Skip to main content

Dari Balik Jendela: Pelengkap Kepingan Puzzle


Trotoar panjang yang hampir seperempat bagiannya telah dibagi untuk para pedagang kaki lima. Aku menapakinya setiap sore 3x seminggu, membagi pula jalanku dengan para pembeli yang sibuk melihat serta memilih barang-barang yang ingin mereka beli.

Bayanganku mulai terlihat disisi kiri langkahku. Semakin sore.

Sampai akhirnya kaki ini terhenti disalah satu ruko kecil yang bertingkat dua, lantai bawah ibarat surga untukku dimana aku bisa memenuhi rasa hausku pada komik. Hari ini aku mengembalikan 5 komik yang kemarin Lusa kupinjam

"Volume selanjutnya, apa mau nambah cerita lagi?" tanya Mas Tio, penjaga surga ini.

Aku menyebut 5 volume selanjutnya. Aku kemudian naik ketempat yang menuntunku untuk terpaksa rutin. Diruangan 3 x 4 meter ini telah ada Uno yang mendongakkan dagunya padaku tanda menyapa, aku pun membalasnya. Seperti biasa, dia selalu datang paling awal diantara yang lainnya, berbekal gitar dia resmi menjadi backsound untuk setiap drama yang dimainkan, dan seperti biasa pula dia masih setia mengutak atik nada mencari kunci yang pas untuk lagu ciptaannya yang tak tahu sudah berapa persen prosesnya.

Aku tak mau terlalu memikirkan, yang aku inginkan saat ini dan selalu adalah membuka jendela disudut ruangan ini yang menghadap ke jalan raya sambil duduk di balkon kecil yang pas untuk kududuki. Membiarkan angin bergumul memasuki ruangan yang terasa sempit jika untuk dijadikan tempat latihan.

Disini, dikelompok teater ini aku bekerja sebagai narator yang dibutuhkan sebagai pemanis hidupnya cerita, agar cerita bisa dimainkan secara lengkap. Meski raga ini selalu rutin hadir dan tak pernah absen, tapi hati ini rasanya tak pernah tinggal diruangan ini, terlalu asing baginya. Pun denganku yang merasa tak dianggap sama sekali ketika sedang tidak latihan, sedikitpun tak mereka hiraukan akan adanya aku. Untuk itu ruangan ini pun kerap kujuluki neraka bagiku. 180 derajat berbeda dengan lantai dibawahnya, dunia memang terlalu adil meletakkan sisi buruk yang melekat pada sisi baik.

Mungkin jika tak ada kak Rani yang sudah mengenalkanku kedunia ini dan sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri, pasti kutinggalkan kelompok teater ini sejak dulu. Semakin kurasa mereka tak mengaggapku, apalagi sekarang Kak Rani sebagai anggota paling senior tengah sibuk mengurus skripsinya. Dia sudah jarang hadir.

Pernah ketika dia bertanya padaku diujung telepon “Gimana keadaan di markas chel?” sebutnya pada neraka ini. Kujawab “Semua baik-baik aja kak, masih rutin latihan” tak mungkin aku  jujur, karena aku tak mau jahat dengan tak menghargai apa yang sudah dia berikan padaku selama kami kenal. Dia banyak mengajariku tentang dunia sastra. Dia terlalu baik untuk kubalas dengan air tuba.

***

Jendela yang dilapisi cat warna coklat ini telah menjadi saksi bagaimana aku sering menghabiskan waktu sembari menunggu latihan atau sebagai tempat pelarian saat orang-orang disini mengasingkanku.

Udara sore ini terasa sejuk, beberapa burung kecil bergerombol terbang kesana kemari secara kompak menuju tempat mereka pulang. Senja belum menua, masih dapat kulihat putihnya awan menggumpal disekitar warna biru muda langit diatas sana. Dari bawah jalanan pun ramai oleh beberapa kendaraan, dan “Ah”.

Aku segera turun, berlari semampuku secepat mungkin. Kucing yang baru saja disenggol mobil ini masih terkapar ditengah jalan, aku menggendongnya ke pinggir jalan. Dari arah kiriku kudengar suara kaki yang tengah berlari mendekat.

“Gimana keadaannya?” sambil jongkok disebelahku.

Aku hanya menggeleng sambil kutunjukkan kucing malang ini padanya.

