang bapak mungkin seumuran ayah gue, keturunan chinese, dan ekspresi gue
langsung berubah bete. 5 menit berselang, beliau ngajak ngobrol gue, oke gue
jawab seperlunya tanpa mengurangi rasa hormat gue terhadap orang yang lebih
tua. Beliau orang Semarang asli yang kerja di Apotik Purwokerto.
Penjemputan penumpang sebelah kanan gue sekarang, dan yup seorang
Ibu yang lebih tua dari bapak-bapak tadi. Like a grandma well, and she’s
chinese too. Mantap deh perjalanan pulang kali ini, gue pun lebih milih buat
tidur biar perjalanan yang gue rasa bakal bikin bete ini cepet berlalu.
Setelah transit, perjalanan pun berlanjut. Dan ibu yang
duduk di sebelah kanan gue mulai ngajak ngobrol, beliau orang asli Purwokerto
ngapaknya terlihat jelas hheheh, obrolan dari kota asal sampe kuliah gue mulai
asyik ngisi perjalanan. Dan setelah beliau tau gue ini orang Baturraden, si
bapak mulai nimbrung. Udah deh kita pun ngobrol bertiga, obrolan mulai
ngerembet ke keturunan sampe keyakinan lho.
Mereka punya pandangan bahwa semua agama itu mengajarkan kebaikan,
tinggal bagaimana orang-orang yang mempercayainya tetap pada koridor yang
benar. Orang-orang chinese juga ngga sedikit yang memilih buat menikah dengan
orang pribumi (orang asli Indonesia) karena saudara mereka pun banyak yang
akhirnya menjadi Mualaf, saling tolong-menolong itu hal penting dalam toleransi
beragama karena perbedaan itu sangat indah apabila kita mampu memaknainya
dengan bijak. Mereka ngomongin ini tanpa mereka tau agama apa yang gue anut
karena gue lagi ngga pake jilbab dan kalian sendiri tau ukuran mata gue kayak
apa.
Buat beberapa saat gue berpikir kalo pendapat gue itu sebenernya
sama kayak mereka dalam menyikapi perbedaan. Gue pun bersyukur sama Allah,
karena mempertemukan gue dengan 2 orang tadi. Ini penerang dari jalan gelap
yang baru aja gue lalui. Pembelajaran lain yang bisa gue dapet adalah jangan menilai suatu masalah hanya dari satu sisi saja, karena tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tuhan jauh lebih tahu bagaimana menyikapi hambanya.
_a.d.a_
Comments
Post a Comment