“Yuk, kita bawa dia ke klinik” dengan sigap dia mengambil kucing tersebut dan menggendongnya sambil berlari.

Atribut yang dia kenakan memang untuk berolahraga, sepatu larinya mengalahkanku yang hanya memakai sandal selop.

***

“Kasihan banget ya” gumamku tak tega melihat kucing ini diperban kakinya, tapi untunglah dia masih hidup.

“Dia kucing yang kuat, namanya siapa?” tanyanya.

“Aku juga ngga tau, itu bukan kucing aku”

“Oh, aku kira itu kucing kamu”

Aku menarik napas “Aku sebenernya suka banget sama kucing, tapi Mamaku ngga pernah ijinin punya binatang peliharaan dirumah”

Dia mengangguk mengerti “Kalo gitu kita taruh kucing itu  dirumahku dan kamu yang jadi pemiliknya, jadi kalo kamu pengen ketemu dia, kamu datang aja kerumahku”

Aku segera mengalihkan pandanganku padanya “Maksud kamu, aku adopsi dia? Tapi aku tetep ngga enak sama kamu, dia tinggalnya malah sama kamu”

“Iya jadi adopternya. Kalo soal itu, dirumahku kucing itu bakalan dapat temen kok”

“Nah kalo gitu kamu juga jadi adopternya dia yaa, jadi kucing itu bisa punya Papa sama Mama” spontan ada ide menyembul dikepalaku “Kita juga harus kasih nama dia. Siapa tapi yaa. Emm nama kamu siapa?”

“Namaku Joe”

“Ah aku Rachel, jadi kalo nama kita disambung jadi Jora. Tapi aneh, kalo Rajo jelek, trus Jhel, ah nama apaan tuh jelly” aku tertawa sendiri, dia hanya tersenyum menanggapiku. “Oke coba  Chloe” nama itu terasa bagus.

“Oke setuju, dan pas juga dia kucing betina” katanya sambil mengepalkan tangan.

“Oke deal, Chloe sekarang jadi anak angkat kita berdua” aku memberikan tanganku untuk disalami.

***

Apa yang Joe katakan memang benar, Chloe akan memiliki teman disini, aku kira hanya 1 atau 2 ekor kucing tapi ini banyak sekali. Rumah Joe seperti peternakan kucing, ada banyak jenis kucing hilir mudik dirumah Joe.

“Rumah kamu ternyata rame banget” kataku ketika masuk diruang tamu.

“Ya gini adanya, kebetulan Mamaku Dokter Hewan dan beliau suka banget sama kucing, kebanyakan kucing disini rata-rata kucing jalanan yang diadopsi Mamaku” terang Joe.

Aku menikmati kunjungan pertamaku di rumah ini, ada banyak kucing yang bisa kusapa dan kubelai bulu-bulu mereka yang halus. Dan ini adalah awal dari kunjungan-kunjunganku berikutnya, rumah ini sudah seperti rumah keduaku, Joe dan Mamanya senang aku sering berkunjung, karena aku bisa ikut merawat mereka sekaligus aku bisa mencurahkan perhatianku pada Chloe.

Setelah kaki Chloe sembuh, Joe menyarankanku untuk mengajak Chloe jalan-jalan. Aku pun setuju dan membawa Chloe ketempat latihan drama. Saat itu aku datang agak telat dan yang lain sudah berkumpul.

“Ya ampun kucing siapa itu” kata Rere sesaat setelah aku masuk.

“Ih lucunya” Farah menimpali.

Latihan justru ditunda karena mereka semua mengalihkan perhatian pada kucing yang aku bawa. Chloe diambil dari gendonganku dan mereka sibuk membelai bulu-bulu Chloe dan memberinya biscuit yang seharusnya untuk snack latihan hari ini.

“Kamu kok ngga pernah bilang kalo kamu piara kucing sii chel? Tanya Farah.

“Aku baru adopsi dia beberapa hari yang lalu kok, dia sempet diserempet mobil dijalan depan”

“Ya ampun kasihan kamu Chloe”

“Dia girang mainan sama kita” Uno tak kalah semangat.

***

“Gimana latihan hari ini chel” pertanyaan yang seketika meluncur padaku saat aku sampai. Adalah Joe yang tengah sibuk membersihkan kandang kucing

“Ngga ada latihan hari ini, semua sibuk mainan sama Chloe” gerutuku.

Joe berhenti sejenak “sama Chloe?”

“Iya, katanya Chloe lucu lah, aku ngga pernah kasih tau mereka kalo aku punya dia lah, kasihan lah. Bla bla bla” aku masih menggerutu sambil menyiapkan beberapa kotak makanan untuk diisi makanan kucing.

“Bagus dong”

“Apanya yang bagus?” tanyaku.

“Iya dengan adanya Chloe, kamu bisa lebih dianggap sama mereka”

“Trus kalo besok latihan aku ngga bawa Chloe, mereka bakal asingin aku lagi dong”

Joe berjalan mendekatiku, duduk bersila didepanku. “Rachel, kamu bisa pikir deh. Kenapa kamu ngerasa ngga bisa membaur sama mereka?”

Aku hanya menggeleng.

“Kamu bisa lihat sendiri kejadian hari ini ditempat latihan, kamu cuma perlu nunjukkin sesuatu yang di diri kamu ke mereka. Buat bisa membaur dengan kelompok, kita ngga harus ngikutin mereka. Tapi cukup jadi diri sendiri dan kamu perlu tunjukkin ini loh kamu” kata-kata Joe serasa seperti sengatan listrik dengan tingkat kejut yang cukup besar dan membuatku tersadar akan kenyataan ini.

***

Seperti biasa Uno selalu sibuk dengan gitarnya “Mana lagu lu no, belum pernah denger lho gue”

“Raa..chel, lu perlu liat ini” Uno mengambil sesuatu dari dalam tasnya.

Secarik kertas yang berisi lyric serta nadanya diketik secara rapi.

Selang beberapa menit, lagu tersebut bisa diaplikasikan olehku diiringi petikan gitar Uno.

“Gila lo chel, ternyata lu bisa nyanyi. Suara lu keren” Uno menepuk pundakku tak percaya. Dalam hatiku terngiang kata-kata Joe semalam. Memang benar.

“Trus gimana dong, latihan kita tuh ngga lama, susah nyari orangnya” kudengar suara Farah yang tengah menaiki tangga.

“Kita emang ngga pernah ngira bakal kayak gini” Rere dan Farah entah sedang meributkan apa, sementara Kay hanya diam sembari memegang naskah.

“Trus?” kata Farah

“Lu daritadi tras trus tras trus mulu, solusi dong” gerutu Rere.

“Ada apa sii malah ribut?” Uno menengahi.

“Gini lho no, si Prita yang bakal jadi tokoh utama drama ini tadi baru aja jatuh dari motor. Kakinya terkilir, dia susah buat jalan dan ngga mungkin kan dia ikutan main. Tapi lu tau sendiri situasi sekarang gimana no udah mepet” Kay menjelaskan. Aku diam mendengarkan.

Uno terlihat berpikir “Kita emang ngga mungkin cari orang lain, kenapa ngga coba rolling peran aja. Diantara kalian bertiga?”

“Ngga mungkin lah no, kita udah dapat peran semua. Castingnya di kita udah cocok” timpal Farah.
Semua kembali berpikir.

“Ah, kenapa ngga coba Rachel aja” seru Uno mengagetkan, dan aku yang paling kaget karena namaku disebut.

“Tapi dia kan udah jadi narator” kata Rere dan aku pun mengangguk setuju.

“Jadi narator itu kan ngga muncul kedepan, Rachel rolling tugas sama Prita” jelas Uno.

Pada akhirnya semua setuju dan latihan kali ini aku tak bertindak sebagai pembaca alur cerita tetapi untuk pertama kalinya, aku berakting.

***

4 hari latihan dan pentas pun dimulai. Drama yang berjudul Kala aku Mencarimu dengan durasi 2 jam ini pun usai, penonton di penjuru gedung ini bertepuk tangan dengan riuh.

Dibelakang panggung “Racheeel, gila akting lu keren banget, emang ngga salah Uno pilih elu” kata Farah begitu senang.

And the new star has coming” Kay mengayunkan kedua tangannya seperti tengah mempromosikan sesuatu dan akulah yang dia promosikan.

“Kenapa ngga dari dulu lu bilang, kalo lu bisa acting chel” Tanya Rere.

“Emang kalian pernah nanyain?” kalimat ini seakan bom yang membuncah dari dalam mulutku, mewakili segala perasaanku selama ini.

Mereka hanya bisa diam dan menghambur memelukku.

“Maafin kita chel” kata-kata lirih terlontar dari mulut Rere, meskipun kami berpelukan erat tapi kata-kata itu cukup jelas didengar. Air mataku menetes, aku terharu.

***

Bulatan bulan yang sudah sempurna membuat terang malam ini, lampu-lampu penjuru kota yang saling bersahutan untuk menyumbangkan cahayanya semakin  melengkapi sinar malam ini.

I love you too” yang keluar dari mulutku dan sebuah pelukan menjadi tanda bahwa kini aku dan Joe resmi berpacaran.

Selain Tuhan, sinar bulan, dan lampu kota. Ada Chloe anakku dan Joe yang menjadi saksinya.

***

Kini aku berjalan lebih semangat disepanjang trotoar ini, komik yang aku pinjam hanya 1 volume saja karena kini ada naskah pula yang harus aku hapalkan, Rachel yang dulunya  seorang narrator yang hanya perlu membaca naskah, kini bermain peran. Dari mulai peran protagonis sampai peran antogonis sudah pernah aku mainkan.

Teman-teman di kelompok teater kini sudah menjadi keluarga baru bagiku, kita seringkali menghabiskan waktu bersama baik didalam kampus maupun hangout di sekitar kota.

Joe, Chloe, dan teman-teman Chloe juga membuatku semakin merasa ada.

***

20:00 sudah meleset, kakiku rasanya ingin lepas dari raga ini mengingat aku berlari hanya dengan wedges sebagai alasnya.

“Joe maaf, tadi aku abis ada meeting sama anak-anak” masih dengan napas tersengal-sengal.

Joe duduk mematung, wajah teduhnya mulai tertutup oleh ekspresi datarnya “Duduk aja dulu”

Kami sama-sama terdiam.

“Kamu kalo udah tau bakal kayak gini mending acara kita yang dibatalin” kata Joe membuka suara, napasku sudah mampu kuatur.

“Maaf, tapi tadi mendadak” jawabku pelan.

“Oke, kamu udah makan?”

“Belum” jawabku lirih.

“Sekarang kita mending pesen makan”

Dari mulai memesan makanan sampai makanan habis dilahap, tak ada obrolan sama sekali. Joe pasti sangat jengkel karena acara dinner kali ini dirusak olehku, aku sudah telat 1 jam untuk sebuah dinner yang sudah sangat langka waktunya untuk kita lakukan, tak bisa sesering dulu. Aku terlalu sibuk.

***

“Cukup ya chel, sekarang mau dengan cara apalagi. Kamu udah berubah, dan kita juga ngga sama lagi kayak dulu” pada siang hari yang terik, kata-kata yang terlontar dari mulut Joe menambah panasnya cuaca hari ini. “Waktu kebersamaan kita udah jadi barang mahal, 10 bulan yang mulai kita susun dengan rapi dan baik-baik udah rusak sekarang. Sudah berapa banyak momen yang harusnya bisa kita gunain, justru kamu lebih milih ngabisin bareng mereka. Makan bareng lah, karokean bareng lah, jalan-jalan entah kemana tujuannya”

Aku yang memang sadar betul hanya bisa pasrah dengan semua ini “Aku tahu, sekarang mau kamu apa” jika memang tak bisa diperbaiki lagi, kata-kata itulah yang tepat. Biar Joe yang memutuskan.

“Oke kita akhirin disini, kita balik ke hidup kita masing-masing sebelum kita bareng kayak dulu”
Kisahku dan Joe berkahir saat itu juga.

***

Mungkin cukup aku mengabiskan beberapa jam kebelakang untuk mengenang apa yang saat ini disebut hanya kenangan. Sudah 1 tahun semua itu terjadi, kini aku harus menatap kedepan. Melanjutkan hafalan drama penting untuk akhir tahun ini. Hidupku memang sudah banyak berubah, tepatnya kuubah sendiri. Aku paham betul bagaimana saat ini aku membuat diriku merasa senang.

Tapi rasanya masih ada sesuatu dihati ini yang belum genap, entah apa. Aku sudah banyak mencoba banyak hal dari mulai melahap segala makanan yang aku suka, pergi ketempat-tempat yang membuatku merasa di surga, melakukan semua hobiku. Tapi rasanya masih ada kepingan puzzle yang masih tersembunyi entah dimana. Ada sisi kosong yang meracuniku untuk terus berpikir dimana.

Di bangku taman belakang rumah ini, dengan naskah berjudul “LIFE” berteman teh hangat, aku termenung. Kurasakan ada sesuatu yang tenagh mengusik kakiku. Kuperiksa, ada kucing berbulu putih tengah memanjakan bulunya dikakiku. Kuangat dia dan aku masih paham betul kucing yang memliki kalung berinisial C ini.

“Chloe” aku segera memeluknya, aku sungguh merindukan makhluk manis ini. “Kamu bisa kesini sayang?”

Dia mengeong, dan semakin sering. Aku rasa, lalu aku menolehkan pandanganku.

Dia mendekatiku, kubiarkan Chloe meloncat kelantai dan aku berdiri.

“Joe” sapaku.

“Chloe kangen banget sama Mamanya, dia mau ngabarin juga kalo Mamanya udah jadi Oma sekarang” katanya sambil tersenyum.

Aku tersenyum.

“Chel, sebenernya hal serusak apapun bisa dibenerin asal kita mau”

Tanpa menjawab aku segera memeluknya, kurasakan rasa yang amat nyaman. Dia mengencangkan pelukan. Semakin kurasa tenang, genap rasanya hati ini.

Sekarang aku mengerti, kepingan puzzle yang tersembunyi ini telah pulang keasalnya, ketempat seharusnya. Dan Joe adalah pemilik kepingan puzzle itu, dia melengkapinya.


_a.d.a_






  
  
  


Comments

Popular posts from this blog

Happy Batik Day

source: http://www.pinterest.com/jojomiro/batik-et-peinture-sur-soie/ Teruslah menjadi warisan budaya yang tak pernah lekang oleh zaman.. Aku bangga Batik Indonesia _a.d.a_

Cerpen: Dalam Secangkir Vanilla Latte

“...Another aeroplane Another sunny place I’m lucky, I know But I wanna go home Mmmm, I’ve got to go home Let me go home I’m just too far from where you are I wanna come home And I feel just like I’m living someone else’s life It’s like I just stepped outside When everything was going right And I know just why you could not Come along with me This was not your dream But you always believed in me...” Alunan musik jazz beriring dalam irama lagu dari Michael Buble, sore itu hujan. Cafe yang tadinya lengang berubah padat, seiring dengan pengunjunng yang ingin berteduh sembari menikmati makanan atau hanya sekedar meneguk kopi. Shera berlari menuju cafe, dijadikannya tas yang dia bawa untuk menutupi kepalanya agar tidak terkena air hujan. Sesampainya didepan cafe, dia mengelap baju dan anggota tubuhnya yang terkena air hujan dengan tangannya sendiri. Masuk dan menemukan tempat kosong dipojok cafe dekat jendela. Selesai memesan dia mulai mengambil alat g

Cerita Kota Kelahiran: PURWOKERTO Part #1 SEJARAH

source: www.banjoemas.com Setelah hampir 23 tahun lahir dan besar di kota ini, aku ngerasa perlu banget buat cerita tentang kota dengan julukan Kota Ngapak ini secara lebih mendetail disini. Dulu sebelum memutuskan untuk berkuliah di luar kota dan akhirnya meninggalkan jejak di kota lain selama hampir 4 tahun akhirnya bisa ngerasain yang namanya “Kangen Kota Kelahiran”, karena semewah dan semenarik apapun kota perantauan, masih tetap ngangenin kota sendiri. Okay kali ini aku akan cerita kota Purwokerto dari sisi sejarahnya dulu. Nama Poerwakerta atau Purwakerta diambil dari kata "Purwa" yang konon diambil dari nama sebuah negara kuna di tepan Sungai Serayu "Purwacarita" yang bermakna "Permulaan" dan "Kerta" yang diambil dari nama ibukota kadipaten "Pasir" yaitu "Pasirkertawibawa" yang bermakna "kesejahteraan" sehingga Poerwakerta bermakna Permulaan Kesejahteraan. Kota ini merupakan salah satu ko